Tuan, bukankah rupa
adalah sebab pokok
hubungan lekat
dengan pesat?Dalam waktu singkat,
canggung beranjak.•• Selamat memakna ••
"Sha, kamu udah gede, gak ada niatan buat dandan? Biar cowok gak terus ngacir liat kamu."
Anesha yang baru selesai mencuci mukanya langsung bergidik. Ia memamerkan raut masam hingga Moya kenyang. "Kalau jeleknya aku mereka gak tau, kenapa aku bisa percaya ketika mereka menerima aku yang ter-upgrade sedikit?" Seharusnya kualitas ditandingkan dengan mutu. Biar setara. "Pancingannya udah semu, hasilnya gimana? Palsu?"
Banyak hal palsu tidak bertahan lama.
"Mau kutampar fakta gak?" tanya Moya sambil menuangkan bongkahan es batu ke gelas kopi Anesha. "cantik bisa buat kamu dihadiahi langkahan percuma."
Anesha menghela napas panjang, hanya pada kebanyakan kasus, mungkin? Buktinya berdoa tak pernah pandang rupa. "Cantik cuma cekung-cembungan kulit kali. Tulang kita sama aja bentuknya." Anesha meneguk hampir setengah dari isi gelas, niatnya ingin segera pergi, sebab ia tak sedang merasa perlu berdebat. "Manusia aja yang ribet, pakai standar proporsi segala. Dikira tubuh kayu? Bisa di pahat sendiri?"
Manusia terlalu banyak menetapkan banyak hal tak berdasar, dan menjadikan mereka batu loncatan dalam mengarungi samudera.
"Sendirinya emang bukan manusia? Ribet juga, dong, kamu?" Moya menggeleng dengan senyum meremehkan. Ah, ia benar akan menggunakan senjata macam ini?
Anesha mengerti, dengan akal bulus Moya. Moya ingin Anesha segera menetapkan strateginya. Namun, caranya lebih terlihat semacam kepedulian dengan cibiran terselubung. "Aku alien, sih."
Petang ini Moya sibuk berkutik pada kopernya, ia dipindahkan ke cabang kota lain, karena kinerjanya sedikit unggul. Anesha mencomot kertas terdekat dengannya, tiket perjalanan milik Moya, Anesha di buat tersentak dalam senyap. "Kertas seringan ini, mahal, ya?"
"Mahalan pujianmu," sindir Moya setengah ngawur, "Gak akan jadi mahal, kalau aku bisa terbang? Sama teleportasi."
Anesha mengedarkan pandang, Moya mengisi barangnya dengan barang seperlunya. Lemarinya bahkan tetap dalam situasi kondusif, kira-kira kapan Moya bosan menjadi disiplin? "Praktis, ya, Kak? Bikin iri, aku pengen jadi capung aja, biar bisa keliling dunia gratis." Ah, tidak ada yang salah dengan berangan. Tapi kadang perlu menetapkan batas.
"Patah sayapmu, Sha," sanggah Moya.
Anesha mengantarkan Moya bersama mesin besinya menuju halte keberangkatannya, tapi nyatanya bus belum datang. Jadi keduanya masih di beri sedikit waktu untuk bertempur jika mau.
"Selama aku pergi, baik-baik jaga rumah." Moya mengusap puncak kepala Anesha cepat. Anesha mengangguk kalem, padahal ia sudah berniat menjadikan kamar Moya sebagai ruang ganti dadakannya.
"Selamat terbayang-bayang rumah, udah sana, mau ngangusin tiket?" Ketika Anesha sudah berbalik badan dan mengambil beberapa langkah. Moya menggerutu dan itu membuatnya berberat hati kembali menghadap Moya. Padahal Anesha sudah kewalahan menampilkan wajah tak begitu peduli, supaya Moya tak payah merasa terlekat dan hanya fokus pada urusan kerjanya.
"Kamu orang bukan, sih. Peluk aku sini, jangan ngacir dulu." Moya membuka lebar tangannya. Tapi karena Anesha hanya tercenung di tempat, ia yang justru maju menghadiahi peluk singkat.
"Ternyata pelukanmu hangat," batin Anesha sambil tersenyum simpul, "Gak minat bawa orang ke pelukan Kakak, pulang nanti?"
Moya tersenyum lebar. "Terus kamu sendiri? Ada yang naksir gak, sih? Kok gak pernah ku lihat cowok mampir ke rumah?" tanya Moya tidak mau kalah, "Galak, ya, kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Teen Fiction"Memang jika miskin, lantas aku tak pantas mencita-citakan hal besar, begitu?" tanya Deon bermonolog Di tengah pekatnya malam. Surabaya, tempat di mana semesta menjadi saksi perjuangan anak-anak remaja yang masalahnya di pandang sebelah mata "Skena...