The Unspoken Past

17 5 1
                                    

Gilang bersama dengan kelompoknya memutuskan untuk kembali dan beristirahat selama dua minggu di Shimane. Mereka sebenarnya bisa saja langsung pergi ke Provinsi Mie, tujuan mereka selanjutnya, dengan menggunakan kereta. Namun sesuatu terjadi dengan Gilang sehingga perjalanan mereka tertahan.

"Angin malam ini agak kencang," kata Gilang dengan segelas teh hijau di tangannya, "mungkinkah hujan malam ini?"

"Gilang," panggil Dia, "boleh aku duduk di sampingmu?"

"Tentu. Aku justru senang kau duduk bersamaku."

Dia menarik kursi dan duduk di samping suaminya.

"Bagaimana kakimu?," tanya Dia.

"Rasanya lebih enak setelah perban yang gatal itu dibuka," kata Gilang sambil melihat kaki kirinya yang telah buntung, "Jean bilang dia akan selesai membuat kaki palsuku besok."

"Aku tidak tahu dia bisa membuat kaki palsu."

Gilang tertawa, "anak itu memang tidak terduga."

Gilang dan Dia terdiam setelah mereka menyadari betapa indahnya malam hari yang kala itu dipenuhi oleh bintang. Gilang mencuri pandang ke wajah Dia yang terlihat manis seperti biasa.

"Um... Dia," kata Gilang.

"Iya?"

"Apa kau tidak masalah memiliki suami yang cacat?," tanya Gilang dengan rasa cemas.

"Aku tidak peduli dengan hal itu," Dia memegang tangan suaminya, "aku tidak peduli jika tubuhmu tidak utuh. Selama hatimu masih utuh mencintaiku, aku sama sekali tidak keberatan."

Gilang tersenyum karena ia yakin Dia mengatakannya langsung dari hatinya, "terima kasih, Dia. Aku sangat bersyukur memilikimu sebagai seorang istri."

"Aku juga, Gilang. Menikah dengan dirimu adalah sebuah kebahagian untuk diriku."

Gilang dan Dia tersenyum selama ke satu sama lain selama beberapa saat. Gilang lalu melirik ke arah perut Dia.

"Aku akan segera menjadi seorang ayah ya...," kata Gilang, "aku harap aku siap."

"Tenanglah, aku yakin kau akan jadi ayah yang baik."

"Aku sebenarnya memiliki gambaran cara membesarkan bayi manusia. Tapi aku sama sekali tidak tahu cara membesarkan bayi demi human."

"Tenang saja," kata Dia, "aku akan membantumu."

"Syukurlah..."

Gilang dan Dia kembali sunyi. Mereka saling diam bukan karena keduanya tidak memiliki bahan pembicaraaan. Terkadang, kesunyian adalah cara mereka untuk menikmati waktu mereka. Gilang lalu melirik ke arah Dia. Dia, entah bagaimana, membangkitkan kembali memori masa mudanya saat ia masih di Jakarta. Sesuatu yang ia tidak bisa sembunyikan dari istrinya itu selamanya.

"Dia, malam seperti ini rasanya aku ingin bercerita," kata Gilang, "bolehkah?"

"Tentu."

"Setiap kali aku melihatmu, aku selalu teringat dengan mentorku."

"Mentormu?"

Gilang mengangguk, "namanya Rina. Rina... dia sebenarnya lebih mirip figur ibu dibandingkan mentor. Kami bertemu saat aku berusaha mencopet tasnya. Saat aku mencoba kabur, aku tertabrak... em... katakan saja kereta kuda. Wanita itu bisa saja membawaku ke kantor polisi militer, tapi dia justru membawaku ke rumah sakit dan membiayai pengobatanku. Aku sangat berterima kasih kepadanya sampai - sampai aku membungkuk berkali - kali begitu aku telah keluar.

"Sejak aku keluar dari rumah sakit, kami selalu bertemu di tempat yang sama. Aku selalu membuang muka pada awalnya, berpikir bahwa ia mungkin akan berteriak dan mengacaukan aksi pencopetanku. Suatu hari aku memutuskan untuk mengikutinya diam - diam. Rina ternyata adalah relawan yang peduli dengan pendidikan anak jalanan. Aku ingat dia membuka sebuah sekolah jalanan di bawah jembatan di mana ia mengajari anak jalanan yang mau belajar.

This New World Is My Hunting GroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang