Seems Well

289 182 21
                                    

Bagaimana bisa senyummu tetap terbentuk, tawamu tetap mengawang, selagi masalah setia bertengger di bahu?

Istirahat kali ini Anesha langsung melenggang ke perpustakaan, ia penasaran seperti apa suasana yang perpustakaan SMK ini suguhkan hingga membuat Adelio betah menetap.

Buku-buku yang terjejer rapi menurut jenisnya membuat Anesha seketika menaikkan kedua alisnya, matanya terbelalak, di sini benar-benar hening, dan surut dari arus manusia. Bahkan decak kagumnya yang sebatas bisikan terdengar menggema bebas. Mereka memantul ke arahnya lagi dalam rangka meledek aksi konyolnya yang melewatkan perhitungan.

Saat satu buku menarik atensi Anesha, ia mengangkat kursi terdekat dan menjadikannya sebagai tumpuan untuk mengambil buku. Anesha membaca sekilas isi buku dari atas kursi yang dijejakinya. Otak yang hobi mengerjainya itu beraksi, ia membiarkan kabur secara perlahan informasi bahwa Anesha tidak sedang menjejak bumi secara langsung, otak menggiring kaki agar segera mengambil langkah mundur dan membuat Anesha jatuh terduduk sambil memeluk kursi.

Lengan kirinya tergores sudut rak, tapi itu tak cukup meraih guyuran perhatian si pemilik tubuh. Anesha bangkit dan segera mencari bangku terdekat untuk menelaah isi buku. Bel masuk berdering, ia terpaksa menghentikan aktivitas bacanya, lantas beranjak pada area peminjaman buku dengan antrian yang sudah cukup sepi, sebab sebagian besar siswa telah kembali ke kelas.

Di tengah perjalanan menuju kelas dengan menenteng buku pinjamannya. Anesha mendapati Adelio berjalan mendahuluinya, kali ini Adelio tidak membawa apa-apa. Mungkin belum menemukan yang benar-benar dicari.

"Del?"

Adelio memelankan langkahnya, selagi Anesha menyelaraskan derap langkah hingga keduanya berjalan berdampingan, Anesha bersuara lagi, memberanikan diri menatap Adelio yang berjalan lurus dengan kepala menunduk. "Lain kali jangan terus lari sendiri, ajak yang lain."

"Kenapa menamainya lari, Sha?" Adelio bertanya dengan nada rendah, sebelum akhirnya mendongak. "Karena terlalu pengecut untuk menghadapi?"

"Gak semuanya mesti dihadapi, kok, Del. Pasti ada yang bakal terlewat. Apa lagi kalau gak lari? Masuk ke hidup milik raga lain? Petualangan ilusi? Pengaburan waktu?" Setelah menghadiahi pertanyaan bertubi-tubi, Anesha menghela napas berat. "Tadi lebih kedengaran gak masuk akal, Del. Kita namain aja waktu buat diri kita sendiri: lari."

Langkah Adelio terhenti. "Memang kamu merasa semuak apa sampai perlu lari?"

Anesha memimpin jalan, tak menggubris si lawan bicara yang menuntut jawaban. "Kalau saya jawab, emang lo bakal dapat apa, sih, Del?" tanya Anesha sebelum akhirnya memangkas temunya dengan Adelio.

"Belum dapat apa-apa, Sha, selain lebih mengenal ... memahami bagaimana cara kerja perspektif milik kamu." Adelio mengungkapkan serpihan isi pikirannya saat Anesha hanya meninggalkan jejak langkahnya untuk menemani Adelio.

"Brosurnya, Kak." Brosur itu Anesha terima dengan kewalahan mengingat ia yang masih belum terbiasa menjinakkan mesin besi roda 2. Seorang perempuan yang hampir sebaya dengan Piza memberi Anesha jatah senyum sesaat sebelum akhirnya beranjak untuk menghabiskan tumpukan lembar brosur di pelukannya.

Anesha membaca sekilas judul brosur dengan tingkat keterbacaan paling tinggi, alisnya terangkat. "MORI buka loker, Tha?"

Olethea yang berada di samping Anesha lantas mengernyit. "Udah dari seminggu yang lalu, deh, Sha. Baru sekarang berarti lo kebagian brosur?" Sore ini jalanan macet, beberapa kali Anesha menenangkan dirinya agar tetap fokus untuk menjalankan sepeda motor tanpa menyenggol pesepeda motor di depannya yang membludak.

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang