Bagian 9

2.2K 97 0
                                    

Bulan ini begitu cepat berlalu, kini sudah tanggal tiga, lima hari lagi pernikahanku dan Gus Ashfa akan segera dilaksanakan, keluarga Gus Ashfa kulihat begitu sibuk mengurus persiapan pernikahan kami, mulai dari mencari hantaran-hantaran yang akan dibawa ke rumah keluargaku sebagai mempelai wanita, sampai persiapan kue dan makana-makanan yang akan disuguhkan pada tamu undangan di hari jadi pernikahan kami.

Rencananya keluargaku akan menjemputku tiga hari lagi tepat dua hari sebelum acara pernikahan kami, jujur aku tak ingin hari ini cepat berlalu, aku sangat cemas dengan rencana pernikahan ini, aku gelisah, dan aku resah memikirkan apa yang akan terjadi dengan hari pernikahanku nanti.

Meski aku mengharapkan hari ini tidak berputar, namun pada kenyataanya hari pun terus berganti, dan tibalah hari ini dimana aku akan di jemput oleh keluargaku untuk pulang ke rumahku. Rasanya begitu kalut pikiranku, apalagi saat aku melihat Gus Ashfa yang baru datang, terdengar suaranya beradu argumen dengan kakaknya Gus Azka di ruang keluarga rumah ini.

"Bagaimana bisa kalian merencanakan pernikahan ini tanpa berunding denganku?" Tanya Gus Ashfa pada beberapa orang yang ada dalam ruangan itu.

"Ini sudah keputusan Abahmu nak." Sahut Ummi Arifah lembut.

"Aku masih belum yudisium, aku masih harus menyelesaikan pengabdianku, aku masih berjuang meraih gelar dokterku, jadi kenapa ummi tega memecah konsentrasiku dengan sebuah keputusan pernikahan ini." Jawab Gus Ashfa.

Aku yang saat itu hendak masuk ke dalam ruangan tengah untuk mengantarkan wedang jahe buat Ummi Arifah seketika menghentikan langkah. Aku mencoba memahami uangkapan Gus Ashfa atas penolakan keputusan pernikah ini, mungkin dia ingin benar-benar berkonsentrasi untuk meraih gelar dokternya "dr" setelah dia meraih sarjana kedokteran kemarin. Aku tahu untuk meraih gelar tersebut membutuhkan konsentrasi dan kerja keras yang cukup berat, jadi mungkin saja jika pernikahan ini terjadi akan sangat mengganggu konsentrasinya.

"Jangan terlalu membesar-besarkan masalah, dulu waktu S2 di Kairo kakak juga sudah menikah, dan kakak tetap bisa berkonsetrasi, kakak juga bisa meraih nilai terbaik, kenapa itu bisa terjadi? Karena istri kakak di rumah turut mendoakan perjuang pendidikan kakak." Ku dengar Gus Azka menjawab ungkapan adiknya itu. "Abah sudah membuat keputusan ini, tentunya dengan segala pertimbangan, dan yang pasti Abah tidak mungkin menjerumuskan kamu dengan keputusannya, dan kakak juga pernah berada di posisi kamu, dan perbukti kalau keputusan dan pilihan Abah adalah yang terbaik." Tegas Gus Azka.

Suasana itu pun seketika menjadi hening, tak kudengar lagi suara Ummi Arifah, dan suara Gus Ashfa. Aku putuskan untuk berbalik ke dapur dan meletakkan wadang jahe yang ada di tanganku, namun sebelum aku melangkah pergi tiba-tiba Gus Ashfa datang dan melewatiku.

"Aku akan menikahimu besok, meski aku tidak akan pernah mencintaimu." Katanya lirih saat melewatiku, dengan mata yang megitu tajam menatapku.

Seketika aku terdiam, jantungku seketika berdegub kencang, bukan karena bahagia bertemu kekasih yang aku cinta, melainkan tak sanggup melihat tatapan matanya, mata pria yang tatapannya seolah menyimpan sejuta kebencian padaku.

"Hubby!!" Seruan lirih Ning Azna dari ruang tengah itu seketika mengejutkanku. Menantu Ummi Arifah itu segera merangkulku dan mengajakku ke dapur untuk meletakkan secangkir wedang jahe di tanganku.

Setelah meletakkan wedang itu di meja dapur aku segera beranjak masuk ke dalam kamarku, dan Ning Azna pun mengikutiku. Aku segera duduk di ranjang tidurku dengan menghelan nafas panjang, dan Ning Azna pun menutup pintu kamarku. Tak terasa air mataku pun berlinang, bukan sedih karena Gus Ashfa tidak mencintaiku, tapi karena aku bingung harus berbuat apa dengan keputusan Abah dan Ummiku, dan tak terasa suara tangisan keras pun keluar dari mulutku.

"Hubby! Dengarkan mbak Azna ya! Berprasangka baiklah dengan keputusan orang tua kita, karena bisa jadi yang menurut kita salah dan yang keputusan yang mungkin sangat menyakitkan buat kita, itu adalah awal kebaikan dari Allah." Kata Ning Azna padaku. "Sesungguhnya kita tidak tahu rencana Allah, karena bisa jadi apa yang kita inginkan belum tentu itu baik untuk kita, dan sebaliknya yang kita anggap buruk untuk kita ternyata itu yang terbaik untuk kita." Kata Ning Azna sambil memelukku. Mungkin wanita cantik itu mengerti kekalutan hati yang aku rasakan saat ini.

"Hubby takut Ning! Hubby takut melihat Gus Ashfa! Gus Ashfa tidak menyukai Hubby!" Kataku dengan masih berderai air mata

"Mbak Azna, Ning Khilma, Gus Ahmad, dan Gus Azka, sangat menyayangi Hubby, begitu juga dengan Abah dan Ummi, jadi Hubby tidak perlu takut." Kata Ning Azna. "Berprasangka baiklah! Allah maha membolak-balikkan hati, InsyaAllah setelah menikah semuanya akan baik-baik saja." Lanjut Ning Azna. "Dulu Gus Ahmad juga tidak mencintai mbak Azna, Gus Ahmad malah menyukai santri di pesantren ini, tapi setelah menikah tiba-tiba atas izin Allah beliau sangat mencintai mbak." Lanjut Ning Azna menceritakan awal pernikahan padaku.

Ning Azna terus menceritakan hal-hal positif padaku, untuk memberikan motivasi dan menguatkan hatiku. Hingga beberapa menit kemudian terdengan suara abdi ndalem rumah ini mengetuk kamarku, ternyata keluargaku telah datang untuk menjemputku.

Ning Azna seraga mengajakku untuk keluar kamar, dia bawakan tas baju dan beberapa perlengkapanku yang hendak aku bawa pulang. Semua keluarga Ummi Arifah aku lihat sudah berkumpul di ruang tamu saat aku hendak pulang, ada Ummi, Ning Azna beserta suami, dan Gus Azka beserta istri, hanya Kiayi Masykur yang tidak aku lihat, karena aku dengar beliau keluar kota dan baru nanti malam akan datang, sementara Gus Ashfa mungkin dia ada di dalam kamarnya.

Aku segera berpamitan, kucium tangan beliau semua, dan ucapan doa kebaikan pun beliau semua titipkan dalam perjalanan pulangku yang saat itu di jemput oleh pamanku dan istrinya, beliau adalah adik kandung dari ayahku.

Bersambung

Hubbyna "Menanti Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang