Part 1

1.7K 65 17
                                    

Rembulan tak terlihat malam ini, hanya ada bintang yang bertaburan dan bertemani dengan suara jangkrik. Seorang gadis terlihat sedang duduk di depan jendela kamar, tangannya menumpu dagu. "Selamat malam, Dunia."

Clarissa Arianna Putri, gadis 17 tahun yang menderita tuna netra. Gadis cantik dengan sejuta pesona, gadis cantik yang mulia hatinya. Setiap malam ia akan duduk di depan jendela, meresapi angin-angin malam yang berhembus.

"Non Ica, sudah larut. Ayo istirahat, Non!" Seorang asisten rumah tangga yang memang dikhususkan mengurusinya datang, wanita 55 tahun itu sudah bekerja di sana bahkan ketika Ica belum lahir.

"Sebentar, Mbok. Nanti Ica langsung tidur, Mbok masuk aja duluan," tolak Ica.

"Tapi, Non. Na--"

"Gak apa-apa, Mbok. Ica bisa sendiri!" Ica menghela napasnya dengan pelan, ada sedikit sesak yang menghampiri dada kala seseorang meragukan kemampuannya.

"Maaf, Non. Saya tidak bermaksud begitu," ujar Mbok Yuni. Ica berdehem pelan, enggan untuk membalasnya lagi. Air matanya mendesak untuk turun, isakan kecil mulai keluar dari mulutnya.

Dalam hati, Ica merutuki diri. Nyatanya, meski sudah bertahun-tahun berlalu, ia masih belum bisa mengikhlaskan apa yang dialaminya saat ini. "Udah takdir, Ca. Gak usah cengeng!"

Ketukan pintu kembali terdengar, buru-buru ia menghapus kasar air matanya. "Masuk!" pekik Ica sedikit keras.

"Hai, Sayang. Apa kabar?"

Bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan, Ica malah melotarkan pertanyaan lain. "Mami? Mami udah pulang? Kok, gak bilang dulu? Kalau tahu, Ica jemput Mami ke bandara," rengut Ica kesal.

"Iya, Mami pulang sama Papi kamu. Mami sengaja gak bilang dulu, supaya suprise, dong. Oh, ya, anak bandelnya Mami ini kok kelihatan kurusan?"

Ica hanya menampakkan giginya yang berjejer rapi, sesekali ia juga terkekeh pelan. "Jangan bilang kalau kamu diet?" tebak Miranda, mama Ica.

"Enggak diet kok, cuma mengurangi porsi makan aja. Sumpah, aku gak bohong!" Tangannya menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah yang mengacung, wajahnya terlihat panik.

"Sama aja dong!" bantah Miranda.

"Beda, Mami. Kalau diet itu gak makan, tapi aku sekarang mengurangi porsi makan."

"Biasa aja kamu kalau mau ngeles, ayo kita samperin Papi kamu!" Miranda mendorong kursi roda Ica menuju kamar utama, letak kamarnya dan sang suami.

"Papi!" panggil Ica.

Tono yang merasa terpanggil pun langsung mengalihkan pandangannya, ia tersenyum menatap anak gadisnya yang sedang didorong sang istri mendekat. Matanya menatap intens Ica, meneliti dari atas sampai bawah.

"Kamu kurusan!" Kedua orang tuanya mengucapkan hal yang sama pada malam ini, menilai bentuk tubuhnya yang lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu.

"Dia diet, Pi." Miranda mengadu pada suaminya, tapi matanya tetap mendelik kesal ke arah Ica.

Tono menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan anaknya itu. "Kamu udah kurus seperti itu, mau dikurusin supaya bagaimana lagi? Sisa tulang sama kulit?" sinis Tono.

"Enggak lah. Lagian, turunnya cuma enam kilo, doang."

"Enam kilo?" tanya Miranda berteriak.

Sedikit pun mereka tak habis pikir dengan Ica. Enam kilo dibilang cuma? Ya ampun, padahal gadis itu dulu hanya lima puluh kilo. Sekarang tinggal empat puluh empat lagi, bayangkan saja sekurus apa ia sekarang!

Bibir Ica mengerucut, padahal targetnya empat puluh kilo. Masih ada empat kilo yang harus ia perjuangkan. Katanya, sih, supaya ideal.

"Gak usah diet lagi, Papi gak suka. Awas kalau kamu makin kurus, ya!" ancam Tono.

"Papi gak asyik," gerutu Ica.

"Demi kesehatan kamu juga, Sayang. Kita gak mau kamu sakit, kamu juga gak gendutan, kok," balas Miranda.

"Iya," pasrah Ica.

"Good girl."

"Terus, mata kamu kenapa? Kamu nangis?"

Miranda langsung memutar posisinya, menghadap ke arah Ica. "Mami baru sadar, mata kamu sembab. Kenapa? Cerita sama Mami!"

Ica menggeleng, air matanya kembali turun. "Enggak, Ica gak apa-apa. Mami sama Papi gak usah khawatir," ucap Ica sambil terisak.

Tangannya meraba-raba mencari tangan Miranda dan Tono, keterbatasannya untuk melihat membuat rasa sesak menjadi bertambah.

"Cerita sama Mami, Sayang. Jangan dipendam sendiri, gak enak!" Miranda mengusap punggung tangan Ica, sesekali tangannya membersihkan air mata anaknya yang masih turun.

"Kapan Ica bisa melihat lagi?" cicit Ica sangat pelan.

Raga Miranda terhempas lemah, jantungnya serasa mau copot. Ternyata itu yang mengganggu pikiran anak tunggal mereka, sesuatu yang tidak dimilikinya secara sempurna karena kehilangan fungsi.

Begitu pula dengan Tono, rahangnya jatuh bebas. Bukan pertama kali mereka dihadapi dengan situasi seperti ini, beberapa bulan silam juga terjadi seperti ini.

Baik Tono maupun Miranda sudah mencari pendonor untuk Ica, disela-sela urusan bisnis mereka di luar negeri. Tapi tak satu pun yang mereka dapatkan, belum ada yang cocok untuk Ica.

"Sabar, ya, Sayang. Mami yakin suatu saat nanti kamu akan dapat pendonor buat mata kamu, kamu tunggu, ya," ucap Miranda. Wanita paruh baya itu juga ikut menitikkan air matanya, ia ikut sakit melihat anaknya yang sudah diambang keputus asaan.

"Papi akan selalu cari pendonor buat kamu, jangan putus asa! Kamu harus semangat, harus yakin kalau kamu pasti sembuh." Tono mengusap surai Ica dengan sayang, laki-laki itu bertumpu dengan lututnya.

Ica mengangguk pelan, hati kecilnya menyuruh untuk percaya. Berbanding terbalik dengan otaknya yang menyuruh berhenti, menganggap semua itu harapan-harapan palsu.

"Papi usahain kebahagiaan buat kamu, apa pun itu. Selalu, Sayang. Gak pernah sedikit pun Papi lupa untuk cari pendonor mata kamu. Bahkan, kalau Papi harus keliling dunia dulu, Papi sanggup."

Tono memeluk Ica dari samping, diikuti Miranda dari sisi lain. Perlahan isakan Ica terhenti, kala hangat menghampiri tubuhnya. "Terima kasih, Mami dan Papi. Ica bersyukur punya kalian," ucap Ica.

"Jangan berterima kasih, sudah kewajiban untuk kami membahagiakan kamu. Apalagi kamu anak kami satu-satunya, kebahagiaan kamu itu prioritas kami. Meskipun kami jarang di rumah, bukan berarti kami tidak sayang sama kamu." Miranda memberikan pengertian kepada Ica, pelukannya sedikit melonggar agar bisa melihat wajah Ica.

"Benar kata Mami, kami sangat sayang sama kamu. Gak ada sedikit pun waktu yang membuat kami melupakan kamu," sambung Tono.

"Ica percaya, kok, Ica juga sayang sama Mami dan Papi." Ica kembali merengkuh Miranda dan Tono, mencari kehangatan dari kedua orang tuanya.

"Sekarang kamu istirahat, udah malam. Ayo, Mami antar!" Miranda mendorong kursi roda Ica, membawanya ke dalam kamar gadis itu.

"Good night, Dear." Dikecupnya dahi Ica sedikit lama, mengobati rasa kerinduan yang sempat menderanya karena berjauhan.

"Night too, Mommy."

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang