Bagian 8

2.5K 99 1
                                    

Hari telah berlalu, enam bulan sudah Gus Ashfa menjalankan pengabdian di salah satu rumah sakit negri di kota tempat dia belajar ilmu kedokteran. Sementara kuliahku sudah memasuki semester tiga, satu tahun lebih dua bulan aku berada di tempat ini, sebuah tempat yang entah akan jadi tempat tinggalku sebagai anggota keluarga atau hanya akan menjadi sebuah tempat persinggahan sebagai kenangan saja.

Pagi ini aku sengaja tidak membantu Ning Azna di dapur, karena ada kegiatan di kampusku, ada jadwal presentasi makalah yang mengharuskan aku datang lebih awal. Dan setelah lima jam belajar disana, aku pun bergegas pulang karena seorang santri putri yang sering membantu di rumah keluarga Ummi Arifah mengabariku kalau Abah dan Ummiku datang ke rumah Ummi Arifah untuk mengunjungiku. Tak sabar rasanya aku ingin bertemu beliau, memeluk dan mencium tangan beliau untuk melepaskan rasa rinduku, karena sudah enam bulan ini aku belum bertemu dengan mereka.

Sesampai di rumah ku lihat Abahku, Ummiku, dan keluarga Ummi Arifah tampak bercengkrama dengan akrabnya, mungkin karena memang mereka masih ada hubungan keluarga. Ada Kiayi Masykur beserta ummi Arifah, Gus Ahmad, dan Gus Azka disana.

"Assalamualaikum!" Tampak salamku mengalihkan perhatian mereka semua padaku.

"Hubby! Sini nak!" Kata ummi Arifah seketika sembari memelukku menyambut kedatanganku di ruangan itu. Aku pun segera mencium tangan beliau, tangan Abahku, dan tangan Ummiku.

Tak lama setelah aku bersalaman, Ning Azna datang mempersilahkan beliau semua untuk makan siang. Sebuah jamuan makan yang selalu keluarga ini berikan setiap kali ada tamu yang datang.

Entah kenapa perasaanku tidak tenang, aku enggak ikut dua keluarga itu ke meja makan. Aku memilih beranjak masuk ke dalam kamarku.

"Ummi saya ke kamar dulu ya, mau menaruh tas!" Pamitku pada ummi Arifah. Ummi Arifah pun menjawab dengan anggukan.

Aku segera pergi menuju kamarku, ku letakkan tas dan buku-buku perkuliahanku di meja belajar yang ada dalam kamarku. Ingin sekali aku berkata pada Ummiku kalau aku ingin ikut mereka pulang, dan di dalam kamar ini aku berfikir keras bagaimana caranya mengungkapkan keinginanku untuk pulang bersama mereka, dan di tengah-tengah lamunanku, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara pintu kamarku yang dibuka oleh seseorang, ternyata Ummiku yang datang.

"Bagaimana kabarmu ndok?" Tanya Ummiku dengan senyuman seraya menghampiriku yang duduk di ranjang tidurku.

"Sehat." Jawabku singkat dengan senyum yang amat sangat berat ketika hendak aku keluarkan dari bibirku.

"Ndok! Sebenarnya Kiayi Masykur hari ini mau ke rumah kita, tapi karena kebetulan ummi dan Abahmu sudah datang kesini, jadi beliau mengurungkan niatnya untuk kerumah kita." Kata Ummi padaku. "Mungkin semua ini sudah jalan Allah ya ndok. Allah menggetarkan hati Abah dan Ummi untuk kesini, ternyata sesampai di sini Kiayi dan keluarga sangat senang menyambut kedatangan Abah dan Ummi. " Lanjut Ummiku. "Sebenarnya beliau mau ke rumah kita hari ini untuk membicarakan tanggal pernikahan kamu dan Gus Ashfa, dan karena Abah dan Ummi sudah datang kesini, akhirnya tadi beliau langsung membicarakan tentang tanggal pernikahan itu ndok, dan Alhamdulillah dengan perundingan yang baik kita sudah dapat tanggal dan hari yang baik juga untuk pernikah kalian. InsyaAllah tanggal 8 bulan depan acara pernikahan kamu dan Gus Ashfa berlangsung." Kata Ummiku dengan senyum bahagia menyeranga.

"Ummi! Kok bisa secepat itu?" Jujur penjelasan Ummi sangat mengagetkanku. Detak jantungku seketika berdebar tak menentu, badanku menjadi lemas, aku terdiam, aku terpaku, aku serasa tertimpa beban yang teramat berat hingga energiku seketika menghilang.

"Looo, kenapa? Alhamdulillah to cepat dihalalkan, jadi Ummi nggak khawatir lagi tentang masa depanmu." Kata Ummiku begitu ringannya, tampa perduli dengan kalutnya perasaanku.

"Bukan begitu Ummi, Hubby Kan Masih kuliah, Gus Ashfa juga blum bekerja, bagaimana terus biaya hidup dan kuliah Hubby? Apa Ummi dan Abah tidak memikirkan hal itu?" Tanyaku kemudian.

"MasyaAllah Hubby, anakku sayang, Kiayi Masykur dan Bu Nyai Arifah sudah berjanji pada ummi, kalau beliau akan mencukupi kehidupanmu, pendidikanku, dan semuanya." Jelas Ummiku dengan wajah yang terlihat berbinar-binar bahagia. "Kamu tidak perlu khawatir nak! Setelah pengabdian Gus Ashfa di rumah sakit selesai, Gus Ashfa akan langsung bekerja, karena dia akan diberi tanggung jawab untuk mengembangkan klinik yang ada di pesantren ini." Tambah Ummiku.

"Masalahnya bukan itu Ummi. Tapi, Gus Ashfa tidak pernah menyukai Hubby." Kataku pada Ummi dengan secara lirih dan menunduk.

Ummi pun segera  mengangkat daguku, melihat air mata yang mengalir di pipiku. "Aku ingin pulang Ummi" lanjutku kemudian dengan memeluk Ummiku. "Aku takut Ummi! Aku takut menikah dengan Gus Ashfa!" Air mataku semakin deras mengalir.

"Ndok! Sayang! Putri Ummi yang Sholihah, dengarkan Ummi!" Ummi mulai mengusap air mataku dengan jemarinya. "Jangan takut! Semuanya pasti baik-baik saja! Semua keluarga disini sayang pada Hubby. Jadi Hubby tidak perlu khawatir! Nanti ketika sudah menikah Gus Ashfa pasti akan mencintai Hubby. "Kata Ummiku. "Percaya sama Ummi sayang! Karena dulu Ummi juga seperti kamu, sebelum menikah Ummi dan Abah tidak saling cinta, dan setelah menikah kita dibukakan pintu hati oleh Allah untuk saling mengasihi dan menyayangi, begitu juga dengan kamu nanti." Nasehat Ummi seraya kemudian memelukku.

"Tapi Ummi Gus Ashfa itu..."

"Sudah!" Lagi-lagi Ummi memotong kata-kataku yang ingin menjelaskan sikap Gus Ashfa yang sebenarnya padaku. "Ummi sudah dipanggil sama Abahmu, Abahmu sudah di tunggu tamunya di rumah, Ummi pulang dulu ya!" Kata Ummiku kemudian ketika mendengar suara seorang abdi ndalem rumah ini yang mengetuk pintu kamarku memanggil beliau.

"Ummi!" Aku merajuk, ku genggam tangannya erat, aku tunjukkan sikap memelas pada beliau, agar beliau iba dan mengajakku pulang.

"Hubby! Dengarkan Ummi! Abah dan Ummi sudah setuju dengan keputusan ini, kamu harus nurut! Jangan permalukan Abah dan Ummi ya nak! Percaya pada Ummi semua pasti akan baik-baik saja!" Kata Ummiku dengan melepaskan genggaman tanganku, sembari menciumku dan meninggalkanku pergi.

Segera aku ikuti langkah Ummiku yang beranjak meninggalkanku menuju ruang tamu tempat Abah dan keluarga Gus Ashfa berkumpul. Disana ku lihat ternyata Abahku memang sudah bersiap untuk pergi dari rumah ini, mereka Abah dan Ummiku ku lihat begitu bahagia dengan senyum semringah di wajahnya saat berpelukan dengan Kiayi Masykur untuk berpamitan pulang. Sepertinya keputusan pernikahanku dengan Gus Ashfa bulan depan sangat membuat kedua orang tuaku bahagia. Aku yang saat itu masih berdiri dipintu ruang tengah yang menghubungkan dengan ruang tamu mengurungkan niatku untuk menghampiri mereka. Aku ingin ikut mereka pulang, namun jika aku mengatakan keinginanku tersebut pasti Abahku akan sangat murka, dan kebahagiaannya pun akan menghilang seketika. Akhirnya aku putuskan untuk meninggalkan mereka, aku kembali ke dalam kamarku, karena jujur aku tak sanggup mencium tangan Abah dan Ummiku dan melihat beliau berdua pergi meninggalkanku.

Bersambung



Hubbyna "Menanti Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang