Bagian 17

2.5K 107 2
                                    

Seperti yang telah dikatakan padaku, Gus Ashfa benar-benar meninggalkan rumahnya siang ini. Tak banyak yang dia katakan padaku sebelum pergi, hanya berpesan agar aku konsentrasi dan menyelesaikan kuliahku dengan baik.

Aku kembali menjalani hari-hariku tanpa Gus Ashfa, selayaknya mahasiswi lajang tanpa pasangan, karena Gus Ashfa pun tak pernah mengirim pesan untukku, mungkin hanya salam yang dia kirim untukku lewat Umminya saja.

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, enam bulan, hingga sepuluh bulan, namun Gus Ashfa masih belum pulang. Ku lihat saat itu Ummi Arifah begitu panik menghubungi Gus Ashfa. "Ashfa ini kenapa, setiap di suruh pulang selalu saja alasan sibuk-sibuk terus?" Gumamnya sambil memencet-mencet layar ponselnya. "Hubby!" Dia terkejut saat aku tiba-tiba ada di belakangnya membawa wedang jahe hangat kesukaannya. "Maafkan Ashfa ya nak!" Katanya kemudian padaku.

"Iya Ummi, tidak apa-apa, Gus Ashfa sudah pernah bilang sama Hubby, kalau dia mungkin tidak akan pulang sampai program profesinya selesai." Sahutku.

"Terus kamu izinkan?" Tanya Ummi Arifah kemudian.

"Iya Ummi, saya Izinkan." Sahutku.

"Mmmmm, terimakasih ya nak! Ummi tidak salah memilihkan istri Solehah untuk Ashfa yang begitu sabar mendukungnya." Kata ummi Arifah kemudian sambil memelukku.

Hari itu telah berlalu, sepuluh bulan sudah Gus Ashfa meninggalkanku, dan kini kuliahku sudah hampir memasuki semester 7, satu tahun lagi InsyaAllah kuliahku sudah akan selesai. Sebulan kemudian setelah hari itu, ketika aku baru pulang dari kampusku, ku dengan begitu gaduh di ruang keluarga rumah mertuaku.

"Hebat ya kamu, bisa-bisanya kamu melaksanakan yudisium profesi tanpa mengabari kami!" Tegur Gus Azka dengan suara lantang pada adik bungsunya itu. "Kenapa kamu tidak memikirkan perasaan kami, perasaan Ummi, Abah, terutama perasaan istrimu!" Lanjutnya. "Bisa-bisanya hari bahagiamu itu kamu nikmati sendiri tanpa berbagi dengan keluarga." Tambahnya.

"Maafkan Ashfa mas, Ashfa hanya tidak ingin merepotkan kalian" jawab Gus Ashfa dengan menunduk.

Ternyata program profesi Gus Ashfa telah selesai, dan saat yudisium profesi dokternya Gus Ashfa tidak mengabari kami semua.

"Apa uji kompetensimu untuk mengurus STR juga sudah selesai?" Tanya Gus Azka kemudia, menanyakan ujian kompetensi sebagai syarat untuk mengurus surat tanda registrasi atau biasa di sebut STR, sebuah surat yang menjadi tanda bahwa dokter muda tersebut telah legal membuka praktek.

"Iya sudah." Jawabnya singkat.

"Berarti setelah ini kamu sudah bisa mengurus klinik di pesantren ini." Tandas Gus Azka kemudian.

"Masih belum bisa mas, setelah memperoleh STR aku masih harus magang dulu, aku masih wajib mengikuti program internship, Aku masih harus mengikuti program itu kurang lebih satu tahun, dan kampus yang menentukan dimana aku akan di tempatkan." Terang Gus Ashfa. "Aku juga sudah memperoleh jadwalnya." Lanjutnya.

"Di rumah sakit mana?" Tanya Gus Azka.

"Di luar kota, di luar pulau Jawa," jawab Gus Ashfa sambil menjulurkan secarik kertas kepada kakak kandungnya itu.

"NTT ?" Gus Azka mengerutkan alisnya. "Bawa istrimu kesana juga!" Perintah Gus Azka kemudian.

"Tidak bisa begitu mas?"

"Kenapa?" Gus Azka meninggikan suaranya.

"Hubby masih kuliah, sebentar lagi dia juga harus skripsi. Bagaimana dia bisa ikut denganku." Gus Ashfa juga meninggikan suaranya.

Rasanya aku begitu tidak nyaman mendengar pembicaraan mereka. Segera aku pergi ke dalam kamarku sebelum mereka tahu aku mendengarkan pembicaraan mereka.

Selama ini memang Gus Azka lah yang lebih sering menegur dan menasehati adik bungsunya tersebut, sementara Gus Ahmad cenderung lebih sabar dan pendiam.

Hampir satu jam aku di kamarku mengerjakan beberapa tugas kuliah, namun sampai saat ini Gus Ashfa masih belum masuk kamar kami. Mungkin saat ini dia masih meneruskan pembicaraan dengan kakak dan Umminya, karena aku lihat tadi Gus Azka, Ning Khilma, Ning Azna, dan Umminya ada di sana. Hanya Abah dan Gus Ahmad yang tidak aku lihat, karena sepertinya beliau berdua ada kepentingan mengajar di pesantren putra, yang jaraknya sekitar setengah kilo dari rumah induk ini.

Tak lama kemudian tenggorokanku terasa haus, aku segera keluar dari kamarku, ku ambil air putih di dalam kulkas yang ada di dapur rumah ini.

"Hubby! Antar wedang jahe ini ke kamar Ummi ya!" Seru Ning Azna saat melihatku membuka lemari es yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Iya Ning." Jawabku.

"Kamu baru datang? Gimana kuliah kamu?" Tanyanya padaku sambil tersenyum.

"Alhamdulillah lancar Ning."

"O iya, Ashfa sudah datang, mungkin sekarang ada di kamarmu." Kata Ning Azna kemudian.

Aku tersenyum saat Ning Azna mengatakan hal tersebut padaku. Mungkin Ning Azna tidak tahu kalau sebenarnya aku sudah dari tadi berada di rumah ini, karena seperti biasa aku tadi masuk rumah ini lewat pintu belakang pintu yang berdekatan dengan dapur dan ruang makan.

Setelah sedikit berbincang dengan Ning Azna aku segera mengantar wedang jahe tersebut ke kamar umi Arifah. Namun sesampai di depan kamar ku dengar suara Ummi Arifah dengan sedikit tangisan.

"Kenapa sih nak, kenapa kamu tidak mengabari Ummi di acara yudisium itu? Kenapa Ummi tidak kamu ijinkan untuk menyaksikan keberhasilanmu?!" Tanya Ummi Arifah dengan suara begitu kecewa. "Kenapa kamu tega sama Ummi!" Lanjut Ummi dengan nada suara yang disertai tangis kesedihan.

"Tolong mengerti aku Ummi! Apa keinginan Ummi yang tidak aku berikan selama ini? Tiba-tiba Ummi menjodohkanku, tiba-tiba Ummi menetapkan tanggal pernikahanku, dan tiba-tiba juga Ummi memintaku untuk menikah dengan wanita yang tidak aku sukai. Tolong pahami sedikit saja perasaanku Ummi! Aku tiba-tiba harus memutuskan Aliya tanpa dia memiliki salah apapun padaku, aku menjauhinya, aku memutuskan untuk mengacuhkannya, dan tiba-tiba saat yudisium aku harus membawa Hubby bersamaku, begitukah keinginan Ummi?" Tanya Gus Ashfa dengan suara memelas. "Tolong sedikit saja pahamilah aku Ummi! apa salah, jika aku sedikit saja menjaga perasaan Aliya Ummi! Seorang wanita yang aku cintai, yang telah tiba-tiba aku tinggalkan tanpa sebuah kesalahan." Lanjutnya.

Ternyata Gus Ashfa tidak mengabari acara tersebut pada keluarganya, karena takut aku akan hadir di sana.

"Dengarkan Ummi! Ummi tidak akan perna ridho dunia akhirat jika kamu sampai meninggalkan Hubby!" Ku dengar suara lirih Ummi Arifah mengatakan hal tersebut pada putranya. Dan setelah itu aku tidak lagi mendengar suara Gus Ashfa menjawabnya.

"Kreeek!" Sepertinya Gus Ashfa mulai membuka pintu. Aku mencoba mencari tempat yang aman agar Gus Ashfa tidak melihatku. Aku tidak ingin dia tahu kalau aku mendengarkan ungkapan perasaannya kepada Umminya.

Setelah beberapa menit dia pergi ku ketuk pintu kamar Ummi dan mengantarkan wedang jahe tersebut padanya. Aku segera keluar setelah meletakkan wedang tersebut di meja, karena aku lihat Ummi Arifah sedang khusus berdzikir dengan tasbih di tangannya.

Aku menghelan nafas panjang. Ada rasa sesak di dadaku, sebuah dilema cinta, tentang suami yang tidak menginginkanku dan tentang wanita yang suamiku tiba-tiba tinggalkan untuk menikah denganku. Bisa aku bayangkan rasa sakit hati dokter Aliya, dan aku pun merasakan sesaknya dada ini saat mendengarkan suamiku sedikitpun tidak memiliki rasa cinta pada aku istrinya.

Bersambung

Hubbyna "Menanti Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang