Subuh ini ku lihat Hubby telah terjaga dari tidurnya. Sepertinya semalaman dia susah tidur.
"Sayang!" Sapaku saat aku baru terjaga. Kucium pipi wanita yang masih enggan tersenyum padaku itu.
Aku beranjak dari tempat tidurku untuk masuk ke dalam kamar mandi, dan kemudian melakukan ibadah subuhku. Setelah itu ku hampiri istriku yang saat itu masih berada di tempat tidur kami.
"Kita ke kamar mandi ya! Aku sudah siapkan air hangat untukmu!" Kataku dengan lembut.
Segera aku buka kancing bajunya, karena aku berniat untuk membersihkan badannya. Saat aku hendak menggendongnya, ku lihat air matanya mulai terjatuh.
"Kamu kenapa?" Tanyaku.
"Antarkan aku pulang saja! Aku tidak ingin merepotkan Gus Ashfa!" Katanya dengan derai air mata.
"Kamu ini bicara apa!" Kataku dengan mengusap air matanya. "Aku akan merawatmu sampai kamu sembuh!" Ujarku dengan tersenyum ke arahnya, sembari meneruskan membuka bajunya.
"Aku malu!" Katanya kemudian.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Masih sehari tinggal bersama, aku sudah sangat merepotkan Gus Ashfa!" Jawabnya.
"Hubby dengarkan aku! Apa selama lima tahun kita tinggal bersama kamu pernah merasa direpotkan ketika kamu melayani diriku? menyiapkan air hangat untukku, menyiapkan sarapanku, menyiapkan makan malamku, bahkan saat kamu harus menyiapkan waktumu bertahun-tahun untuk menungguku? Pernahkah hatimu merasa direpotkan saat melakukan semua itu?" Tanyaku. "Aku yakin hatimu ikhlas dan tanpa pamrih." Kataku. "Jadi berhenti berfikir macam-macam! Aku tidak pernah merasa di repotkan." Pesanku kemudian seraya menggendongnya ke kamar mandi.
Ku bantu dia mandi dan bersuci pagi ini, aku memahami perasaannya, mungkin dia merasa malu karena selama pernikahan kami aku tidak pernah menyentuhnya, bahkan memperhatikan bentuk tubuhnya, dan saat ini aku malah membantunya mandi, jelas semua itu membuat dia merasa canggung. Jujur aku merasa berdosa padanya, saat ini aku ingin benar-benar merawat dan menjaganya, dengan harapan semua bisa menjadi penebus dosa.
"Aku mau siapkan sarapan dulu!" Kataku padanya setelah aku membantunya memakaikannya baju dan menyisir rambutnya.
Ku siapkan sarapan sederhana untuknya pagi ini, nasi yang aku masak dengan bantuan rice cooker, dan nuget ayam makanan Frozen food yang sengaja aku beli untuk memudahkanku membuatkan makanan untuknya, tak lupa aku menggoreng telur juga.
"Sarapan sudah jadi!" Kataku padanya. Ku dorong kursi rodanya yang saat itu berada di kamar menuju meja makan. "Ayo makan!" Kataku kemudian dengan menyuguhkan sepering nasi, nuget ayam, serta telur dadar di hadapannya. Dan kulihat dia hanya memandangi masakanku tersebut. "Aku minta maaf! Pagi ini aku hanya bisa menyedian makanan ini untukmu!" Kataku. "Nanti siang aku sudah catering makanan, sup iga dan makanan sehat lainnya, agar tulangmu kuat dan kamu cepat sembuh!" Kataku dengan tersenyum dan berusaha menyemangatinya. Namun aku lihat Hubby hanya terdiam dan menundukkan kepala.
"Terimakasih!" Katanya lirih dengan meneteskan air mata. Terlihat dia segera mengusap air matanya itu, sembari kemudia melihat ke arahku dan tersenyum. Aku tahu senyuman yang dia berikan padaku hanya untuk menutupi rasa sedihnya, karena sebenarnya hatinya masih sangat terluka dengan keadaan yang dia alami sekarang ini.
"Ayo aku suapi!" Kataku kemudian mencoba mengalihkan kesedihannya.
"Tidak usah, aku bisa sendiri!" Tolaknya seraya meraih piringnya dari tanganku.
"Assalamualaikum!" Ku dengar seseorang mengucap salam dari luar rumah di tengah-tengah makan pagi kami.
"Waalaikum salam!" Jawabku seraya beranjak meninggalkan Hubby di meja makan.
"Mbak nur ya?" Tanyaku pada wanita muda berjilbab coklat yang saat itu berdiri di depan pintu rumahku.
"Inggeih Gus!" Jawab wanita itu.
"Diantar siapa ke sini?" Tanyaku.
"Sama kang Iqbal." Jawabnya.
Ku lihat di pinggir jalan halaman rumahku tampak mobil Abahku sedang parkir.
"Kang Iqbal, mampir dulu!" Kataku dengan menghampiri mobil yang dikendarai kang Iqbal, salah satu santri Abahku yang selama ini sering mengantarkan keluarga kami.
"Sudah Gus! Saya pamit dulu ya! Soalnya sebentar lagi mau ada tugas mengantarkan Kiayi!" Kata kang Iqbal seraya turun dari mobilnya dan bersalaman denganku. "Ada salam dari Bu Nyai Arifah, titip mbak Nur, katanya!" Lanjutnya.
"Iya kang." Sahutku dengan mengangguk.
Setelah mobil kang Iqbal berjalan pergi, aku kembali masuk ke dalam rumahku untuk menemui mbak Nur. Mbak Nur adalah wanita yang akan menjaga dan membantu Hubby selama aku bekerja, sengaja aku minta tolong kepada Ummiku untuk mencarikan asesten rumah tangga yang akan membantuku menjaga Hubby selama aku bekerja. Dan ternyata Ummi mengirimkan Mbak Nur untukku, seorang santrinya yang sudah lulus dan sedang membutuhkan kerja.
"Ayo mbak Nur masuk!" Kataku padanya.
"Inggih Gus!" Sahutnya dengan membawa tas baju warna hitam di tangannya.
"Sayang!" Seruku pada Hubby, dan tak lama kemudian Hubby pun keluar dari ruang makan kami dengan kursi rodanya.
"Looo, mbak Nur?" Kata Hubby saat melihat mbak Nur di rumah kami, salah satu santriwati yang mungkin sudah dia kenal.
"Inggih Ning!" Katanya kemudian dengan mencium tangan istriku.
"Mbak Nur, yang akan menjaga kamu selama aku bekerja." Kataku kemudian pada Hubby.
"Mbak Nur, tugas mbak Nur menjaga Ning Hubby, melayani kebutuhan Ning Hubby!" Kataku kemudian padanya. "Mbak nur nggak perlu melakukan pekerjaan apapun, jaga Ning Hubby saja." Ujarku. "Kalau ada apa-apa dengan Ning Hubby waktu saya tidak ada di rumah, mbak Nur langsung telfon saya ya!" Terangku pada mbak Nur. "Sudah punya nomer say kan?" Tanyaku kemudian padanya.
"Sudah Gus, sudah dikasih sama Bu Nyai."
"Ya sudah ayo saya antar ke kamar mbak Nur!" Kataku kemudian dengan menunjukkan kamar yang ada di samping dapur kami.
Ku hampiri Hubby disaat mbak Nur mulai masuk kamar dan menata baju-bajunya.
"Sayang! Mbak nur akan menjaga dan menemani kamu selama aku bekerja! Tidak apa-apa kan!?" Tanyaku dengan menggenggam tangan istriku yang saat itu masih berada di atas kursi rodanya. "Kamu baik-baik di rumah ya, sama mbak Nur!" Kataku dengan mencium pipinya. "O iya, aku mau siap-siap dulu, karena sebentar lagi aku harus berangkat kerja." Pamitku kemudian padanya.
"Iya." Dia pun mengangguk dan membiarkan aku masuk ke dalam kamar kami untuk bersiap berangkat kerja.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubbyna "Menanti Cinta"
Fiksi UmumSebuah kisah perjodohan antara seorang dokter muda dengan seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan di sebuah pesantren milik keluarga sang dokter. Perjodohan ini sangatlah tidak diinginkan oleh sang dokter, karena sang dokter telah memiliki kekasi...