Kita adalah sekat,
dengan upaya
p e n y a m a r a n
berwujud lekat.°°°
Kafe milik Ayah Adelio semakin petang, justru dipenuhi arus manusia. Membuat ia sedikit terintimidasi saat beberapa pengunjung memilih melayangkan pandangan herannya pada Anesha yang sibuk terlelap.
Padahal Adelio telah melakukan banyak upaya agar gadis dihadapannya bangun, nihil justru menghadangnya. Ia memutuskan untuk membawa Anesha ke ruang VVIP yang telah Adelio minta agar karyawannya siapkan. Setelah mengantongi kunci, langsung saja Adelio menggendong Anesha dan mendaratkannya ke sofa, membiarkan Anesha tidur dalam posisi duduk.
"Del, lo mikir apa dah!" Setelah mengabari Olethea. Olethea kini telah berada dihadapan Adelio, ia melayangkan tatapan penuh sungut, selagi mulai dengan hati-hati merebahkan badan Anesha.
"Lo kira kopi vitamin? Kenapa nggak lo batesin, sih?" Olethea mencoba menepuk-nepuk pipi Anesha. "Sha!" Tapi karena terbekap lelap, Anesha jadi lupa cara terkesiap. Membuat kegelisahan yang Olethea sempat tutup rapat, justru menyembul. "Dia tidur apa pingsan, Del?""Lagian gimana ceritanya Anesha bisa pesan 2 liter kopi! Lo yakin nggak masukkin menu yang mengancam?" tanya Olethea penuh selidik.
Adelio yang duduk 3 meter darinya menjawab. "Itu menu yang Anesha ajukan sendiri, Tha."
"Gimana?" Karena belum sepenuhnya paham, Olethea menuntut penjelasan paling masuk akal dari sepupunya. Setelah mulutnya sedikit terbungkam oleh cercahan informasi, mata Olethea mendadak berbinar. "Yah, kenapa nggak ngomong dari tadi, sih! Kalau gitu titip Anesha, ya! Bentar aja, kok, gue mau nyari kado buat dia!" Beranjaklah Olethea dengan wajah berseri-seri, sebelum masuk ke mobil pribadinya ia sempat berseru. "Tetap aja ya! Kopi kudunya mah bikin melek, bukan merem."
"Kenapa tidak minta mencarikan Taki saja?" tanya Adelio dengan sedikit melangkah maju.
Mendengar Adelio menyungging nama salah satu karyawan terdekat keluarga Olethea, membuatnya meringis. "Saran lo nggak masuk, Del. Jangan-jangan nggak pernah masuk lagi?" Di satu kalimat terakhir Olethea sengaja memelankan suaranya, sebelum akhirnya ia melambaikan tangan pada Adelio dan bersorak. "Udah sana jagain Anesha! Bangun-bangun pasti puyeng, sih, dia. Kasih teh anget!"
"Kutunggu, hati-hati, Tha," tandas Adelio setelah sebelumnya mengangguk singkat.
Adelio menuju ruang penanggungjawab menu, setelah bertemu dengan orang yang dicari, ia langsung menjabarkan perlunya.
"Saya ingin tahu informasi terkait menu 317." Orang dihadapan Adelio mengangguk hormat, lantas membuka laci lemari dan memberikan buku bank data terkait menu yang beberapa saat yang lalu terteguk Anesha.Di sana tertera tentang komposisi, kandungan, efek samping, bahkan takaran saji: 1 liter dengan masa penghabisan dua pekan. Perlu diberi jeda 1 hari, agar lambung bernapas sejenak, sebab kadar dari kopi yang terolah berkafein tinggi. Adelio jadi mengerti mengapa Anesha terlihat tak dapat mengontrol rasa candunya sendiri saat mengonsumsi menu 317.
Adelio duduk pada sofa yang berseberangan dengan tempat Anesha merebah-menyangkal penat. Setidaknya dari sini ia bisa mendapati Anesha sedikit bungkam mengenai pesimisme optimistik yang bertengger di bahu.
"Jangan buru-buru lari, Sha. Masih ada cara menghindar yang lebih aman."Sesaat kemudian, Anesha perlahan membuka mata, ia menggunakan sisa tenaganya untuk duduk. Tapi karena dihadapannya tampak berdiri bayangan seseorang, ia jadi meracau lagi.
"Hai? Siapa, ya?""Temanmu?" jawab bayangan yang justru semakin mengabur itu. Membuat tawa Anesha meledak, seperti kembang api yang bersahut-sahutan. Seharusnya ia tidak boleh lupa, bahwa bahkan di dewasa ini sekalipun, ia bisa tergelak sebebas ini. "Kenapa tertawa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Fiksi Remaja"Memang jika miskin, lantas aku tak pantas mencita-citakan hal besar, begitu?" tanya Deon bermonolog Di tengah pekatnya malam. Surabaya, tempat di mana semesta menjadi saksi perjuangan anak-anak remaja yang masalahnya di pandang sebelah mata "Skena...