Jangan berniat menghilang,
selagi kau tengah dicari.•••
"Kamu kan yang paling bontot, Sha. Wajar kalau kita pengen kamu dapat pendidikan terbaik!" tampik Dakota dengan kerutan alisnya yang semakin menukik.
Kini Anesha menatap mata lawannya dengan intens, aneh, ada selipan kecewa sekaligus. Membuat Dakota tak bisa membacanya, ah, sejak kapan Dakota punya waktu untuk mempelajari bahasa tubuh?
Menurut Anesha, mengapa Dakota kini justru memperlakukannya seperti tanaman? Yang dijejali pupuk;
serap, supaya kau tumbuh unggul.
Lupa bahwa ada faktor lain diluar kendali mereka, ketidakterbacaannya si cuaca; rahasia yang dirangkul takdir."Katamu kamu pengen banget jadi kasir swalayan, kan? Kamu kira dengan cukup bawa ijazah SMP, mereka bakal berniat mandang kamu, Sha!"
Anesha terkesiap dengan apa yang selesai didengarnya, Dakota malah mengungkit mimpi yang pernah terpikirkan dibenak Anesha sewaktu dirinya masih berumur sepuluh tahun. Masa dimana dirinya memandang dunia seperti keajaiban tak berujung untuk anak baik yang rajin. Omong kosong, seharusnya lari keluar batas saja dari dulu, jadi terbiasa.
Dakota tak pernah mau mengerti tentang bagaimana adiknya merasa juangnya tak disapa batas, bagaimana ketika hendak mengajukan suara; mereka dengan sigap lebih dulu membekap mulutnya.
'Ikuti saja arahannya, Anak Kecil. Kau itu baru lahir kemarin.'Pun Anesha tak pernah mengerti, bahwa Dakota diam-diam memimpikan berada diposisinya; berpendidikan tinggi. Sudut pandang mereka terbatas, karena begitu yakin apa yang mereka yakini adalah kebenaran mutlak.
Dakota meninggalkan Anesha dengan suguhan bantingan pintu, yang hanya bisa ditatap getir oleh si adik. Anesha spontan menutup telinganya, dengan jantungnya yang kian berdegup kencang. Ia tak pernah menyukai suara keras dan berisik, sebab merasa dapat dengan mudah hilang dan terlupakan jika terjebak di sana.
Pintu terketuk, membuat Anesha menghela napas panjang. Langkah kakinya terasa berat hanya untuk membuka pintu dan mendapati Piza dengan senyum hangatnya.
"Ke teras yuk, Sha? Kakak buatin minuman cokelat panas!" tawar Piza yang membuat Anesha menatapnya bingung, tapi pada akhirnya justru melenggang mendahului Piza menuju teras.
Sementara itu Piza merasa bangga karena ternyata saran Moya—kakak keduanya itu cukup berguna. Benar kata Moya, jika ingin dekat dengan Anesha, jangan mendominasi. Pancing dengan makanan pun jadi.
Setelah sampai teras Anesha dan Piza kini duduk berhadapan, Anesha meneguk setengah isi dari cangkir cokelat panas yang Piza buatkan, sebenarnya ia bisa saja langsung meneguknya hingga tetes terakhir, namun niat itu ia tahan mengingat bahkan Piza belum melontarkan pernyataan apa-apa. Semua orang pasti punya alasan mengapa mereka melakukan suatu hal; kadang-kadang mereka terjebak dalam tindakannya sendiri.
Pada akhirnya pembicaraan kali ini berujung pada Piza yang mendominasi; ia mencoba meyakinkan Anesha bahwa si adik punya potensi untuk digali, tentang mengapa Anesha perlu tegas memilih, berkali-kali Anesha menghela napas panjang tapi pandangannya tetap pada si lawan bicara; mendengarkan. Anggap saja upah membuatkan minuman cokelat panas tadi, jika tidak, mana mungkin dia punya alasan lain untuk tetap duduk anteng mendengarkan.
"Kakak pernah menaruh harap pada diri sendiri?" Pertanyaan itu mengawang di udara begitu saja, setelah Piza yang kelihatan kehabisan topik, giliran Anesha mengambil alih atmosfer suasana.
"Pernah dong, Sha?" ringis Piza sambil mencoba mencerna.
"Kalau yang jalan gak sesuai jalur?" Anesha mengimbuhkan, menyamarkan salah satu kegelisahannya menjadi pertanyaan konyol sederhana.
![](https://img.wattpad.com/cover/246645204-288-k148452.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Fiksi Remaja"Memang jika miskin, lantas aku tak pantas mencita-citakan hal besar, begitu?" tanya Deon bermonolog Di tengah pekatnya malam. Surabaya, tempat di mana semesta menjadi saksi perjuangan anak-anak remaja yang masalahnya di pandang sebelah mata "Skena...