Menolak Cerai🍌

10.7K 760 66
                                    

Al duduk di balkon rumahnya dengan pandangan kosong. Pikirannya menerawang jauh mengenang moment di mana dia masih bersama Arlen. Meskipun sering bertengkar, tak jarang Al merasakan kasih sayang Arlen yang berusaha gadis itu sembunyikan. Ketahuilah, Arlen itu sangat perhatian, hanya saja dia terlalu gengsi untuk mengatakan. Ah ... Al benar-benar merindukan Istrinya.

Istrinya yang selalu memarahinya saat duduk di balkon dengan alasan mengganggu pemandangan, padahal kenyataannya gadis itu hanya khawatir, jika Al tidak tahan angin malam.

Istrinya yang selalu menyisakan makanannya dengan alasan sudah kenyang, padahal dia hanya ingin berbagi dengan Al. Al sangat Mengenal Arlen dan Al tahu bagaimana porsi makan gadis itu yang sesungguhnya.

Bayangan-bayangan Arlen menyesakkan relung hati Al. Terlebih saat Arlen yang selalu menyelimutinya diam-diam, dan mengatakan jika Al sendiri yang mengigau dan menyelimuti dirinya sendiri, padahal Al belum benar-benar tidur saat itu.

Perasaan bersalah menghantui Al, andai waktu itu dia sedikit bersabar dan memberikan waktu untuk Arlen menyelesaikan ucapannya, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Alran yang takut kehilangan Arlen, kini benar-benar kehilangannya, hanya karena ketidaksabaran. Tanpa disadari, air matanya jatuh seiring rasa bersalah itu semakin kuat. Bogeman mentah sahabat Arlen dan tamparan Naomi tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.

Entah sudah berapa lama dia berdiam diri di balkon, angin malam mulai berhembus semakin kencang. Al memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya, namun saat membalikkan badan Al dikejutkan dengan kehadiran Naomi dan Vannesa.

Tak

"Sekarang kamu tinggal tanda tangan," ucap Naomi menyerahkan sebuah surat dari pengadilan agama.

Al meraih surat itu dan membacanya secara perlahan dan teliti. Al menatap wajah Naomi yang memasang tampang angkuh.

"Ma, kalian tidak ada hak untuk ikut campur urusan rumah tangga kami!" geram Al sambil merobek kertas itu.

Naomi dan Vannesa sama-sama melotot melihat tindakkan Al. Butuh beberapa hari untuk membuat surat itu, namun Al dengan entengnya menyobeknya hanya dalam hitungan menit.

"Apa yang kau lakukan Al!" teriak Vannesa.

"Bodoh!" hardik Naomi.

"Al ... ini demi kebaikan kalian," kata Vannesa dengan nada sedikit memelas.

"Aku yang bodoh atau kalian yang egois?" tanya Al.

"...."

"...."

"Dulu waktu kami saling membenci, kalian bersikukuh untuk menikahkan kami dengan memanfaatkan ketidaksengajaan. Sekarang, disaat kami mulai mencintai, kalian bersikeras untuk memisahkan kami? Sebenarnya ibu macam apa kalian? Bersikap seolah-olah ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Padahal kenyataannya malah membuat kami seakan tersiksa setiap saatnya," ungkap Al yang berusaha kuat menekan emosinya agar tidak terlontar.

"Kalian memasukkan kami ke dalam posisi canggung, yang butuh waktu lama untuk kami beradaptasi. Namun setelah kami bisa beradaptasi, kalian kembali mengulangi hal yang sama, dan itu terjadi berkali-kali. Sekali lagi ... aku bertanya, orang tua macam apa kalian? Sangat tidak becus membahagiakan anaknya."

"ALRANDO DANAYAKSA!" peringatan Vanessa.

"Sebaiknya kalian pergi," sambungnya dingin.

Ekspresi Al benar-benar berubah membuat Naomi dan Vannesa tidak berani membantah, mereka memutuskan untuk pergi tanpa pamit.

Setelah kepergian mereka, napas Al mulai tersegal-segal. Dengan gemetar, Al berpegangan pada dinding dan berjalan menuju nakas dengan tertatih-tatih. Al meraih obat penenang dan menegaknya tanpa Air. Entah sejak kapan dia memiliki ketergantungan dengan obat itu.

I'm Not a Little Banana [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang