Extra Part

12.1K 672 83
                                    

Satu tahun berlalu, terhitung sejak pembuktian Alran yang membuktikan bahwa pisangnya tidak sekecil seperti yang Arlen pikirkan. Pria itu tersenyum puas ketika melihat perut Arlen yang kian hari kian membesar. Dokter bilang usia kandungan Arlen sudah memasuki tahap siaga tanda-tanda melahirkan.

Tangan Alran telulur mengusap pelan perut Arlen sambil mengajak bicara calon bayi yang ada di dalamnya.

"Hai sayang, anak Papa gimana kabarnya? Sehat?" tanya Alran sambil tersenyum.

Alran menautkan kedua alisnya, pria itu terlihat kebingungan ketika tangannya tidak lagi merasakan pergerakan. Terhitung sejak bulan kemarin, pergerakan janin semakin berkurang. Alran akhirnya mengangkat pandangannya untuk bertanya pada Arlen, "Yang, kok makin hari gerakannya makin nggak terasa? Dia kenapa?"

"Gak tau, mungkin dia malas ngeladenin Bapaknya," sahut Arlen tanpa mengalihkan fokusnya pada layar televisi yang menampilkan MV Life Goes On.

"Ish nggak mungkin," sanggah Al. Kemudian Pria itu kembali menatap perut Arlen. "Kamu nggak mungkin gitukan, nak?" ulangnya bertanya pada janin yang ada di perut Arlen.

"Akh ... sttsh, perut aku sakit Al," ringis Arlen tiba-tiba.

"Sakit? Sakit kenapa? Perasaan aku elusnya pelan deh."

"Gatau, mungkin mau ber ...."

"Berak? Yaudah sini aku bantu ke toilet," potong Alran sambil melingkarkan tangannya di bahu Arlen, berniat memapah sang istri. Namun, di tepis kasar oleh Arlen.

"Mau beranak Al, beranak ... bukan berak, akh aduh, sakit."

"Ooh beranak ... bilang dong dari tadi."

Arlen hanya meringis sesekali memekik ketika kontraksi sedang berlangsung. Wanita itu merasakan kram di bagian perutnya dan nyeri pada punggung.

"Yaudah kita ke rumah sakit sekarang ya," ujar Alran yang diangkuki Arlen.

Namun ketika Al membantu Arlen berdiri, cairan kekuningan seperti air kencing memberebes keluar dari selangkangan Arlen.

"Yah Sayang, kok kamu pipis di celana sih, kita kan mau pergi ke rumah sakit," desah Alran.

Bugh.

"Aduh!" pekik Al ketika Alren menghadiahinya bogeman di kepalanya.

"Ini ketuban Al, ketuban!" seru Arlen yang hampir menangis karena kebodohan suaminya.

"K-ketuban? Mana sini aku liat."

Plak.

"Aduh!"

"Gausah diliat, ayo cepat kita ke rumah sakit sekarang. Aku udah nggak tahan Al!" bentak Arlen.

"I-iya, yaudah kita ke rumah sakit sekarang," sahut Alran sambil memapah tubuh Arlen, berjalan menuju garasi mobi.

"Bi ... Bibi!" seru Alran.

Sesaat kemudian, wanita paruh baya datang menghampirinya. "Iya Tuan," sahut wanita itu.

"Tolong ambilkan kunci mobil, cepat Bi!"

"Kunci mobil yang mana tuan, mobil tuan ada banyak."

"Yang mana aja Bi, cepat! Ini si Arlen udah mau brojol."

Plak.

"Bahasamu Al!"

"Iya, iya ... maaf."

Tidak lama kemudian, wanita paruh baya itu kembali menghampiri Al sambil membawa sebuah kunci. "Ini kuncinya Tuan."

"Makasih banyak ya Bi, saya mau ke rumah sakit dulu. Tolong jaga rumah."

I'm Not a Little Banana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang