Submission: geming? Gebrak!

267 166 26
                                    

Pada akhirnya kita tak
pernah sudi terlihat sedih,
sedih berarti kau dikendalikan
oleh tindak tanduk orang.
Ajukan reaksi lain,
jelmakan sedih cukup sesaat.

Jangan terus mengikis diri.

°°°

"Eits papa ngawur ah," sungut Andre, "gak semua nama yang nongol di koran punya nama baik juga kali, ada yang kriminal juga!" Orang-orang yang duduk melingkar semeja dengan Pak Lampas kebanyakan terlihat menahan tawa agar tidak dulu meledak. Tapi sebagian tetap memilih untuk mendukung cetusan asal Andre, mereka terang-terangan mengawangkan gelora tawa. "Kembaran sekaligus adik saya ini namanya Pangeran Om, Tante. Gimana tampan gak tampan gak, yang pasti setampan Andre lah ya? Orang copy."

"Ya, mukanya sih sama kayak Andre. Tapi Andre lebih bersinar." Adik laki-laki Pak Lampas tadi kembali menimpali.

Pangeran tersenyum getir mendengarnya, tapi apa gunanya marah pada hal yang benar nyata? Selagi Andre menyerap atensi, Pangeran justru terduduk pada bangku terdepan, jujur ia ikut merasa bangga, padahal berbeda raga. Sebab Pangeran tahu betul, membuat orang terkesan bukan pekerjaan sederhana: memerlukan kerahan usaha sekaligus alasan paling masuk akal. Ah, apa Pangeran sendiri sudah hadir dengan cara paling masuk akal?

Timpalan yang berpeluang melambungkannya sekali lagi itu, justru membuat Andre tersenyum kecut. Apa-apaan ini? Ia tak sudi mengamati timbangan harga diri anak Pak Lampas menjadi jomplang!
"Yah, Om. Itumah karena Om lihatnya dari kubu Andre, coba kalau Om lebih dekat sama Pangeran, pasti Pangeran yang lebih dapat aura berkilaunya!"

Pak Lampas mengamati gelagat kedua anaknya, Andre yang kewalahan mempertahankan, selagi Pangeran memilih untuk sibuk tercenung. "Kalau kamu hibur adikmu itu nanti dia jadi terlena, dan lupa tugasnya buat berprogres, Ndre. Sudah lanjutkan saja makananmu, jangan biarkan makananmu dingin karena memperdulikan yang kurang layak mendapat perhatian."

     Kini Pak Lampas tengah berdiskusi  serius dengan rekan kerjanya, Pangeran lebih dulu menjauh dari sana, sebelum akhirnya Andre memutuskan menyusul. Pak Lampas mencegah, tapi Andre mengantongi alibi ingin mengabari teman yang janjinya tak dapat ditepati, sebab Andre terlanjur terlibat dalam acara makan malam ini.

Setelah mendapat persetujuan, Andre segera melempar pandangannya, memindai spot-spot berpeluang teratas. Menurutnya, tempat paling damai yang digemari si adik, kebanyakan tempat  yang menawarkan senyap. Padahal senyap sering membekap, mungkin adiknya itu suka terjebak: terperangkap. "Maafin papa, ucapannya emang kadang nyelekit."

"Memang papa ngomongin apa, ya?" tanya Pangeran yang sedikit terusik,  untuk apa sebenarnya Andre meluangkan waktu merecoki tempat persembunyiannya? Bangku taman dengan penerangan rendah, area terdekat yang lebih kondusif dari tempat makan terbuka tadi.

   Andre seketika merasa perlu mengguyur Pangeran dengan air dingin, mungkin dengan cara ini lamunan si adik terbuyar. Sebagai kakak, ia tetap tak tahu mengapa Pangeran menyahut dengan sesantai ini. Apa karena ia tak terlalu ambil pusing banyak perkara? Atau justru karena ia benar paham?
"Gak apa-apa juga, lagian lo dengar kan papa bilangnya masih kurang bukan gak sama sekali. Jadi jangan nyerah, jangan terus-terusan ngalah." Andre melangkah maju meninggalkan si adik, setelah sebelumnya sempat menghadiahinya tepukan tangan yang hangat di bahu.

Andre kembali melangkah mundur.
"Ran."

"Ya?" Meski dengan kernyitan yang timbul, Pangeran tetap menyahut.

"Jangan main sok polos mulu kenapa?"

Pangeran menghela napas berat. "Kenapa?"

"Gak seru." Andre tersenyum lagi, tapi sorot mata Pangeran tak dapat mengartikan secara akurat makna lengkungan yang tercetak. Mirip simpati. Namun, terkombinasi oleh ejekan. Aneh, membuat Pangeran menyerah lebih awal untuk membaca. Manusia selalu rumit, selagi dirinya kebingungan pada segala hal yang tak beraturan yang justru ada dalam dirinya.

   Kalau tidak membereskan dirinya sendiri, Pangeran tidak yakin dapat benar-benar memutuskan untuk kembali membuka. Ia menunda terhubung, Pangeran terlalu banyak menolak mereka yang mengajaknya bergabung. Belakangan ini, ia berpikir perlu sedikit menjamah. Sekali saja ia tak ingin menjadi kaktus. Ah, ocehan gadis pengiri bunga, sekaligus penggemar kaktus itu terputar begitu saja. Membuatnya senyumnya yang sempat tersendat, kembali terangkat. Ia mengabaikan punggung Andre yang semakin menjauh. "Badra, kapan kira-kira kita kembali bertemu?"

"Thea kangen kakak." Olethea berbaring pada karpet, ia mengamati bulan purnama yang memamerkan kilaunya malam ini.
"Tapi sekarang Thea nemuin orang yang mirip kakak, yang marahnya sama-sama nyarkas dulu baru diam. Gak bereaksi berlebihan meski Thea udah buat ekspresi wajah paling kontras. Doyan kopi hitam juga! Lawak deh!"

"Dillon, kakak bawain lauk nih, pemberian bos." Wilis meletakkan beberapa kantong plastik di meja makan, pulang kerja kali ini ia bersyukur dapat membawakan rasa pendamping untuk nasi yang adiknya kunyah.

Dillon yang terduduk di karpet, serta sibuk mengurusi tumpukan pr hariannya, menyempatkan diri menyahut. "Oh, aku juga beli telur gulung isi sosis tapi, Kak."

"Beli? Kok masih panas, bukannya sepeda kamu di bengkel?" tanya Wilis ketika menyadari uap panas masih membumbung saat ia membuka penutup makanan di meja.

Dillon menghela napas panjang, ia memainkan pulpennya sejenak. "Ya tadi habis kukeluarin dari rice cooker, supaya hangat dan gak basi aja sampai Kak Wilis pulang."

Wilis mengangguk, sebelum akhirnya beranjak. "Ya udah kamu makan duluan gih, kakak mau bersih-bersih dulu."

Saat Wilis selesai bersih-bersih diri, ia mendapati Dillon yang juga merampungkan aktivitas menimbun diri dengan kertas. Adiknya menonton acara televisi dengan begitu fokus, Wilis berniat menghampiri si adik, siapa tahu ia menjadi lebih memahami kepribadian si adik dari tontonan yang Dillon gemari sendiri.

"Mana remotenya? Ganti salurannya Lon, jangan mantengin koki sampai gak kedip gitu." Adiknya itu menghujami Wilis kernyitan, selagi Dillon menghadiahinya seberkas kekecewaan. Setelah mengganti saluran televisi, Wilis kembali mengoceh. "Laki butuh profesi yang menjamin, biar dipandang. Bukan masak-masakkan begitu, permainan anak perempuan."

"Jangan memojokkan koki, Kak, gak ada koki, orang gak bisa makan enak." Dillon merasa tak terima, ia sendiri tak mengerti kenapa.

Pembelaan ringan Dillon membuat Wilis mengeryit sekaligus bergidik. "Emang kamu merasa jadi orangnya koki, Lon, yang paling penting ada makanan yang bisa jadi pengganjal perut aja udah cukup, jangan mimpi yang muluk-muluk."

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang