Defensi

660 346 109
                                    

     Mengapa berusaha menutupi gemuruh yang bersahut-sahutan di dalam, dengan terlihat tidak begitu peduli dengan dirimu sendiri?

    Tidak, Anesha—remaja itu masih punya pendirian, dia tidak membiarkan beberapa hal mengalir begitu saja. Semuanya saja; mereka yang mengaku tidak tahu ke mana arah tujuan, hanya sedang dirangkul ketidakyakinan pada kemampuan diri.

    Piza tampak berpikir sejenak, bagaimana jika membujuknya perlahan? Seharusnya tidak jadi melantur, kan?

"Kalau ada harta karun jatuh dari langit, tepat di hadapan kamu, dan itu dipungut sama orang lain karena kamu cuma lihat aja gimana, Sha? Yakin kamu rela?" desak Piza dengan sorot mata bangga, setelahnya ia hanya menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunggu respon si lawan bicara.

    Anesha menghela napas panjang, ditatapnya mata kakaknya yang berbinar dengan intens. "Harta karun dipulau terpencil kali, Kak. Masa dari langit?"

"Tepat dihadapan kamu? Ganti posisi aja, dikira dahi gak benjol kali, ya, ketiban harta karun dari langit?" pikir Anesha sambil menunjukkan senyum getir.

     Seorang wanita dewasa lain muncul dengan keringat yang masih belum disekanya, dengan mengentak-entakkan kedua kaki ia menghampiri Anesha dan Piza, sambil menenteng 2 buah bantal, dilemparnya benda itu ke 2 target di waktu bersamaan. Beruntung, Anesha membaca situasi dengan cepat, ia menundukkan kepala dengan gesit, hingga tembakan seseorang yang baru datang tadi melesat.

    Bantal itu terjatuh ke tanah. Aromanya yang terhasilkan darinya membuat Anesha memalingkan wajahnya. "Terdeteksi terkontaminasi," lirih Anesha sambil menyeret kursi yang didudukinya, sejengkal lebih jauh dari tempat bantal pelampiasan terkapar.

    Bagian belakang kepala Piza menjadi sasaran empuk, untuk gawang bantal yang lain. Mewawas diri memang senjata ampuh untuk pertahanan, ya? Piza melempar bantal ke kursi yang ada didepannya dengan keras, hingga membuat kursi hampir terjungkal.

"Kalian debat apa sih! Suaranya tembus ke mimpi, padahal aku lagi mimpi liburan sama bias aku tahu! Baru main ayunan sama jalan-jalan ke pantai udah buyar!" Wanita dewasa itu meluapkan kekesalannya hingga wajahnya memerah, pawakannya yang pendek cukup selaras dengan nada suaranya yang kebanyakan terdengar seperti rengekan anak kecil.

"Aku gak peduli, sih, jenuh kali tubuhmu ngorok dari jam satu," ketus Piza melirik Dakota, kakak tertuanya. Ralat, kakak tertua dari mereka berdua.

"Jujur banget, sih, adikku jadi orang." Dakota mengelus-elus dadanya pelan, sambil memanyunkan bibirnya, seakan benar-benar tertusuk dengan sinisme yang Piza lontarkan.

"Kalau gak blak-blakkan, apa Kakak akan sedikit sadar diri? Manusia, kan? Coba kurangi masa hibernasinya." Kali ini Anesha ikut menyahut, memberikan saran masuk akal, meski tahu itu akan tersangkal.

"Kamu ngeledek kakak ya? Jangan ngebahas pelajaran sekolah mulu kenapa! Karena meski dulu pernah dibahas, sekarang ingatannya sama sekali nggak berbekas," beber Dakota dengan cengiran lebarnya, Dakota juga menambahkan bahwa saat masa libur sekolah lebih baik libur mikir saja.

     Anesha tak habis pikir dengan orang yang seperti Dakota: cengengesan setelah membeberkan kelemahannya. Ia sedikit iri pada prinsip hidup kakak pertamanya itu: Semakin tua, semakin banyak main.

     Anesha sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan jika Dakota menjadi penggemar dari Boygroup ternama di Asia, tak apa jika mendengar lagu-lagu mereka terlalu keras setiap Dakota mencuci baju, tapi sesekali apa dia tidak ingin mempelajari hal lain?

    Kan masih banyak yang menjadi penggemar mereka, kalau Dakota mundur tidak akan berefek apa-apa, Boygroup itu pun tidak tahu ada yang hilang. Karena yang hilang pasti akan menggiring pengganti lain untuk datang.

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang