"Kamu lancang dengan mengatasnamakan perasaan suci itu cinta. Karena dasarnya cinta tak pernah memaksa." —Yuka
PLAAAKK!
Yuka menatap Hoshi dengan bengis. Air mata yang sudah tidak tertampung pun sudah terlanjur merembes pada pipinya. "LO GILA YA!" pekik Yuka dengan lantang.
Mata Yuka membeliak ke arah Hoshi. "LO BENER-BENER ... bukan Hoshi yang gue kenal lagi!" Yuka mengatakan itu dengan langkah kaki yang mundur secara teratur, tapi matanya tak lepas dari Hoshi yang memegangi sebelah pipinya yang memerah.
Masih dengan amarah menggunduk. Napas Yuka masih tersenggal karena tadi dirinya membuntuti Hoshi sampai ke danau ini, dan lihatlah sekarang ... Hoshi yang ada di depannya, bukan orang yang Yuka kenal.
"Lo tega, Shi ...." ucapnya lirih.
"LO BUKAN HOSHIII!" jerit Yuka semakin menjadi.
Hoshi mencoba meraih tangan Yuka, untuk memberinya penjelasan. "Yuka dengerin gue dulu."
Kepala Yuka digelengkan. Yuka enggan untuk mendengar suara Hoshi lagi. Perkataan Hoshi perihal Refan membuatnya terluka. "GAK!" tolaknya secara kasar.
"YUKAA!" bentak Hoshi.
Yuka membeku, dia menatap Hoshi dengan gamang.
Seolah tersadarkan, Hoshi bergumam lirih, "Sorry."
Tapi Yuka masih bergeming di sana. Tidak merespon apapun perkataan Hoshi. Hal itu membuat Hoshi jadi serba salah dan frustasi.
Hoshi mengusap kasar wajahnya. Membuang napas secara serakah dan berbagai umpatan keluar dari mulutnya.
"Lo jahat, Shi. Di sini ternyata lo yang buta! LO GAK PERNAH TULUS MENCINTAI ORANG, HOSHI!" teriak Yuka untuk kesekian kalinya. Dia melangkahkan kakinya menjauhi danau dan membiarkan Hoshi yang kembali termenung.
"SIAL!" umpatnya sambil menendang batu berukuran sedang yang ada di bawah kakinya.
•×•×•×•
Ruang ICU kini sedang ramai-ramainya, ada seseorang yang mengalami perubahan pada organ tubuhnya. Baju-baju ber-sneli putih serta para perawat yang mengenakan baju biru beramai-ramai melakukan pekerjaan mereka dengan cepat.
Di antara banyaknya orang-orang tersebut, ada sepasang suami-istri yang mencemaskan keadaan anaknya yang tiba-tiba kesehatannya mengalami penurunan drastis.
"Mas, Sam. Gak kenapa-napa, kan? Dia pasti baik-baik aja, kan?" tanya Adira dengan penuh kecemasan.
Nathan semakin memperkuat pelukannya pada Adira. "Tenang saja, Sam akan selalu baik-baik saja," ucapnya menenangkan.
Salah seorang yang bertanggung jawab atas keadaan Sam, menghampiri pihak keluarga. "Tuan, Nyonya, kita harus segera melaksanakan pencangkokan hati dan hepatektomi¹ secepatnya agar pasien dapat terselematkan."
Nathan yang pikirannya masih bekeja, menanggapi perkataan dokter dengan santai. "Lakukan yang terbaik untuk anak saya."
"Silahkan Tuan mengisi kelengkapan produser operasinya di administrasi. Kemungkinan keberhasilan pembedahan ini adalah 50% tapi kita harus segera mengoperasinya. Saya permisi dulu," pamit dokter tersebut dan diiringi oleh tangis pilu dari Adira yang semakin kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...