Distorsi Menghindar

303 188 14
                                    

Kalau terus memperlihatkan yang terbaik, nanti kamu kewalahan sendiri.
Mereka akan menuntut suguhan pertunjukan yang lebih meriah.
Padahal waktumu bukan hanya untuk mereka, pun perhatian mereka tak bisa kaupaksakan selalu tertuju padamu.
Jadi, saat kursi penonton mulai surut
arus manusia, tak apa, ada yang selalu duduk tercenung setia: kamu.

••••

    Mading SMK yang Anesha huni
terjejali brosur-brosur pendaftaran: eskul,  anggota OSIS baru yang tak sanggup mengambangkan sekadar secuil saja rasa antusiasnya. Anesha mengamati mading yang lebarnya melebihi tinggi badannya dengan melebur bersama senyap di tengah dingin yang membekap. Di penghujung pandangannya, ia mendapati kertas yang terlaminating, mengkilap.

Ah, itu penunaian janji Bu Waskita. Karya terbaik berhak meraup cukup apresiasi. Kelas Anesha menyumbang 3 kelompok dengan koordinasi anggota sekaligus hasil kerja yang mumpuni. Ketiga kelompok tadi berkesempatan menerbitkan tulisannya pada buku antologi 'Jangan bungkam, mulutmu tak robek jika merengek.'

Anesha menaruh atensinya pada kertas berlaminating dihadapannya. Ia mendapati penulis menggunakan nama samaran Jerapah. Bu Waskita sendiri yang menawarkan untuk merubah nama menjadi hal sepele lain: sekali-kali tuliskan semuanya dengan bebas. Tak peduli identitas kita, tunjukan saja bagaimana perspektif itu kita junjung.

'Harapmu Melahap'

     Itu judul puisi orang yang menyamar jadi jerapah. Singkat tapi menohok. Bukannya memang harap tersuguhkan sebagai makanan sehari-hari di meja? Sejak kapan kita mengajukan untuk lebih dulu kalap memesan harap?

Panah yang sudah tertancap,
meski dilepas tetap berbekas
Gemetar, tak mengenali nama rasa,
lalu tiba-tiba kebas
Kecewa hadir sebab aku ingin
tawa lepas bertamu
Justru belenggu yang terselimuti
kenang sepat menawar temu

Aku berharap terlalu banyak,
dan dunia membuatku terbentur
Menyadarkan bahwa khayal
sering tak masuk akal
Kedua kakiku lebih dulu
tercekal oleh faktual

Padahal aku ingin memahami
potensi, bukan menjadikan memori
masa lampau sebagai barang acuan
Aku ingin merebut semua atensi,
sedang seisi dunia sibuk sendiri

Mengapa penuh harap
pada penerimaan mereka,
sedang aku sering tak
mengharap kehadiran mereka?
Kepercayaanku terlanjur terpecah
belah, lupa bagaimana susunan awal Padahal aku terluka karena tidak
berjalan di kaki mereka,
perspektifku mungkin goyah,
jika sempat bertukar tubuh

Di luar nalar di mataku,
bisa jadi justru pilihan
paling masuk akal bagi mereka
Aku runtuh, sebab
tergesa-gesa menghakimi
Padahal bukan aku pemegang kendali

Padahal bayangan seperti apa
seseorang ketika kau mendengar
nama seseorang disebut
sekadar ekspektasi

Mereka terbangun sendiri,
bercampur-baur dengan
ramuan pengecoh
Terjejali informasi beruntun
membuat sistem pindaiku rusak,
mirip timbangan rusak
Jika tidak mengurangi, justru melambungkan hal yang tak
pernah menjadi fakta

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang