Part 47

82 13 0
                                    

"Di sini, kita sama-sama berjuang. Bukan dengan egoisnya saling meninggalkan."
- Alfira Putri

Kama melangkahkan kakinya dengan tungkai yang sudah lemas, namun dia tetap memaksakan dirinya demi Kalila yang sedang berusaha bertahan hidup dalam ruangan operasi.

"Operasinya mungkin akan menghabiskan waktu sekitar 12 jam karena ada sebuah benturan hebat pada bagian kepalanya dan itu merusak beberapa bagian syarafnya."

Perkataan dokter yang bertanggung jawab atas Kalila kembali terngiang dalam benaknya.

Tangannya masih penuh lembab keunguan karena sejak bertengkar dengan Hoshi, Kama kembali menyalurkan emosinya pada tembok rooftop. Dompet yang Hoshi berikan padanya membuatnya tersenyum tipis. "Apa Hoshi pikir semuanya akan selesai dengan uang? Cih, pikirannya naif sekali."

Kama membuang dengan asal dompet kulit berwarna kecoklatan seperti warna batang pohon yang masih muda, dia buang ke sembarang tempat. Rahangnya yang kokoh mengeras dengan wajah merah padam menahan amarah.

Tanpa Kama tahu, Fira memerhatikan serta mendengar apa yang dilakukan Kama. Fira melangkahkan kakinya dengan mantap menuju Kama, tapi karena langkah lebar Kama membuat Fira kesulitan untuk mengejarnya. Jadilah Fira hanya membuntuti Kama dengan membawa dompet yang tadi Kama lemparkan ke sembarang arah.

Hingga mereka sampai di sebuah lorong yang dekat dengan ruang operasi Kalila, langkah Kama terhenti karena mendengar percakapan orang tuanya. Kama bersembunyi di balik pilar yang menjulang, menyembunyikan tubuhnya agar tidak terlihat oleh Yasa dan Dita.

Fira melakukan hal serupa, namun dengan jarak yang dekat dengan Kama. Keningnya semakin mengerut karena mendengar percakapan orang tua Kama yang membuat kepalanya pening.

"Mas... kita harus tetap memberitahukan ini pada semuanya!" Dita terus saja membujuk suaminya agar tidak bertindak diam lagi untuk urusan putri mereka.

Yasa mengusap wajahnya dengan kasar, menatap Dita dengan jengah. Selalu saja membahas yang awalnya sudah mereka sepakati sebelumnya. "Ini udah pernah dibahas dan kita sepakati. Jangan mengubahnya atau membuatnya semakin rumit." Yasa menyerah, kadang perasaan dan pemikiran Dita selalu labil, seperti saat ini.

Dita beringsut. "Tapi apa salahnya mencoba sih? Kama pasti mengerti dan Kalila pun pasti paham. Kita hanya perlu membuat mereka kembali mengingat masa lalu mereka secara perlahan aja, Mas...."

Yasa membuang pandangannya ke samping dengan tertawa sinis atas saran dari Dita. "Dengan bilang bahwa Kama anak angkat kita yang orang tuanya tidak sengaja kita tabrak dan bilang pada Kalila yang harusnya tahu bahwa dia punya saudari kembar tapi terpaksa harus terpisah karena Kalila pernah membuatnya meninggal? Jangan gila kamu, Dita! Mereka masih kecil dan gak akan paham!" tegas Yasa.

"Dan jangan pernah membuat semua ini semakin rumit! Kamu lihat kan, bahwa Kalila sedang berjuang di sana?" Yasa menunjuk pada ruang operasi yang sedang berlangsung. Tersisa waktu lima jam lagi dari waktu yang dijanjikan oleh dokter yang menangani Kalila.

"Tapi...," Dita hampir saja menyanggah ucapan suaminya, jika saja Yasa tidak menyela perkataannya.

"Sudah cukup! Kita waktu itu sudah setuju untuk menyembunyikan ini sampai waktu yang tidak tentukan bukan? Bahkan kalau bisa selamanya saja. Saya sudah pusing mengurus ini-itu. Biarkan saya istirahat dulu," ujar Yasa sambil mendudukkan dirinya pada sebuah kursi yang disediakan pihak rumah sakit di depan ruang operasi.

Penolakan tegas dari Yasa membuat Dita tidak berkutik. Dia tahu bahwa dia juga salah karena menyetujui hal tersebut di saat pikirannya sedang kalut dan tidak tenang, maka saat pikirannya telah santai, Yasa menolak pendapatnya.

"Jika kamu tetap tidak setuju dengan keputusan kita waktu dulu, kamu bisa menyimpan protesmu itu sampai besok. Sekarang saya benar-benar lelah," ujar Yasa lagi dengan mata yang sengaja dia pejamkan.

Pertengkaran dengan Nathan, rahasia yang selama ini tidak diketahui oleh siapapun, tapi diketahui oleh Nathan, proses menyuap suster untuk melakukan transfusi darah secara paksa terhadap Ica, dan keadaan Ica yang membuatnya semakin bersalah.

Pikirannya bercabang kemana-mana walaupun dia berusaha menatanya sedemikian rapi, tetap saja luka pada hatinya ternganga lebar. Dan semakin lebar saat melihat Ica yang pingsan usai mendonorkan darahnya secara paksa untuk Kalila.

Benar-benar bukan Ayah yang baik! Maki Yasa pada hatinya. Terselip rasa penyesalan juga bersalah yang teramat pada keluarganya.

Kama sudah membeku di tempat. Mendengar ucapan orang tuanya dengan sangat jelas membuat sebagian dalam dirinya berontak dan sebagian lainnya tidak bisa bergerak seperti yang dia inginkan. Tubuhnya seperti kaku dan sulit digerakkan.

Kama yang meninju pilar yang ukurannya lebih besar dari tubuh Kama membuat Fira terpegun. Matanya mengerjap, menatap Kama dengan iba. Walaupun Fira bukan dilahirkan di keluarga yang harmonis, tapi Fira harusnya bersyukur karena orang tuanya masih bisa hidup hingga sekarang.

Fira ingin membantu Kama karena dia tahu rasanya sakit saat ditinggalkan orang yang kita sayangi-seperti Fira yang kehilangan Neneknya-yang sudah Fira anggap sebagai malaikat penolongnya saat orang tuanya bertengkar.

Kama membalikan badannya, berusaha menahan emosinya agar tidak lepas kendali. Tapi dia cukup terperanjat saat mata tajamnya menangkap sosok Fira yang menatapnya kikuk, karena seperti terpegok melakukan tindakan kejahatan saja.

"Ah, Fira kayanya salah jalan deh, sorry Kama. Fira gak tahu ternyata malah datang ke sini, hehe..." Fira mengucapkan dengan gugup. Jelas sekali jika dia tidak berbakat dalam hal berbohong.

Kama masih menatapnya datar, Fira semakin mati kutu. Tidak bisa bergerak bebas karena mata Kama terus menatapnya dengan awas. Niatnya ingin mengembalikan dompet yang Kama lemparkan pun, tidak jadi.

Nyali Fira sudah menciut lebih dulu, dia sangat panik. Apalagi mengingat Kama yang membentaknya membuatnya semakin ngilu.

Fira menatap Kama takut-takut. Tapi mata kecilnya semakin melotot saat Kama berjalan ke arahnya.

"Ah, anu... Fira duluan ya, Kama," pamit Fira terburu-buru.

Fira hampir saja menjerit keras karena Kama menahan Fira yang akan pergi dengan memegang bahu Fira.

Fira memejamkan matanya karena takut saat dia membalikkan badannya, Kama akan kembali membentaknya. "Anu... maafin Fira. Fira cuma mau ngembaliin dompet punya Kama." Fira mengacungkan dompet yang dia bawa ke arah Kama yang Fira yakini ada di belakangnya.

Masih enggan untuk membuka matanya. Fira kembali berucap dengan gugupnya. Setelah Fira merasa Kama mengambil dompet yang Fira berikan tanpa mengucap sepatah katapun. "Maafin Fira yang udah nguping, tapi Fira janji gak akan kasih tahu siapa-siapa."

Fira berusaha menahan diri untuk tidak menangis saking takutnya. Dia membalikkan badan, memandang Kama yang masih memandanginya dengan tatapan yang membuat Fira semakin takut. "Janji deh, Fira akan tutup mulut dan akan berusaha melupakannya," ucap Fira dengan sungguh-sungguh.

"Ikut gue," titah Kama dengan suara bariton yang membuat bulu kuduk Fira menegang karena semakin takut Kama berbuat yang tidak-tidak. Apalagi matanya memandang Fira dengan tidak bersahabat.

Nyesel deh Fira niat bantu Kama kalau tahu akhirnya bakalan seperti ini, gerutu batin Fira.

Aidan yang berdiri tidak jauh dari Kama dan Fira mengernyit heran saat Kama berusaha membawa Fira padahal jelas-jelas dari matanya saja Fira terlihat ketakutan. Aidan mengejar Kama yang sudah jauh dari pandangannya. Dalam hatinya, Aidan sudah mengumpati sahabatnya itu jika melakukan tindakan bodoh. Apalagi jika berusaha menyakiti Fira.

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang