"Tidak mungkin." Padahal nyali Wren baru membara, tapi gerimis malah langsung jatuh mengerubungnya. Membuat hal yang ia bangun susah payah, roboh dalam sekali kedip. Tinggal lesap menyisa puing. Seperti kondisi hati Wren saja, terombang-ambing entah apa destinasi yang menanti.
"Sangat mungkin, Wren. Jadi ayo, gandeng tangan gue. Kita bisa main lagi sama-sama!" Kira membujuk dengan menggenggam tangan Wren.
"Tapi Anes—" Wren tak jadi merampungkan begitu mendapati Kira dengan lancangnya, mengobrak-abrik isi tas miliknya. Terlebih Kira menyentuh hasil usahanya malam kemarin. Gantungan kunci rajut dari benang wol, tertera nama Anesha di sana. "Jangan! Itu buatanku sebagai hadiah."
"Buat dia?" Kira mengamati untaian benang wol digenggamannya setengah niat. Untuk kemudian melirik Wren sekilas dengan raut merendahkan. "Aduh, lo gak buatin gue, Wren? Kenapa?" Kira mencengkeram kuat gantungan kunci tadi. "Gue malah banyak bantu lo! Bahkan gue datang lebih awal dari dia!"
Wren menggeleng cepat, ia mencoba mengambil hasil kerjanya untuk teman barunya. Namun, karena kalah tinggi, ia hanya dapat membiarkan harapnya layu. "Kamu tidak pernah datang menolong!"
"Oh, terus buat apa gue datang? Iya ... gue cuma datang dan ngarep lo punya reaksi kayak gini! Ketimbang lo yang cuma bungkam sama gak berkutik. Gue mau yang kayak gini!"
Lika mengambil duduk di bangku yang berjarak sedepa, dengan menenteng seperdua bagian semangka dan sendok. Ia mendengus ke arah Kira. "Berisik lo, Ra."
"Ka! Lo dengar, kan, barusan? Wren ngelawan gue!" Kira menyengir lebar, selagi Lika tak sudi menghadiahi gubris. Lika malah mengguyurkan limpahan atensinya pada semangka yang ia telan suap demi suap dalam senyap. "Kalau aja dari awal kayak gini, pasti lebih seru." Lika mengeryit, begitu melihat Wren, ia jadi kembali ingat kejadian tempo hari. Rambutnya selalu terlalu berharga.
"Lo bawa gunting?" tanya Kira yang dibalas dengan gelengan oleh Lika. Lika sibuk memotret kupu-kupu atau burung yang bertengger di dahan pohon lewat kamera yang ia kalungkan. Lika tidak menganggap fotografi sekadar hobi, kegiatan ini nyaris separuh jiwanya. Agak menggelikan ketika ia berniat mengabadikan hal yang mortal.Tak lama kemudian Bunga hadir, ia langsung mendapati Kira menjejali dirinya pertanyaan tak berguna.
"Yah koyak, Wren. Gantungan kunci rajutan lo." Kira menahan tawanya yang hampir meledak, ia menginjak robekan gantungan kunci rajut Wren dan menjatuhkan gunting yang telah ia gunakan untuk mengeksekusi, selagi kedua gadis lain—Bunga dan Lika—hanya bungkam mengamati gelagatnya. " Lo, sih, pertama-tama hadiahin kita dong!"
Kira dan Lika pergi beranjak, sedang Wren sibuk memunguti hadiahnya yang lenyap ketika bahkan belum tersampaikan. Wren termangu dalam duduknya, aneh, hatinya tak sekecewa biasanya. Padahal Wren belum mengizinkan untuk memaklumi tindak tanduk orang barbar.
"Yah, seenggaknya lo nggak kehabisan bahan?" tanya Bunga yang sebenarnya menghibur Wren agar tidak terus terpaku, dia kan masih bisa memproduksikan hasta karya lain? Eh, untuk apa Bunga berempati dengan Wren? Lebih baik ia ikut menyusul yang lain. "Mana gunting gue tadi?"
Bunga tidak langsung pergi, ia melirik Wren kembali yang masih belum bangkit dari duduknya. "Rame banget." Bunga menghela napas, ia sedikit mengerti bahwa Wren saat ini tengah dikeroyok kecamuk. Lagipula, diam memang cara berbincang dengan diri. Bunga sedikit menaruh waspada pada Wren, sebab Wren lebih memusatkan atensi pada diri, Wren terlihat seperti tak benar peduli dengan perbincangan yang berlangsung. Mungkin penghuni bumi terlanjur membuatnya bosan. Atau itu hanya pemikiran liar Bunga? Bunga hanya ingin seseorang juga sebingung dirinya, jadi Bunga bisa mengajak mereka saling memahami linglung.
Wren terduduk pada pohon, ia bersandar dan menghela napas panjang. Dari duduknya, ia mendapati Kasen dengan binar pada kedua matanya yang entah kapan bisa sedikit redup dan gadis itu. Gadis yang sempat menawari Wren untuk membentuk pasukan untuk menghadang. Tapi kenapa saat anggotanya merasa terancam Anesha tidak datang? Ia justru menghilang.
![](https://img.wattpad.com/cover/246645204-288-k148452.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Not An Ordinary Friendship
Novela Juvenil"Memang jika miskin, lantas aku tak pantas mencita-citakan hal besar, begitu?" tanya Deon bermonolog Di tengah pekatnya malam. Surabaya, tempat di mana semesta menjadi saksi perjuangan anak-anak remaja yang masalahnya di pandang sebelah mata "Skena...