Ruangan dengan cat dominan berwarna putih dan juga bau obat-obatan yang menyengat menyambut seorang laki-laki yang sudah kehilangan kesadaran tiga jam lamanya.
Perlahan, mata laki-laki itu terbuka lebar menatap satu persatu orang yang berada di sekelilingnya. Ada Moyanya yang duduk di sampingnya dan Poya yang berdiri di belakang Moyanya.
"Moya?"
"Poya?"
Mendengar lirihan dari anaknya tersebut membuat Sang ibu menangis sambil menggenggam tangan anaknya. "Ale, kamu udah sadar." ucap Revi sambil sesekali mengecup tangan anaknya.
"Sayang udah jangan nangis terus," ucap Aron pelan sambil mengelus puncak kepala istrinya.
Alendra meringis pelan saat merasakan kepalanya begitu sakit. "Moya, sini deh deketan wajahnya." ucap Alendra susah payah karena laki-laki itu memakai alat untuk membantu pernafasan atau biasa disebut ventilator.
Revi menuruti keinginan anaknya, wanita itu mendekatkan wajahnya. Kemudian, perlahan tangan Alendra menyentuh wajah Revi. Laki-laki itu mengusap air mata Revi dengan lembut. "Maafin Ale ya bikin Moya sedih," ucapnya lirih.
Melihat itu, bukannya berhenti menangis justru tangisan Revi semakin menjadi. Aron pun tidak kuasa menahan rasa sedihnya, sesekali laki-laki itu mendongakan kepalanya ke atas agar air matanya tidak turun.
Alendra melepaskan alat bantu pernafasannya kemudian laki-laki itu berusaha duduk. Namun, wajah laki-laki itu langsung tegang.
"M-moya? Kok kaki Ale nggak bisa digerakin?" tanya Alendra sambil menatap Revi panik.
Alendra berusaha menggerakan kakinya lagi tetapi tetap tidak bisa. Bahkan laki-laki itu berusaha memukul kakinya dengan tangannya sendiri.
"Ale udah!" ucap Aron sambil berusaha memberhentikan tindakan Alendra yang masih berusaha memukuli kakinya sendiri.
"Poya jawab kaki Ale kenapa?!" pekik Alendra keras, suaranya menggema di penjuru ruangan.
"Ale kamu tenang dulu ya, nanti dijawab. Kamu tenang dulu," ucap Aron berusaha menenangkan anaknya sedangkan Revi sudah terisak kembali melihat keadaan Alendra.
Alendra membuka selimut yang menutupi tubuhnya, kemudian laki-laki itu berusaha duduk dengan susah payah karena bertumpu pada tangannya.
Saat laki-laki itu akan berdiri, Aron dengan cepat menahannya. "Ale dengerin Poya! Ale kamu nggak boleh kayak gini. Kamu harus istirahat."
Alendra menatap Aron dengan mata berkaca-kaca. "Poya, Ale lumpuh ya?" tanya laki-laki itu lirih dengan suara bergetar.
"Enggak sayang, anak Moya nggak lumpuh." sahut Revi masih dengan tangisannya. Revi tidak kuat menatap Alendra saat ini.
Alendra tersenyum meskipun terlihat jelas guratan kesedihan dari wajahnya. "Kalo gitu Ale mau jalan, Poya minggir dulu ya? Jangan halangin Ale." ucap Alendra sambil perlahan melepaskan tangan Aron dari tubuhnya.
Setelah melepaskan tangan Aron yang menahannya, Alendra berusaha berdiri tetapi kakinya benar-benar tidak bisa digerakkan. Saat Alendra hendak melangkah, laki-laki itu justru terjatuh di lantai dekat ranjang rumah sakit karena salah satu kakinya tidak bisa digerakan. Dan standar infus atau tiang yang berfungsi untuk menggantungkan kantong yang berisi cairan infus itu pun ikut terjatuh.
"Moya bohong! Ale nggak bisa jalan!" ucap Alendra keras memukuli kakinya, tangis laki-aki itu pecah. Dan untuk pertama kalinya, Revi melihat anak satu-satunya menangis.
"Ale ayo bangun, kamu nggak boleh gini." lirih Aron membenarkan kembali standar infus Alendra sambil berusaha membantu anaknya itu berdiri. Sebagai seorang Ayah, Aron juga tidak bisa melihat Alendra dalam keadaan seperti ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/227033797-288-k627050.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ailendra
Teen Fiction"Lendra, Ibu tanya sekali lagi ya? Cita-cita kamu kalo udah besar nanti apa?" "Nikah sama Aileen, Bu." "Alendra, Ibu serius." "Tapi kata Poya, Ale cuma boleh seriusin Ai, Bu." "..." ~12 Tahun Kemudian~ "Alendra Arkhana Mahatma! Kerjaanmu berantem t...