Part 50 (End)

312 11 1
                                    

Keadaan salah satu kamar rumah sakit mendadak hening ketika dokter mencoba membuka lilitan perban di area mata Ica, kedua orang tuanya saling berpelukan untuk menguatkan karena takut dengan hasil operasi beberapa hari yang lalu.

Sebenarnya, Ica masih enggan untuk membuka mata. Ia ingin menunggu Refan dan teman-temannya yang sampai hari ini belum ada satu pun menjenguk.

"Siap, Ica?" tanya dokter setelah membuka seluruh perban.

Kepala Ica mengangguk dengan pelan, jantungnya berdetak ritme cepat. Kedua tangan gadis itu mendadak langsung dingin, bahkan nyaris bergetar jika tidak digenggam. Hampir empat tahun tak melihat dunia membuatnya gugup, pasti banyak perubahan yang terlewati semenjak kejadian kecelakaan itu.

"Buka dengan perlahan!"

Sedikit demi sedikit Ica mengangkat kelopak mata, menyesuaikan cahaya yang masuk setelah sekian lama tak merasakannya. Ia langsung menoleh ke arah Miranda dan Tono, lalu tersenyum sembari merentangkan kedua tangan.

"Mama, Papa, Ica udah bisa melihat lagi," ucap gadis itu dengan penuh haru.

Air matanya mengalir tanpa diminta, harapan yang selama ini hanya angan sudah terkabul. Rasanya, ia masih tidak percaya bisa melihat lagi. Ica kira selama hidupnya hanya akan dihiasi oleh kegelapan.

"Ma, tolong telepon Refan. Ica mau dia ke sini," pinta Ica.

Di antara semua temannya, Ica ingin Refan menjadi orang pertama. Namun, permintaan Ica setelah membuka mata menghantarkan tangis untuk Miranda. Wanita paruh baya itu sebenarnya ingin menyembunyikan fakta yang baru diketahuinya semalam, tapi mendengar nama Refan disebut oleh Ica membuatnya meraung.

Tono berusaha menenangkan istrinya terlebih dahulu, ia mengisyaratkan kepada Ica agar sabar untuk menunggu. Keduanya memilih untuk keluar dari kamar, membuat pertanyaan di benak Ica semakin banyak.

Ketidakhadiran Refan saat membuka mata setelah operasi dan tangis mamanya saat ia meminta untuk memanggil laki-laki itu terasa aneh, perasaan tidak nyaman mulai muncul disertai pikiran buruk yang menghantui.

"Kamu baik-baik aja, kan, Refan?" tanya Ica.

Matanya melihat ke arah jendela, awan mendung disertai angin mulai turun pertanda hari akan hujan. Entah kenapa Ica merasa suasana seperti ini seolah sama dengan hatinya, bahkan terasa nyata.

Suara pintu yang didorong dari luar membuat Ica mengalihkan atensinya, ia melihat Tono masuk tanpa Miranda. "Papa, mama mana?" tanya Ica.

Tak ada jawaban yang diberikan oleh Tono, laki-laki itu langsung memeluk putrinya dengan erat. Ia juga sama seperti Miranda, tapi posisi sebagai kepala keluarga membuatnya harus tetap kuat.

"Mama ke kantin sebentar, mau beli makanan. Gak apa-apa, kan, sama Papa dulu?" tanya Tono.

Anggukan kepala Ica membuat Tono sedikit merasa tenang, ia sudah berencana akan menceritakan semua hal yang terjadi setelah gadis itu makan. Setidaknya, apa pun risiko yang diterima nanti, kondisi Ica tidak terlalu memburuk karena dalam perut kosong.

Keduanya sama-sama bungkam, Tono memang sengaja tidak mengajak Ica berbicara karena takut gadis itu menanyakan keberadaan teman-temannya. Selang beberapa menit, Miranda kembali dengan membawa sekantung makanan untuk mereka.

"Mama bawa makanan kesukaan kamu," ujar Miranda.

Tangan Ica dengan lincah membuka penutup tempat makanan itu, matanya langsung berbinar melihat nasi goreng lengkap dengan telur dan irisan paha ayam.

"Mama yang terbaik," balasnya sambil tersenyum lebar.

"Dihabiskan, Sayang," kata Tono sembari mengelus rambut Ica. Sebelah tangannya mengambil satu kotak nasi goreng yang berada di dalam kantong, lalu ikut makan bersama Ica dan Miranda.

Ketiganya fokus pada makanan masing-masing, satu pun tidak ada yang membuka suara. Setelah mengemaskan sisa makan, Miranda izin pulang terlebih dahulu. Wanita itu tidak kuat melihat Ica saat Tono akan mengatakan beberapa hal, ia hanya bisa berdoa agar gadis itu diberi ketabahan dan kekuatan.

"Ica, Papa ingin bicara."

Tubuh Ica langsung duduk dengan tegap, kedua kakinya bersila di atas brankar. "Kenapa Papa tegang gitu? Bicara aja, Pa!" balasnya.

Tono mendekatkan diri dan membawa Ica agar bersandar di dadanya, sejujurnya ia sendiri tidak sanggup mengatakan ini. Laki-laki paruh baya itu takut jika anak yang dibesarkannya menjauh dari mereka, apalagi jika Ica memutuskan untuk pergi.

"Sebenarnya, kamu bukan anak kandung Papa dan mama," ungkap Tono.

Ia langsung memeluk tubuh Ica yang mendadak kaku, menumpahkan tangis di bahu anak angkatnya. Tono merasa bibirnya berat untuk mengatakan fakta ini, tapi hatinya terasa ringan karena sudah mengatakan kebenaran.

"Jangan tinggalkan kami, Ica! Papa dan mama sangat menyanyangimu, kami tidak mau kamu pergi. Bolehkah kami egois dengan menyuruhmu tetap di sini sementara orang tua kandungmu menunggu untuk kembali?" tanya Tono.

Mulut gadis itu tetap bungkam meski air mata terus mengalir di pipinya, ia tidak tahu harus mengeluarkan respons seperti apa. Fakta ini sungguh terlalu mengejutkan, apalagi dari ucapan Tono sangat jelas mengatakan jika kedua orang tua kandungnya masih ada.

"Siapa orang tua kandungku?" tanya Ica tanpa mempedulikan pertanyaan Tono sebelumnya.

Hati Tono teriris, bagai ada pisau yang mencabik-cabiknya. Namun, ia berusaha untuk ikhlas apa pun pilihan Ica. Gadis itu berhak mengetahui dan bersama orang tua kandungnya daripada bersama mereka. Bahkan, karena kelalaian Tono dan Miranda, Ica mengalami kecelakaan yang menyebabkan kebutaan.

"Dita dan Yasa, mereka kedua orang tua kandungmu. Begitu pula dengan Kalila, dia adalah saudari kembarmu. Sementara Kama, laki-laki itu hanya anak angkat," ungkap Tono.

Tangis Ica kembali pecah ketika tahu jika Kalila adalah saudarinya, apalagi gadis pelaku dari kecelakan empat tahun silam. Ia tidak menyangka jika dunia sesempit ini, bahkan sedikit pun tak pernah terlintas di benaknya hal sebesar ini terjadi. Alam seolah berkonspirasi untuk mempermainkannya.

"Aku tidak akan meninggalkan Papa dan mama, sampai kapan pun aku selalu berada di sini bersama kalian," papar Ica sembari mengeratkan pelukannya.

Dalam pelukan Ica, Tono berusaha kembali menguatkan diri. Masih ada satu fakta lagi yang harus ia katakan, kemungkinan respons yang diberikan gadis itu tidak akan setenang ini.

Namun, untuk sekarang biarlah mereka tenang terlebih dahulu. Ia juga tidak ingin kondisi Ica semakin memburuk karena terlalu syok diberi kenyataan yang terlalu mengejutkan.

"Kamu belum minum obatnya, Sayang. Ayo, minum obat dulu," ajak Tono.

Laki-laki itu sibuk membuka bungkusan obat yang berada di atas nakas, lalu membantu Ica memegang gelas berisi air putih untuk dijadikan pendorong pil-pil pahit itu.

Tangan besar milik Tono menggenggam jemari mungil Ica, menyalurkan ketenangan lewat genggaman itu. Jika dirinya tidak mengatakan hal ini sekarang, Tono takut jika Ica akan menanyakan keberadaan teman-temannya.

"Sayang, ada satu lagi yang harus kamu ketahui," ujar Tono.

"Apa, Pa?" tanya Ica penasaran.

"Ini tentang teman-teman kamu, mereka gak ke sini karena menghadiri pemakaman," jawab Tono.

Debaran jantung Ica semakin berdetak kencang, bahkan lebih parah dari ketika pertama membuka mata tadi. Perasaannya seakan mengatakan jika ini bukan hal baik, apalagi ketika hujan turun detik itu juga.

"Siapa yang meninggal?"

"Refan."

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang