Gus Ashfa menghentikan langkahnya saat dia sampai di ruang tamu. Di pandangi tamu Abah dan Gus Ahmad yang saat itu duduk di shofa.
"Ashfa? Masih ingat temanmu waktu SMA ini?" Kata Abah Masykur pada suamiku.
Aku pun masuk dengan salam, dan tersenyum kepada mereka semua, ku tinggalkan Gus Ashfa yang ikut menemui tamu Abah dan Gus Ahmad itu.
"Hubby! Tolong antarkan kopi ini di ruang tamu ya!" Seru Ning Azna saat aku hendak masuk kamarku.
"Enggih Ning!" Jawabku sembari meletakkan tasku di bufet yang ada di dekat ruang makan tempat Ning Azna meminta bantuanku.
Ku ambil nampan yang berisi tiga cangkir kopi tersebut, dan kemudian mengantarnya di ruang tamu.
"Monggo!" Kataku pada tamu Abah dan Gus Ahmad dengan ramah.
Ku lihat saat itu Gus Ashfa memperhatikanku, entah apa yang pria itu fikirkan, namun sorot matanya menyimpan sejuta kekesalan saat menatapku. Ku abaikan sikapnya itu, aku segera kembali ke dapur untuk meletakkan nampan ini.
"Hubby! Bantu mbak ya!" Pinta Ning Azna kemudian padaku. Ku lihat dia begitu sibuk memasak sendirian untuk tamu. "Mbak-mbak santri lagi jamnya ngaji, jadi nggak ada yang bisa kesini" kata Ning Azna. "Mbak Siti juga ijin sakit, jadi nggak datang kesini." Lanjutnya dengan menyebut nama mbak Siti, abdi ndalem yang selama ini membantu pekerjaan dapur kami.
Aku pun segera membantu Ning Azna. Ku cuci sayuran yang sudah di potongnya.
"Hubby! Soto yang tadi pagi kamu masak, diangetin ya!"
"Iya Ning." Jawabku.
"Ini lauknya sudah mateng, nanti kamu tata di meja ya!"
"Iya Ning." Jawabku. "O iya, siapa sih Ning tamunya itu?" Tanyaku penasaran.
"Oooo... Itu temannya Gus Azka waktu sekolah doktor dulu." Jawab Ning Azna.
"Kuliah S3 maksutnya Ning?" Tanyaku.
"Iya, masih muda sudah S3 ya. Aku dengar dia itu memang pinter Hubby, dia kuliah di Indonesia, dan juga pernah belajar di Kairo katanya, terus udah doktor juga gelarnya. " Terang Ning Azna.
"Mau sowan ke Abah ya Ning datang kesini?" Tanyaku.
"Iya, mungkin itu juga tujuannya. Namun sebenarnya tujuan utamanya kesini karena di undang sama suamiku. Kata Gus Ahmad, dia mau dimintai tolong untuk menjadi konsultan pendidikan di pesantren ini, soalnya kan perlu ada peningkatan mutu dan kwalitas pendidikan, baik di sekolah formal maupun non formalnya, makanya Gus Ahmad mengundang dia kesini." Terang Ning Azna. "Dan Abah juga sangat setuju." Lanjutnya.
"Oooo.." aku mengangguk-angguk.
"Kayaknya dulu waktu SMA, kalau nggak salah, dia satu pesantren lo dek sama suamimu." Tambah Ning Azna.
"Oooo.." aku berfikir pantas saja Gus Ashfa ikut menemani orang itu, ternyata mereka pernah satu pesantren.
"Ya udah tolong ini di tata di meja makan!" Pinta Ning Azna kemudian padaku.
Aku pun segera menata makanan-makanan tersebut dengan rapi di meja makan, sementara Ning Azna mempersilahkan tamu Gus Ahmad tersebut untuk menikmati hidangan yang telah kami sediakan.
"Mari silahkan!" Kata Ning Azna ketika para tamu tersebut sudah masuk di ruang makan.
Abah, Gus Ahmad, dan Gus Ashfa pun ikut menemani tamu tersebut menyantap hidangan, sementara aku masih mondar-mandir untuk meletakkan air minum dan gelas di meja makan.
"Subhanallah! Masakannya enak sekali ini gus!" Kata tamu tersebut.
"Iya, mari tambah-tambah lagi!" Sahut Gus Ahmad.
"Kebetulan saya suka sekali soto ayam Gus!" Kata teman Gus Ahmad itu kemudian.
"Oooo... Itu masakannya Hubby, Hubby memang jago kalau masak soto." Sahut Ning Azna memuji masakanku. Masakan kesukaan Gus Ashfa yang biasa aku masak karena saran dari Ummi Arifah.
"MasyaAllah! Beruntung sekali Gus Ashfa memiliki istri cantik. Pintar masak juga!" Puji tamu Gus Ahmad itu sambil melihat dan tersenyum padaku.
Aku pun membalas senyumnya dengan senyuman ramahku, dan kemudian beranjak masuk ke dalam kamarku.
Ku tinggalkan para tamu yang sedang menikmati hidangan itu, aku merasa lelah, setelah sampai di dalam kamar segera aku baringkan tubuhku, dan kembali membuka tasku, melihat surat-surat dari Gus Firja yang belum selesai aku baca. Maksutku melihat dan membaca surat itu bukan karena ingin menghianati Gus Ashfa, tapi sekedar untuk menghibur diri mengenang masa remajaku yang lucu, apalagi Gus Ashfa pun telah tahu kalau dari tadi aku sudah membaca surat itu.
Beberapa menit kemudian Gus Ashfa pun masuk ke dalam kamar kami, dia melihat surat-surat yang tercecer di tempat tidurku tersebut.
Aku bergegas bangkit dari tidurku, dan tersenyum ke arahnya, meskipun dia tampak enggan membalas senyumku.
"Sudah selesai Gus makannya?" Tanyaku.
Dia hanya terdiam dan tidak menjawab pertanyaanku.
"Braaak!!!" Ku lihat dia masuk kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi dengan keras.
Setelah dia masuk kamar mandi, aku kembali melanjutkan membaca surat-surat itu, dan di tengah-tengah keasyikanku membaca surat tersebut, tiba-tiba Gus Ashfa mengagetkanku kembali dengan membuka pintu kamar mandi dan menutupnya lagi dengan keras. Entah kenapa sikap pria itu begitu membingungkanku.
"Sudah mandinya Gus?" Tanyaku lagi dengan senyuman.
Ku lihat dia masih terdiam mengacuhkanku dengan memakai baju koko menghadap di depan lemari pakaiannya.
"Kegenitan!" Cetusnya seolah mengataiku.
"Apa?" Sahutku menyeranga penuh tanya.
"Setelah baca surat-suratnya, kemudian cari perhatian di depannya, apa itu namanya kalau bukan kegenitan?" Katanya dengan menatapku penuh kekesalan.
"Aku nggak ngerti?" Jawabku bingung dengan pernyataannya.
"Pura-pura nggak ngerti, pura-pura tidak tau? Sejak kapan kamu suka berpura-pura seperti itu?" Tanyanya masih dengan tatapan kesal padaku.
"Aku benar-benar nggak ngeri maksut Gus Ashfa itu apa?" Aku bangkit dari tempat tidurku dan sedikit meninggikan suaru, karena aku merasa tidak mengerti dengan pertanyaannya.
"Siapa laki-laki yang ada di depan tadi?" Tanyanya kemudian padaku.
"Temannya Gus Ahmad." Jawabku.
"Kamu pura-pura tidak kenal sama dia?"
"Memang aku tidak kenal." Jawabku.
"Firjatullah 'Atif Ghani!!" Kata gus Ashfa menyebut nama seseorang yang entah itu siapa. "Orang yang sudah mengirim surat padamu!" Lanjutnya. "Masih pura-pura tidak tau?" Tanyanya kemudian.
"MasyaAllah!" Gumamku lirih. "Jadi tamu Gus Ahmad yang ada di depan itu Gus Firja? Yang sering mengirim surat waktu aku Aliyah dulu?" Tanyaku tak percaya.
"Jadi kamu tidak tahu?" Tanya Gus Ashfa tak percaya.
Aku pun menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Kata Ning Shafa dulu Gus Firja sering memperhatikan aku, waktu aku ngaji di ndalem Umminya." Terangku kemudian pada Gus Ashfa. "Sementara aku nggak pernah tahu orangnya, karena memang aku nggak pernah ketemu sama dia." Lanjutku. "Ternyata orangnya ganteng juga ya Gus?" Pujiku kemudian di depan Gus Ashfa. "MasyaAllah!!" Kataku penuh kekaguman.
Gus Ashfa hanya menatapku heran. Tangannya berlahan mengepal seolah ingin dihantamkannya kesebuah benda.
"Dengar ya Hubby! Wanita yang faham agama seperti kamu, pasti tau, dosa apa tidak seorang istri yang memuji ketampanan laki-laki lain di depan suaminya??!" Tandas Gus Ashfa mengejutkanku. "Aku ke masjid dulu! Assalamualaikum!" Lanjutnya kemudian seraya melangkah meninggalkanku. "O iya, tetaplah di dalam kamar sampai aku pulang!!!" Tiba-tiba Gus Ashfa menghentikan langkahnya, dan meminta aku untuk berdiam diri di dalam kamar.
Entah kenapa tiba-tiba laki-laki itu menjadi protektif padaku. Padahal sebelumnya dia tak perduli kemanapun aku pergi, sungguh aku benar-benar bingung dengan sikapnya hari ini.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubbyna "Menanti Cinta"
Fiksi UmumSebuah kisah perjodohan antara seorang dokter muda dengan seorang mahasiswi yang menempuh pendidikan di sebuah pesantren milik keluarga sang dokter. Perjodohan ini sangatlah tidak diinginkan oleh sang dokter, karena sang dokter telah memiliki kekasi...