09 || Terserah Ra!

275 25 1
                                    

Aku menunggu Fadli cukup lama di taman kompek nya, Fadli menghampiriku dengan menaiki sepeda nya. Dia yang meminta kami agar bertemu di taman, mungkin agar apa yang ingin aku sampaikan tak akan terganggu oleh Tante Gianti.

"Aku ganggu?" Tanyaku pelan, Fadli mestandarkan sepeda nya di hadapan mobilku. Fadli menjawab dengan  menggeleng kepala, matanya menatap ku sekejap lalu berpaling menatap keadaan sekitar yang masih ramai dengan anak kecil yang sedang bermain.

"Dli sebenernya, aku mau minta maaf sama kamu. Aku tau aku keterlaluan waktu itu. Maksudku kamu boleh ikut andil sama segala hal yang menyangkutku, tapi tidak dengan masalah aku dan Ben." Ucapku langsung to the point pada permasalahan.

Fadli tersenyum, menaikan kedua alisnya dan mengepalkan kedua tangan di dadanya. "Terus?"

"Ya aku ga mau kita diem-dieman gini. Kita udah dewasa Dli, masa karena itu kamu diam bahkan tidak menghiraukan aku?"

"Kalau kamu bilang aku tidak boleh ikut andil dalam hubungan mu dan Ben. Lantas kenapa kamu merasa tidak mau aku bersikap begini? Kamu tau apa objek dan subjek dalam diri kamu sekarang?" Tanya Fadli di akhir kalimat yang mendapat gelengan kepala dariku.

"Objek kamu sekarang sedang dekat dengan pria, dan subjeknya Ben. Terus aku harus apa? Harus deketin kamu? Bercanda sama kamu seolah-olah aku ga tau kalau kamu lagi deket sama cowo? Iya?!

Kalau gitu dimana perasaan kamu Ra?" Sambung Fadli dengan ekspresi yang berbeda

Aku diam mendapatkan kata-kata itu dari Fadli. Nada bicara nya sangat berbeda, ia terlihat baku saat ini. Saat marah, Fadli mengingatkan ku dengan Ares. Pria itu akan berbicara baku jika sedang marah dan tak ingin melontarkan kata-kata kasar padaku.

"Aku ga mau kamu diemin salah?" Ujarku lagi menatapnya sendu.

"Salah. Jelas salah Ra. Jangan serakah dong jadi cewe."

DAMN!
Seolah di hantam ombak tanpa siap, kata-kata Fadli membuatku berpikir keras. Ya mungkin aku terlihat serakah saat ini. Dekat dengan Ben, dan masih ingin di perhatikan oleh Fadli.

Air mata ikut turun setelah rintik hujan mulai jatuh ke tanah. Fadli bahkan tidak melirikku sama sekali, ia memasukkan tangan ke saku samping celananya. Fadli terlihat memang sudah tak peduli denganku.

"Terserah Ra. Terserah apa mau mu, lakukan. Semoga apa yang aku pernah katakan tidak terjadi padamu." Lanjut Fadli lalu meninggalkanku.

Aku memasuki mobil, menahan tangis lalu melanjukan mobil dengan cepatan sedang. Telponku berdering, aku menyambungkanya dengan audio di mobilku agar bisa mengangkatnya walaupun sedang menyetir.

"Hallo Ra?" Suara di ujung sana yang sempat aku rindukan, ya. Itu adalah suara Ares, entah apa yang membawanya menelponku secara tiba-tiba.

"Hmm?"

"Perasaan aku ga enak, kamu gapapa kan? Kamu baik-baik aja kan?" Tanya Ares dengan nada yang sangat khawatir. Tak bisa terbendung lagi, air mata kini sudah melunjur bebas di pipiku. Aku memutuskan untuk menghentikan mobil dan menepi.

"Ra? Kamu nangis? Coba cerita sama aku? Kamu dimana, mau ketemu? Aku samperin ya Ra. Aku takut kamu kenapa-kenapa."

"Res?" Panggilku lirih.

"Hmm? Kamu share lokasi kamu ya, aku kesana." Lanjutnya kemudian mengakhiri telpon.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, aku dan Ares memutuskan untuk berbicara di mobil saja. Ia membawaku ke salah satu rumah sakit di Bandung. Ares nemberitahu bahwa Wenda sedang sakit, dan kondisinya sedikit membaik setelah 2 hari di rawat.

Arabelle [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang