Play: love to hate
—————————————🍂
Zetta sudah berada di boncengan Marcel untuk pergi ke suatu tempat. Hening sepanjang perjalanan membuat Marcel jenuh, hingga akhirnya laki-laki itu yang memulai pembicaraan. "Lo ada masalah apa sama Putra, Ta?" tanya Marcel dengan berteriak karena suaranya terhalau angin.
"Heh?"
"Lo sa--ma Pu--tra ke--na--pa?" Marcel mengulangi ucapannya lagi. Dia heran, kenapa semua cewek kalau naik motor pasti jadi tuli.
"Heh? Apaan? Nggak denger!"
"LO SAMA PUTRA ADA MASALAH APA?" teriak Marcel sekali lagi dengan kekuatan penuh. Dan lagi-lagi Zetta hanya menjawabnya, "Heh?"
"Ha he ha he mulu lo kayak orang bego!"
"Ntar gue ceritain. Sekarang lo anterin gue aja ke makam Bu Maya."
Marcel sepertinya harus belajar tabah dari Putra. Susah memang bicara dengan Zetta. Ditanya yang benar tidak dengar, giliran dihujat nyambungnya jauh sekali.
Setelah mengetahui tentang keluarga Bu Maya, Zetta memutuskan untuk mengunjungi makam gurunya itu. Zetta biasanya berkunjung sebulan sekali. Tapi, kali ini belum ada sebulan dia harus berkunjung lagi, karena tiba-tiba merindukan Bu Maya setelah melihat foto di kamar Putra.
Setelah Marcel menurunkannya di depan makam, Zetta berjalan menuju penjual bunga yang ada di dekat pintu masuk.
"Bu, kayak yang biasanya," ujar Zetta pada penjual bunga itu.
"Siap, Non," jawab penjual itu seraya menyiapkan keranjang berisi mahkota mawar merah.
Setelah mendapat bunganya, Zetta tiba-tiba terbelalak melihat Putra berjalan dari makam Bu Maya dengan gontai.
"Putra!" panggil Zetta pada Putra yang tanpa sadar melewatinya begitu saja. Sepertinya laki-laki itu sedang banyak pikiran. Tentu saja karena tahu kenyataan bahwa Zetta penyebab meninggalnya Bu Maya.
Putra tak kunjung menjawab membuat Zetta menarik lengan kekar laki-laki itu. "Put, gue tahu lo kecewa sama gue. Tapi, please. Kita bicarain dulu masalah ini."
Putra enggan menatap Zetta. Wajah gadis itu hanya membuatnya semakin sulit melupakan Bu Maya. Masih dengan perlakuan yang lembut Putra berusaha melepas pegangan Zetta. Meskipun dalam keadaan kecewa, Putra enggan bersikap kasar pada perempuan. Memang selembut itu hati seorang Putra Kelana.
"Gue butuh waktu, Ta."
"Kenapa? Lo mau pendem sendiri sakit hatilo sama gue? Kalau lo kecewa sama gue, bilang! Kalau lo benci sama gue, bilang! Pukul gue kalau itu bisa buat lo puas. Kalau belum puas, sekalian bunuh gue. Jangan menghindar, Put... Gue nggak bisa diem-dieman sama lo!" maki Zetta dengan nada yang semakin melirih yang menandakan sesaknya semakin dalam.
Dari dulu Zetta merasa sulit mendapatkan teman. Maka dari itu dia selalu menjaga teman-temannya. Dia tidak mau kehilangan satu dari mereka. Terlebih Putra, laki-laki paling baik yang pernah dikenalnya.
"Gue pulang dulu." Setelah mati-matian Zetta menahannya, tanpa mau membalas sepatah kata pun, Putra tetap beranjak pergi.
Namun, bukan Zetta namanya jika dia membiarkan targetnya lepas begitu saja. Jika pegangan tangannya tak mampu menahan Putra, Zetta memilih memeluk Putra dari belakang dengan masih memegang keranjang bunga.
"Put, lo udah anggep gue adik lo, kan? Gue nggak mau kehilangan Kakak kayak lo."
Putra diam mematung mendengar ucapan Zetta. Dia teringat setiap momen Zetta yang dengan bangga mendeklarasikan bahwa dia adik dari seorang Putra Kelana di depan siapa pun yang bertanya status mereka. Bahkan, Putra pun juga berjanji akan selalu mengingat dan mengutamankan Zetta apa pun keadaannya. Itu semua dia lakukan karena kebaikan yang selalu gadis itu berikan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAVAGE (End)
Teen FictionDia Zetta. Gadis SMA dengan jabatan Nona Boss di sebuah geng yang semua anggotanya berisikan murid laki-laki. Dikenal sebagai ratu jalanan dan bercita-cita menjadi penggerak feminisme. Sayang, mimpinya harus terkubur ketika orang tuanya menjatuhkan...