Dualitas

150 73 18
                                    

"Kamu tahu, Sha? Apa yang membuat seseorang justru terjebak loop, selagi bumi penuh paradoks?" Adelio mengajukan pertanyaan remeh untuk lawan bicaranya yang hobi seenaknya mengukir kesimpulan? Ingin melucu.

Anesha mengulas senyum tipis. Padahal petang ini ia tergiur hanyut bersama angin: tanpa beban. Mungkin harapnya terlalu egois. "Saya lagi gak minat diwawancarai, Del. Lo silakan ngoceh aja, deh."

"Membosankan. Jangan terlalu cepat untuk membuat saya kecewa, Sha." Anesha mengernyit sejenak. Ah, impresi positif memang rumit, sekali-kali Anesha perlu memamerkan celah kurangnya, memang ia manusia macam apa: yang tanpa cela itu mustahil. Sejatinya tatap dari si lawan bicara—yang Adelio suguhkan—tak payah menghadiahi sumber kegamangan yang berarti.
"Saya ingin dengar gaungan argumen, bukan monolog konyol yang sering saya mainkan sendiri." Apa-apaan, atas dasar apa Adelio menuntut? "Jadi, apa penyebab loop atau kemonotonan yang sering manusia alami?"

"Lo nenteng akal, kan, Del? Coba lo observasiin sendiri." Sudah terlanjut tersulut, wajar jika Anesha menyederhanakan hal yang nampak memperbelit perkara.

"Sudah. Sekarang saya minta versi terjemahan milik kamu, Sha." Biar Adelio menuntut tanpa beberan latar belakang. Meski hubungan keduanya  belum berlangsung pesat, Adelio yakin mereka justru perlu banyak penggerakkan konsolidasi mendalam.

"Duh, Del. Ngomongin orang gini bikin gue ingat, kalau gue orang tau!" Fungsi Adelio meminta pencerahan konotasi kata milik Anesha, tidak memiliki faktor pendukung. Kadang apa-apa yang kurang relevan membuat Anesha muak. Anesha ingin menolak. Yah, penghindaran tak berarti. Ia mengelak selagi isi pikirannya membujuknya untuk segera menelan realita bahwa ia adalah makhluk jua. Pencicip hak, kewajiban, angan, dan mimpi buruk. Mungkin kejayaan, akal, dan kegilaan? Intuisi manusia selalu menghindar ketika merasa terancam. Sial, apa selama ini Anesha sudah terjebak zona nyaman, hingga ia lupa orang-orang dunia luar sibuk terpacu.

"Monoton, loop? Mungkin kalau ke konsep warna mirip definisi solid atau polos, ya? Minim variasi. Mirip kasus white room? Kita bisa mabuk kalau dijejali hal sama terus menerus? Palingan orang lagi kurang fokus buat upgrade skill pemikiran kritis. Banyak orang lupa kalau tangan mereka sebenarnya pengganti tongkat sihir."

Menggelikan. Apa yang baru Anesha selesaikan? Ia berceloteh selayaknya dunia nyata kasus yang sama dengan momen negeri dongeng? Mana cetusan realistis milik Anesha? Agaknya bosan bertengger? Ah, orang realistis pun pernah digerogoti khayal.

"Teruskan, Sha," Adelio mendengarkan sambil sesekali mengangguk, melirik kedua tangannya sekilas. Cukup konyol mendengar lawan bicaranya berlagak menghadirkan perumpamaan: antara tangan dengan tongkat sihir. Dalam hal apa? Pengendalian diri?

Kala cakapan tetap saja menetes, Adelio menangkap geraknya dan memerangkap pada isi kepala untuk sekadar dianalisa lain waktu. Ia payah menenangkan gaduh, ruang-ruang penuh debunya kini punya sekelebatan informasi. Ia meyakinkan diri, ini bukan satu dari sekian mimpinya yang meledeknya dengan cara terwujud. Adelio tidak sedang bertemu dengan dirinya pada versi yang lain. Dirinya bukan hal yang dapat menjelma dualitas. Tidak pernah.

     Semakin Anesha mengalirkan cakap, polanya justru kian berantakan. Adelio memang tak pernah tau apa-apa. Ia hanya yakin mau bagaimanapun dirinya tak akan pernah kenyang terjejali dongeng yang sama, dari seorang gadis rambut sebahu, selegam kopi.

Bahkan jika tak akan ada potensi bertemu ujung. Adelio tetap ingin kembali menyusuri sumbernya. Ia pasti akan tersesat. Dasar nekat.

***

"Kaktus?" Yuka menghampiri Pangeran yang sejak tadi tampaknya menghargai kesendiriannya. Kebanyakan hangat datang dari beberapa raga yang mencoba menyelaraskan kecamuk ruang kepala, dengan karya ... mereka membeberkan amuk. Setidaknya seniman bukan sekadar individu yang menerka akan seperti, apa, dan bagaimana cara kerja dunia. Mereka juga berlagak mewujudkannya, di isi kepala. Egois sekali.

Not An Ordinary FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang