Siapa yang tidak iri pada orang yang mandiri sekaligus tak tergoyahkan seperti Piza? Beberapa bulan silam Piza membeli sepeda motor yang ia harap dapat ditunggangi oleh si adik, agar Anesha tidak perlu lagi mengayuh dan terlalu banyak berkeringat. Mungkin, Piza masih belum mengerti bahwa menjadi terlalu baik: bukan fungsi dirinya ada.
"Sekarang coba kamu naik sendiri, Sha. Tambah ringan tahu, kalau cuma badan sendiri!" saran Piza dengan raut wajah begitu sumringah.
Sejak tadi Piza mendampingi latihan si adik, Anesha seperti dibebani dua karung beras selagi mencoba menjaga keseimbangan sepeda motor dengan kedua kaki kecilnya. Banyak hal yang pertama kali dilakukan, selalu hampir tak punya harapan.
Piza pasti lebih ringan hatinya jika melihat Anesha bergelimpangan di aspal, ya? Seperti menonton pertunjukan gratis, setelah sekian lama sibuk dengan dunia kerja. Cepat-cepat Anesha turun dari sepeda motor yang masih terlihat asing bagi kelima indranya.
Ah, seharusnya Anesha sadar bahwa warna merah si mesin besi membara begitu saja dihadapannya sejak tadi, seakan meledeknya habis-habisan karena niatnya untuk bisa, saat ini tidak sebuas warna merah. Kegairahannya justru mengelana.
"Kalau baru beli barang, bukannya jangan mudah kasih kendalinya ke orang lain, ya, Kak?" Anesha mencabut kunci dan menghampiri Piza yang duduk sambil memotret persawahan lewat telepon genggamnya.
Logikanya saja, membiarkan segaris lecet si motor baru, sama dengan membuang berliter-liter keringat yang ditabung oleh Piza sendiri. Mengapa seseorang memberi segelas air kepada orang lain, selagi dirinya kehausan?
Persawahan desa Anesha tinggal dibelah oleh jalanan aspal sekadarnya, mobil tidak dapat lewat karena terlalu beresiko, kondisi jalan berlubang, tidak rata sana-sini. Cukup beruntung jika pulang tanpa lutut tergores, minimal tidak terperosok ke persawahan saja sudah bagus. Anesha menyadari jejalan semangat milik Piza perlahan stabil, apa pertanyaannya tadi berhasil mengusiknya?
"Sejak kapan kamu orang lain bagi kakak, sih, Sha?" Piza mengembangkan senyuman, ia bangkit dari duduknya lalu mengambil langkah maju perlahan, sebelum kemudian tiba-tiba menghadiahi si adik pelukan hangat.
Anesha menganga, ia enggan mengaku kalah, sebab tidak menyadari bahwa akan ada ketidakmungkinan yang tidak dapat diprediksi kapan ia menyapa. Kalau hidup mudah ditebak, apa masih layak dikatakan hidup? Karena tidak bersiap-siap, Anesha menjadi sedikit kikuk; apa ia berhak mendapat? Lalu, mengapa dia berhak?
Dakota dan Piza memutuskan kembali dengan urusan perantauannya bulan ini, kini mereka hanya dapat bersua kabar kembali lewat gawai. Rupanya ada yang sesuatu hilang ketika mereka pergi, hubungan yang dalam jadi mirip seperti puzzle, ya? Tidak akan jadi lengkap jika tidak bersama.
Tidak ada kehangatan yang menyebar pesat di udara—yang sejatinya milik Piza. Tidak ada lagi perintah tegas dengan wajah yang dibuat kekanak-kanakan—milik Dakota. Setidaknya ada beberapa sore yang dihabiskan untuk pembelajaran pengenalan si mesin besi. Meski tidak banyak mengerti, mari berlagak ahli.
"Pagi," sapa Moya—Kakak kedua Anesha, yang tumben sekali sudah bangun meski belum jam delapan pagi, terlebih akhir pekan adalah hari libur kerjanya yang berharga.
Anesha menyeruput es kopinya sambil mengernyitkan dahinya, sebelum akhirnya menyahut. "Malam."
"Buku ini cukup membantu." Moya menunjukkan buku dengan judul 'Kiat-kiat menjadi Kakak idaman' tepat dihadapan Anesha. "Meski isinya banyak yang gak masuk akal."
Mengapa Moya bertingkah seperti baru mempunyai adik? Tentu itu terjadi karena Piza yang tiba-tiba tumbuh besar dan mengambil alih kendali atmosfer, padahal Moya merasa baru berkedip; kesibukkannya menghadirkan jarak, yang berakibat jika ia terdesak, Piza takkan mempertimbangkan untuk memihak Moya. Kini ia mau tak mau perlu bergerak banyak untuk menjinakkan monster, sebelum waktu si monster tahu potensinya tiba dan siap melahap Moya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Novela Juvenil"Memang jika miskin, lantas aku tak pantas mencita-citakan hal besar, begitu?" tanya Deon bermonolog Di tengah pekatnya malam. Surabaya, tempat di mana semesta menjadi saksi perjuangan anak-anak remaja yang masalahnya di pandang sebelah mata "Skena...