01 || Kisah Ara

1K 54 1
                                    

Setelah gagalnya pertunanganku dengan Ares, aku kembali menyibukan diri setelah 3 hari mengurung diri di rumah. Bagaimana tidak, aku sangat malu bahkan bunda harus merasakan malu ketika ibu-ibu komplek membicarakanku saat sedang berbelanja sayur.

Hari ini, aku kembali menjalankan aktivitasku yaitu bekerja. Aku bekerja di perusahaan Wedding Organizer dibagian staff WO yang bertugas membantu customer merencanakan pernikahan impian mereka dengan budget yang mereka miliki.

"Ara... lo kemana aja sih?" Gerutu wanita rambut ikat kuda di sampingku, Diana.

"Pulang shopping sama gue. Gue yang bayar!" Ujar Sye, teman yang paling royal diantara semuanya.

Aku hanya tersenyum, mereka terus mengekor di belakangku sampai aku duduk di kursi kebanggaanku. Dan...

Sial!
Di meja masih terpampang fotoku bersama ba**ngan Ares. Aku segera meraihnya, lalu membuangnya pada tong sampah samping mejaku. Diana mengusap bahuku lembut, begitu dengan Sye.

"It's ok, gue gapapa kok!" Tegar gue lalu tersenyum kepada Diana dan Sye. Mereka mengangguk lalu meninggalkanku.

Oh ya, aku dan mereka bersahabat sangat dekat. Terlebih dari kita satu tim di pekerjaan, aku, Diana, dan Sye sudah bersahabat sejak kita berkuliah di salah satu Universitas terkenal di Bandung.

Bercerita tentang Ares, dia salah satu seniorku di kampus. Kami dekat sejak acara ret-ret yang diadakan rutin oleh fakultas saat menyambut mahasiswa baru. Aku dan Ares selisih 2 semester, dia cukup terkenal di angkatanku karena sikapnya yang supel dan perhatian pada siapapun.

Setelah ret-ret selesai, Ares selalu memberi kode bahwa ia ingin berkenalan lebih dekat denganku sampai akhirnya kami berpacaran selama 3 tahun lebih 6 bulan dan memutuskan untuk bertunangan. Tapi itu tidak berjalan sesuai dengan apa yang aku kisahkan, seminggu sebelum acara pertunangan kami aku melihat Ares bersama seorang wanita di Klinik Kasih Ibu, klinik khusus ibu dan anak. Pikiranku menyimpulkan bahwa wanita itu adalah kerabat Ares, tapi nyatanya wanita itu adalah wanita yang harus Ares berikan tanggung jawab.

Hari itu membuatku hancur berkeping-keping. Ares sendiri memutuskan untuk membatalkan pertunangan kami, bahkan ia meninggalkanku tanpa kata maaf dan penjelasan sedikitpun.

"Ra?"

"Ra?"

"Ya?" Jawabku terbangun dari ambang-ambang masa sulitku, aku melirik ke arah samping yang sudah menunjukkan Fadli di sana. "Kenapa Dli?"

"Dih kayak anak muda lu ngelamun!" Sahut Fadli. Pukulan keras terdengar saat aku memukul perutnya. Fadli meringis kesakitan, reflek kedua tanggannya memegang perut.

"Lagian lu ngeselin!" Ketusku merasa tak bersalah.

"Iya-iya gue salah, ntar makan siang bareng gue yuk. Sekalian anter gue beli kado buat nyokap." Aku berpikir sejenak lalu mengiyakan ajakan Fadli.

***

Aku dan Fadli memilih untuk makan siang di mall dekat dengan kantor kami. Ia mengajakku ke restoran sushi langganan kami, Diana dan Sye juga. Seperti biasa, aku memesan berbagai macam sushi salmon dan ice cream matcha. Sesekali aku melirik Fadhil menggunakan ujung mata, ia fokus melihatku memakan semua hidangan sembari tersenyum.

Satu kenyataan yang ku kubur dalam-dalam yaitu soal perasaan Fadli padaku. Saat aku masih menjalin hubungan dengan Ares, Fadli bercerita pada Diana bahwa dia menyukaiku saat aku magang di tempat kerjaku sekarang. Munafik bagiku jika tak memiliki rasa yang sama dengan Fadli. Ia sangat baik, sopan, juga menghargai wanita tapi sayang, bagiku sekali sahabat akan tetap sahabat kecuali diluar kehendak Tuhan. Aku dan Fadli sesilih umut 2 tahun, dia lebih dewasa dariku.

"Lu apaan sih liatin gue?!" Ketusku tak terima. Bagaimana tidak, ulahnya aku sedikit risih dan kaku untuk melahap sushi di hadapanku.

Fadli tertawa renyah sembali mengusap wajahnya. "Lu kayak orang kelaperan tau ga?"

Aku mendengus kesal, menyimpan sumpit lalu membawa sendok kecil untuk memakan ice cream matcha pesananku yang hampir meleleh. Aku mengalihkan pandangku pada sejoli yang sedang fokus dengan ipad menu di meja yang terhalang 2 dari mejaku. Mereka tak asing di mataku, bahkan mereka membuat rasa sakitku kembali terasa sesak di dada.

"Kenapa sih lu?" Tanya Fadli, lalu melihat pemandangan sesuai dengan apa yang mataku saksikan. Aku kembali memalingkan mataku, saat pasangan itu melirik ke arahku. Fadli mengusap lembut telapak tanganku, ia mengisyaratkan untuk pergi dari restoran ini tapi aku menolaknya. Jika pergi, itu tandanya aku kalah dan semakin terlihat sangat terpuruk di hadapan mereka.

Aku memaksakan sushi untuk masuk ke dalam kerongkonganku. Mempermudahnya dengan minuman yang ku pesan. Fadli merebut sumpit dari genggamanku, aku mendeliknya sebal.

"Bukan gitu caranya! Kalau gini lu memperlihatkan kesakitan lu. Nurut sama gue, kita pergi dari sini!" Ketus Fadli, ia menarik lenganku dan menyelendangkan slingbag ku di pundaknya.

Jelas mimik tak suka di wajah Fadli, ia seperti menahan emosi sejak tadi. Fadli mengurungkan niatnya untuk membeli hadiah untuk Tante Gianti, ibunya. Ia membawaku ke basement dan menuju kembali ke kantor.

Aku memalingkan wajah menatap kaca samping kiri. Seolah mengerti, langit berubah menjadi kelabu tak lama hujan turun dengan deras. Fadli mengatur ulang suhu mobil, ia fokus dengan jalanan diselingi melirikku sekilas.

"Dli?" Panggilku, ia hayang mendehem tanpa melihatku. "Sorry ya, acara cari hadiah buat Tante Gianti jadi gagal karena gue."

"Bisa besok Ra."

"Ok."

Hening kembali terjadi, jalanan lancar berubah menjadi macet sekarang. Fadli menelpon Sye memberitahu bahwa aku dan Fadli akan telat sampai kantor.

Sampai di kantor, aku mengekor di belakang Fadli. Ia menyimpan slingbag ku di meja, lalu pergi begitu saja. Rasa bersalah jelas tergambang di wajahku, aku tau bahwa nanti malam syukuran ulangtahun Tante Gianti akan berlangsung.

Arabelle [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang