Part 43

49 13 0
                                    

Dua mobil yang berbeda warna sampai bersamaan di rumah sakit, Kama lebih dahulu turun dan segera menggendong Ica. Laki-laki itu berlari seolah dikejar sesuatu, mengabaikan teriakan satpam yang kebetulan sedang berada di pintu masuk.

Napasnya terengah-engah ketika menginjakkan kaki di ruang operasi, di sana masih ada kedua orang tuanya meski Yasa terlihat sedikit kacau. "Ma, aku bawa Ica," ujar Kama cepat.

Jelas sepasang suami istri itu kaget, dari mana Kama mengetahui jika Ica memiliki darah yang sama dengan Kalila? Yang lebih parah lagi, jangan-jangan laki-laki itu juga tahu jika Ica sebenarnya adalah saudari kembar Kalila.

Akan tetapi, untuk saat ini semua itu tidak penting. Nyawa Kalila sedang terancam, anak gadis kesayangan mereka segera membutuhkan pertolongan.

"Kama, Ica mau diapakan?" tanya Ica bingung.

Beberapa kali selama di perjalanan ia bertanya 'Mau ke mana?' pada Kama, tapi sahabat pacarnya itu sama sekali tidak menjawab satu patah kata pun. Ica juga dapat merasakan bahwa Kama membawa mobil dengan sedikit ugal-ugalan tadi.

"Kama!" panggil Ica sedikit keras.

Kama tanpa hati melepas gendongannya pada Ica, hingga gadis itu jatuh terlentang. Seketika punggung Ica terasa nyeri, benturan tulang belakang dan lantai rumah sakit yang keras sangat menyiksanya.

"Pak, sa--"

"Ini pendonornya, Sus. Ambil saja sebanyak yang dibutuhkan," potong Dita.

Seketika badan Ica langsung gemetaran, gadis itu bergegas berdiri sambil berpegangan dengan kursi. "Pendonor? Apa maksudnya?" tanya Ica.

Tanpa menjawab pertanyaan Ica, Kama menyeret gadis itu mengikuti Suster. Tapi aksinya langsung dicegat oleh Yuka dan Fira, tadi dua gadis itu sempat kehilangan jejak Kama.

"Lo gila?" cecar Yuka.

"Minggir!" Kama berteriak lantang, bahkan beberapa pengunjung rumah sakit yang mendengar ada yang terlonjak kaget.

"Enggak. Lo kalau bawa Ica, jangan kayak gitu! Dia manusia, bukan hewan," ujar Yuka sambil menghempaskan tangan Kama yang berada di lengan Ica.

Terlihat lingkaran yang mulai membiru di lengan putih gadis tuna netra itu, cengkeraman Kama terlalu kuat sehingga membekas di sana.

"Bukan urusan lo!" ucap Kama.

Entahlah, Kama tidak pernah merasa seemosi ini. Hanya karena Kalila yang terbaring lemah dengan darah yang memenuhi badan gadis itu, ia melakukan hal yang tidak seperti biasanya.

Anggap aja ini balasan atas apa yang diperbuat Hoshi, Refan pasti ngerti. Semua yang gue lakukan udah benar, batin Kama.

Tak ingin terlibat lebih lama dengan sahabat Ica, Kama kembali menggendong gadis itu dan segera berlari. Ia bergegas memasuki ruangan tranfusi darah, membaringkan Ica di salah satu brankar yang ada di sana.

"Cepat, Sus! Adik saya butuh darah dia," perintah Kama.

Pintu kembali terbuka, kali ini hanya memperlihatkan Yuka yang tampak murka. "Lo udah gak waras, Kama! Lo ngorbanin Ica cuma buat Kalila? Keterlaluan!" semprot Yuka.

"Cuma lo bilang? Kalila itu penting banget buat gue, lo gak akan bisa ngerti! Cewek gak punya hati kayak lo, emang tahu apa soal ini?" tanya Kama murka.

Baru saja akan membalas perkataan Kama, ponsel yang berada di saku celana Yuka berbunyi nyaring. Ketika melihat nama penelpon, wajah gadis itu langsung pucat pasi.

Ica menjerit ketika jarum menembus kulitnya, gadis itu sedari dulu ... takut jarum suntik. Yuka mendekat, menggenggam tangan Ica dengan erat. "Ica, ini Yuka. Bagi rasa takut Ica ke Yuka sekarang," bisik Yuka.

Deringan ponselnya sengaja Yuka abaikan, ia tidak bisa menerima telepon jika Ica masih menangis seperti ini. Setidaknya hingga gadis yang sedang melakukan tranfusi darah itu tenang, jadi Yuka agak santai ketika menangkat telepon.

Sepuluh menit berlalu, wajah Ica mulai pucat. Kondisinya yang memang tidak baik-baik saja membuat tubuh gadis itu lebih lemah dari biasanya, ditambah lagi dengan tranfusi darah.

Sayangnya tidak ada yang bisa Yuka lakukan, ia tak bisa sembarangan mencabut jarum yang menancap di lengan Ica. "Ca, usahain tetap sadar, ya," lirih Yuka.

Kondisi Ica sebenarnya tidak bisa dikategorikan untuk pendonor darah, tapi Yasa bermain kotor. Laki-laki paruh baya itu memberikan sejumlah uang pada suster yang berada di dekat Kama, entah berapa nominalnya.

Pintu diterobos oleh Aidan, di belakangnya ada Fira yang mengikuti. Tak ada basa-basi, Aidan langsung memukul sahabatnya tanpa ampun.

"Lo apa-apaan, sih?" sentak Kama.

Kama kembali menegakkan tubuhnya, ia menatap Aidan sengit. "Salah gue apa?" tanya laki-laki itu tak sadar diri.

"Lo ... setelah buat Fira nangis, sekarang ngorbanin Ica gitu aja? Kalau Refan tahu, gimana?" tanya Aidan balik.

"Gue gak peduli, Refan juga pasti ngerti. Salahin Hoshi yang udah buat Kalila kayak gini," jawab Kama santai, laki-laki itu menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya akibat pukulan Aidan.

"Tapi kecelakaan itu gak ada sangkut pautnya sama Ica!" tegas Aidan.

"Sayangnya, cuma Ica ...."

Tidak, Kama tidak bisa mengatakannya sekarang. Mereka tidak perlu tahu hubungan rumit keluarganya, kalau perlu fakta yang satu ini harus segera dilenyapkan.

"Cuma apa?" tanya Yuka.

Otak Kama terus berpikir, mencari alasan logis agar teman-temannya percaya. "Cuma Ica yang punya golongan darah sama seperti Kalila," jawab Kama.

"Orang tua lo?"

"Udah, mereka udah donorin darahnya. Tapi masih kurang, Kalila benar-benar membutuhkan banyak pasokan darah." Kama menjawab dengan lesu, ia harus pintar berakting agar mereka percaya kebohongan yang diucapkannya.

Tiga remaja itu tidak sadar jika Kama mempermainkan mereka agar terus menghadapnya, ia memudahkan Suster untuk mengganti kantong darah tanpa perlu repot-repot mendebat Aidan atau Yuka.

Deringan ponsel kembali terdengar, tapi kali ini berasal dari saku celana Fira. Aidan segera mengambilnya saat Fira akan mengangkat, kondisi gadis di sebelahnya itu juga tidak baik-baik saja. Bahkan untuk berdiri saat ini saja, Aidan yang merangkul pinggangnya.

Laki-laki itu melirik sekilas pada nama penelepon. "Halo, Tante," sapa Aidan ramah.

"Fira? Suara kamu kenapa jadi berubah kayak laki-laki?"

Aidan berdeham pelan, menormalkan suaranya yang tadi sempat berteriak. "Ini Aidan, Tante," jawab Aidan sambil terkekeh kecil.

"Oh, Aidan ternyata. Aidan, tolong tanyakan Fira, Ica di mana? Tadi Mbok Yuni bilang, Ica sama Fira dan Yuka."

"Iya, Ica ada sama kami, Tante. Gak usah khawatir, kami akan jaga Ica sebaik mungkin," balas Aidan, ia menatap di Ica yang terbaring dengan kondisi yang semakin melemah.

"Bukan begitu, Aidan. Tante mau bawa Ica ke rumah sakit sekarang, ada pendonor yang sepertinya cocok untuk mata Ica. Dia harus istirahat dulu di rumah sakit buat mastiin kondisinya, baru Om sama Tante izinin buat operasi."

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang