Aku ialah lakon yang bisa kumodifikasi, lalu dunia luar menetapkan batasan. "Cocokkan dirimu dengan aturan kami."
Aku mengelak, bersorak dengan suara serak. "Apa untungnya untukku?!"
Dunia liar menatapku sengit, sesaat kemudian mereka tertawa merendahkan. "1 pilihan konyol lagi? Selamat menelan pengasingan. Betahkan dirimu."
Adelio
Selamat Memakna
"Gak sopan. Ini kepala, jangan sembarangan." Dillon memperingat selagi Anesha merapatkan mulutnya.
Ah, Dillon bahkan masih tahu norma. Menggaungkan maaf bahkan pada orang asing: Anesha tak yakin ia bisa bermain cara serupa. Anesha menjaga jarak dengan kata 'maaf' terlalu sering. Pasti egonya sudah kekenyangan."Akhirnya lo berhenti berisik, kan?" Kini Anesha ikut duduk dan dalam bungkam menelaah Dillon yang meneguk minuman pemberiannya.
Setelah menghabiskan setengah isi, baru Dillon menimpali. "Kayak kelapa?"
Anesha mengangkat alisnya untuk kemudian menghela napas cepat, ia menunjuk teks yang mendekam di kemasan botol yang masih Dillon genggam. "Darurat membaca."
"Gue duluan." Dillon mulai membereskan diri dan hampir beranjak.
"Bentar," perintah Anesha yang membuat telinga pendengar seketika tercekal. Anesha menanyakan pada Dillon apa tidak apa-apa jika harus berjalan dengan kaki gemetar?
"Kaki gue kenapa?" tanya Dillon balik, "lo gak liat gue sehat gini?" Sial, seharusnya Dillon bisa mengendalikan kekuatannya sendiri. Bukan terkendalikan kekuatannya yang labil. Usai kalimat pengecohnya, saraf lututnya menghadiahi ngilu, Dillon hampir tak dapat merasakan lututnya sendiri.
Anesha ikut berjongkok, ia menggeleng ketika mendapati Dillon tak lekas bangkit. Jatuh tidak pernah terdengar seperti cara Dillon ingin dilihat. "Kok malah selonjoran di rumput, lo gak lagi baik, Lon?" Dengan nada monoton, mana mampu pesan ketulusan tersampaikan. "Naik apa tadi?"
"Bukan urusan lo." Jawaban Dillon membuat Anesha kembali ke bangku, sedang Dillon agak kesusahan berdiri. Tapi ia hanya peduli badannya dipandang tegak kali ini, meski risikonya kepalanya seperti terhantam rasa sakit yang mirip ilusi, sebab penyebabnya tidak bisa Dillon cekal. Apa karena sarapannya yang terlewat pagi ini, Dillon pantas menelan momen konyol ini? "Masih di sini, kapan lo pergi?"
"Habis lo? Enak kayaknya liatin orang nyungsep." Dillon bergidik mendengarnya, kini Anesha menelaah Dillon yang mulai menaiki kembali sepedanya, seharusnya gemuruh pada kepala Dillon sedikit mereda. Anesha menaikkan alis sembari mengamati gelagat. "Naik sepeda? Lo yakin masih ada tenaga?"
"Jangan ngeledek, lagian jaraknya dekat ... dan gue gak selemah itu!" Apa? Tidak sedang dipancing. Namun, tetap tersinggung? Memang kalau terlihat lemah, lalu apa? Pudar binar kekompetenan seseorang? Ingin melawak.
Dillon benar-benar mengayuh, Anesha bungkam saja menatap pundak teman sekelasnya itu yang Anesha kira sedikit lebih turun.
"Fokus, dong, kalau nyetir! Kamu kira saya beli ini pakai daun?!" Anesha terbelalak, menghela napas panjang mendapati Dillon yang sempat roboh dengan sepeda andalannya. Seorang Pemuda tampak menegur Dillon sepihak. "Ngantuk, kok, dibuat berkendara. Main-mana saja!"
Anesha berpapasan dengan seorang Pemuda yang membawa barang belanjaan. Ia bahkan masih mendengar gerutu yang sepertinya si Pemuda tujukan untuk Dillon. Segera Anesha menghampiri Dillon yang main petak umpet di got. Yah, gotnya kering: kurang seru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Genç Kurgu"Memang jika miskin, lantas aku tak pantas mencita-citakan hal besar, begitu?" tanya Deon bermonolog Di tengah pekatnya malam. Surabaya, tempat di mana semesta menjadi saksi perjuangan anak-anak remaja yang masalahnya di pandang sebelah mata "Skena...