Judul • Nama Samaran
Riuh Redam • Film UsangSebelum kau menawar temu,
aku enggan meresapi hujan yang mengusung kelegaan semu.
Aku tak lagi berniat tinggal
tapi kau mencekal.
Dari sorot mata teduh itu,
aku justru mendengar gemuruh,
apa isi kepalamupun dipenuhi riuh?Hingga kau menamsilkan hujan:
sebagai hadiah dari Tuhan untuk
kita yang payah mengartikan kesederhanaan hidup?Atensi justru tercipta sebab
aku yang terkesan tak gentar
jika dihadang gelegar.
Aku mencoba menunggu,
saat hujan meluncur serupa
anak panah yang tak pernah
membuatku berdarah.Tubuh ini menggigil,
dan kau obati dengan seberkas
kehangatan yang terbesit dari
setiap kau menyuara,
menelusuk,
mendobrak canggung
menjadi hubung.Seharusnya asing tak
payah menghadiahi,
"Kenapa selalu terburu-buru?
Kita tidak sedang dipacu waktu,"
ujar gadis rambut sebahu,
yang terlihat mudah sekali
berbaur dengan kelabuku
yang lebih sering kusangkal."Tumben, Sha, nggak melototin mading hari ini?" celutuk Olethea tiba-tiba, membuat imajinasi yang baru Anesha bangun lewat buku bacaannya buyar tanpa aba-aba.
Anesha menjawab tanpa mengalihkan pandangannya, kalimat-kalimat dalam buku tampaknya terlihat semakin tak gentar menawar bujuk untuk sebentar lagi menjadi lekat. "Udah dengar banyak spoiler, sih, Tha? Jadi gak cukup tergelitik."
Pagi itu anak-anak perempuan sekelas Anesha sudah digemparkan dengan puisi di mading yang katanya menyentil sanubari. Para anak perempuan kelas lain pun sama, padahal hanya sekadar lewat, tapi tetap tak henti-hentinya menggaungkan pujiannya. Mengusik aktivitas baca Anesha yang tenteram, membuat Anesha berkhayal memiliki satu saja ruang kedap suara. Puisi hari ini mengambil tema tentang hujan dan kehangatan. Aneh, bukannya itu 2 hal yang cukup kontras?
"Yah Anda mah, justru karena udah ketiban spoiler lo mestinya ngacir ke sana! Meleleh pasti lo!" usul Olethea menggebu-gebu yang sayang tak mendapat gubrisan berarti dari lawan bicaranya.
"Gue gak lilin, Tha, dan puisi yang ditempel di sana bukan api," kelit Anesha sebelum kemudian menutup buku bacaan tebalnya.
Anesha kini duduk pada salah satu bangku perpustakaan, setidaknya di sini ia merasa aman. Karena berpetualang di dunia nyata lebih terlihat seperti mimpi, Anesha memutuskan untuk mengambil jalur membumbungkan imajinasi yang terolah oleh raga lain saja, hanya perlu sedikit bumbu: siap dinikmati. Cukup efisien untuknya yang belum berpenghasilan.
Padahal ada yang sejak tadi ada yang terang-terangan mengamatinya, beberapa kali anak laki-laki jangkung dengan buku tak terbacanya menghela napas. Hampir saja gadis yang ia jadikan objek pengamatannya itu lupa berkedip, sebenarnya apa yang dibaca sampai menyerap atensi si gadis dengan begitu melimpah ruah?
Adelio membaca sekilas judul buku yang Anesha pegang, ia menangkap raut wajah si gadis yang beberapa kali tampak mengeryit, seakan membantah dalam senyap. Jika yang bersuara saja masih bisa terbantah, apa yang memilih bungkam layak teranggap?
Aren't you lost? Buku bergenre fiksi ilmiah itu sudah 3 per 4 terkonsumsi oleh Anesha. Lalu kemarin 2 buku, Time Open Up genre misteri. Perasaan: Payah dan Gemar Berulah genre komedi. Adelio berniat meminjam buku ke-3, tapi kelihatannya Anesha belum mengembalikannya. Ia ingin tahu bagian mana yang konyol, hingga Anesha tertangkap beberapa kali menyunggingkan senyum simpul selagi menelan isinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Ficção Adolescente"Memang jika miskin, lantas aku tak pantas mencita-citakan hal besar, begitu?" tanya Deon bermonolog Di tengah pekatnya malam. Surabaya, tempat di mana semesta menjadi saksi perjuangan anak-anak remaja yang masalahnya di pandang sebelah mata "Skena...