Bagian 10

2.6K 103 0
                                    

Satu hari sudah aku berada di rumahku, besok adalah tanggal 8 April, tepatnya adalah tanggal 14 Syakban dimana pernikahanku akan dilangsungkan. Ku lihat keluarga besarku tampak sibuk mengurus persiapan untuk hari pernikahanku yang akan digelar besok, mulai dari dekorasi dan tenda untuk acara ijab dan walimatul urusy yang akan di selenggarakan di rumahku, hingga persiapan hidangan untuk tamu.

Tampak keluarga besarku sudah mulai berkumpul di rumahku, kebahagiaan pun ku lihat diantara mereka untuk menyambut hari pernikahanku, jujur melihat aura kebahagiaan mereka rasanya hatiku pilu, karena aku takut esok hari yang terjadi tak seindah yang mereka harapkan, dan untuk mengurangi rasa gelisah, serta kecemasku tak henti kubaca sholawat, istigfar, dan dzikir lainnya hingga perasaanku menjadi tenang. Kemudian ku ingat kembali nasehat ning Azna untukku, agar aku berfikir positif terhadap keputusan Abah dan Ummiku, ya aku harus ikhlas dengan keputusan beliau, karena pasti apa yang beliau pilihkan hanya bertujuan agar aku bahagia.

Tak terasa kegelisahan-kegelisahanku pun membawa aku pada berjalannya waktu, bertambahnya jam, dan bergantinya hari, serta datangnya hari ini, hari dimana seorang pria akan mengucapkan janji suci di hadapan Allah untukku.

Seorang perias pengantin pun sudah datang untuk meriasku, agar aku tampil lebih cantik saat acara pernikahanku, karena tepat jam 09.00 nanti acara ijab qobul pernikahanku akan di laksanakan, entah kenapa aku semakin gelisah, apalagi ketika kulihat semakin banyak tamu yang datang ke rumahku, para tamu yang sudah hadir untuk menyaksikan acara ijab qobul pernikahan kami, pernikahanku dan Gus Ashfa. Sengaja orang tuaku memilih rumah untuk pelaksanaan acara ijab qobul ini, karena beliau ingin para malaikat dari langit turun ke rumahku untuk mendoakan pernikahan kami.

Sudah jam sembilan lebih lima belas menit namun keluarga Gus Ashfa belum sampai rumahku, padahal petugas pencatat nikah, keluarga besarku dan tamu undangan sudah bersiap menyaksikan pernikahan kami. Keluargaku tampak gelisah terutama Abah dan Ummiku, karena seharusnya keluarga Gus Ashfa sudah hadir di rumah kami, apalagi jarak rumah kami yang tidak begitu jauh, dan hanya butuh waktu 60 menit perjalanan.

Paman dan bulekku aku lihat sibuk menelfon, sepertinya beliau menelfon keluarga Gus Ashfa menanyakan kenapa terlambat hadir dalam acara pernikahan ini, jujur pikiranku pun ikut tidak tenang, apalagi saat ini sudah mampir tiga puluh menit keluarga Gus Ashfa blum datang.

"Tunggu ya calon mempelai pria masih di jalan!" Kata bulekku sambil merangkul dan menggenggam tanganku, mungkin beliau melihat kecemasan di mimik wajahku. Aku pun mengangguk dan tersenyum tipis ke arah bulekku.

Sudah hampir satu jam namun keluarga Gus Ashfa ku lihat masih belum datang, ya Allah aku semakin gelisah.

"Sudah datang!" kata salah seorang keluargaku lantang mengabarkan kalau keluarga Gus Ashfa sudah tiba di rumahku. Aku yang berada di ruangan yang terpisah dengan tempat Gus Ashfa akan mengucapkan ijab qobul mulai bisa bernafas lega meskipun tidak dapat melihat secara langsung kehadiran dia dan keluarganya.

"Kok belum dimulai-mulai ijabnya?" Tanya salah satu tamu yang berada dalam ruangan tempatku duduk.

"Yang datang masih keluarganya, pengantin prianya belum datang." Jawab salah satu di antara mereka.

Ya Allah hatiku kembali gelisah, ternyata yang datang hanya keluarga Gus Ashfa, sementara dia tidak ikut hadir bersama rombongan yang baru datang tersebut. Aku menghelan nafas panjang, aku mencoba menenangkan pikiranku dengan sholawat dan istighfar, berharap tidak terjadi apa-apa dihari pernikahanku ini.

Tiga puluh menit sudah berlalu, namun mobil pengantin Gus Ashfa aku dengar belum juga datang. Aku lihat para tamu undangan sudah mulai gelisah kembali, begitu juga dengan keluargaku, begitu juga diriku, apalagi saat aku dengar handphone Gus Ashfa yang tidak dapat dihubungi. Ya Allah rasanya pikiranku menjadi tidak menentu, badanku terasa lemas, dan aliran darahku serasa terhenti, bukan kecewaku yang aku pikirkan jika sampai pernikahan ini gagal, namun kekecewaan dan rasa malu yang akan keluargaku rasakan.

"Ya Allah aku pasrah akan takdirmu, aku yakin apapun yang terjadi adalah kebaikan yang kau pilihkan untukku, karena sesungguhnya Engkau berada dalam persangkaan hambaMu." Kataku dalam hati, hingga tak terasa air mataku mengalir.

Bersambung

Hubbyna "Menanti Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang