Drag

265 146 41
                                    

Petang menyapa,
dengan sorot mata teduh
yang enggan meluruh.
"Tuan, duduk sejenak,
jangan merasa diri paling
p a h a m:
sedang Tuan
dengan paksa
tergesa-gesa
menelannya."

Kau menghela napas,
enggan melirik bangku
yang tak sempat
m e m a k i angkuhmu.
"Sibuk, tidak sempat."

🕳️🕳️🕳️

"Beruntungnya kakek tua tadi ayah saya," beber Praja singkat, "dia memang kadang hobi bertingkah, maklumkan saja. Ayah saya berpesan, tongkat kayu tadi ingin beliau barterkan dengan penerimaanmu di MORI, selamat, ya!" sergah Pak Praja dengan raut wajah mendukung. Ajaibnya gelembung-gelembung kekhawatiran Anesha ikut mendadak meletup.

"Terima kasih! Sampaikan salam saya pada beliau. Saya akan berupaya menjadi karyawan MORI yang berintegritas." Setelah usai membicarakan perihal jam kerja, gaji, serta peraturan yang perlu dipatuhi karyawan, Anesha merasa tubuhnya jauh lebih ringan. "Saya pamit, selamat melonggarkan napas, Pak Praja," kekeh Anesha dengan senyum manisnya. Entah, ia memang selalu tergiur jika diberi sedikit harap.

Praja keluar dari ruang kaca, ia mendapati Kawi yang sibuk memandangi langit malam. Kira-kira apa yang sekertarisnya tangkap sejak tadi? Alien? "Wi, calon karyawan ke-4 belum datang juga?"

Kawi yang tengah melamunkan dunia pararel itu, kembali ditarik paksa pada realitas. Ia segera mengumpulkan kesadaran penuhnya, memindai dengan siapa ia tengah berhadapan. Ah, hanya orang yang hobi merecoki kedamaian dunia kerjanya. "Belum, Pak."

"Tolong kabari saja dia, kursinya sudah penuh."

Bebas Tak Selalu Di Mimpi • Lampu Senter

Aku berbaur dengan mimpi
selagi sadar akan realitas.
Sebab sadar keseimbangan perlu
untuk perihal tak menemu batas.
Mimpi tidur lelapku
yang candu terlepas.
Saat aku menyadari kesempatan
yang Tuhan beri untuk tetap bernapas.

Mimpi indah lelap tidurku
lebih dulu kuanggap ampas.
Sebab bukan mereka lawan
realita yang beringas.
Kenyataan membujuk tekadku
yang keras untuk memberantas.

Untuk meminimalkan lagi
jiwa-jiwa yang terkepung
kenang masa lalu,
berhenti membiarkan
mata mereka memanas.
Menawar pada ragu
untuk tidak dulu bertamu.

Dunia luar telah berharap temu
untuk sekadar menantimu
mengambil langkah baru.
Setelah biru yang setia pada bahumu memutuskan untuk tak lagi menderu.
Biru mengaku cemburu
pada kebolehanmu
dalam menyamarkan sedu.

"Malah bikin ngantuk ya, Tha?" Kasen membuka suara, setelah mendapati Olethea yang tampaknya sudah habis menelan isi puisi yang Bu Waskita pamerkan di mading hari ini.

"Sembarangan! Bagusan ini mah dari yang kemarin!" tampik Olethea tidak terima.

Kasen menggeleng, ia ingat persis seperti apa hebohnya gadis dihadapannya kemarin saat membaca puisi riuh redam. Olethea sendiri yang mencetuskan butuh 100 tahun untuk menggeser daftar posisi puisi terdalam yang pernah ia temui, alias seumur hidupnya tak akan ada lagi yang menggerakkan puncak teratas puisi terfavorit menurut sudut pandangnya. "Tha, jangan sebentar pagi, sebentar malam juga." Kasen tersenyum simpul. "Bagian mana sih Tha yang buat puisinya berkesan? Pasti cuma terbantu font doang, kan, ya?"

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang