Part 32

47 9 0
                                    

Dia bukan hanya sekedar pendonor organ, dia manusia
~dr. Seo Wojin 

Rumah sakit memang identik dengan orang-orang yang kondisi kesehatannya menurun. Tidak sedikit banyak orang yang tidak menyukai bau dari rumah sakit ataupun alasannya karena paradigma bahwa rumah sakit adalah tempat yang horor, di mana setiap kesedihan tertampung di sini. Berita duka datang silih berganti, terdengar oleh keluarga pasien.

Satu hal yang luput dari pengamatan kita adalah rumah sakit juga tempat banyak orang menggantungkan harapan mereka, harapan akan nasib baik bagi keluarga pasien. Dokter memang bukan Tuhan yang vonisnya akan selalu menjadi patokan hidup matinya seseorang, tapi Dokter hanya menjalankan tugasnya—menyampaikan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Tapi semua itu, tergantung pada Kuasa-Nya.

Entah Tuhan menakdirkan yang mati—sekarat atau koma— menjadi hidup ataupun yang hidup menjadi mati. Kematian itu sudah ada yang mengaturnya, kita tak perlu cemas. Kita hanya menunggu panggilan-Nya saja. Tetap lakukan yang terbaik semasa hidup sebelum akhirnya kamu menyesalinya.

Miranda dan Tono berlarian menyusuri koridor rumah sakit yang terbilang tidak pernah berakhir dengan kata sepi, selalu ramai. Air mata yang keluar dari matanya, tak mampu Miranda bendung lagi. Hatinya merasa teriris dan sangat rapuh. Dia mencekal erat lengan suaminya, menjadikannya pegangan supaya dia kuat menghadapi ini.

Setelah sampai di Jakarta, mereka mendapatkan panggilan dari rumah sakit yang menyatakan bahwa ada pasien yang merupakan anggota keluarga mereka ditemukan oleh paramedis yang sedang bertugas di daerah sana. Mereka menemukan seorang wanita pingsan di sisi jalan dan dengan bantuan pria yang menemani wanita tersebut—pria yang mengatakan bahwa Miranda dan Tono adalah keluarnya.

Tono mengusap lengan istrinya dengan sayang. "Sudahlah, dia pasti baik-baik saja."

Kalimat penenang itu tidak mampu mengubah banyak. Miranda tetap menangis. Sangat kencang, sambil memeluk Tono dengan erat.

"Sakit, Mas. Saya sakit lihatnya." Isaknya membuat Tono harus berusaha untuk tidak meneteskan air matanya, bagaimana pun juga, dia harus kuat. Demi istrinya dan keluarganya.

"Hushh ... jangan nangis lagi, ya?" ucap Tono sambil mengelus punggung Miranda dengan lembut.

Seorang pria yang mengenakan sneli dan sebuah stetoskop yang melingkar di lehernya, keluar dari ruangan IGD dan mencari keberadaan keluarga yang di maksudkan saksi mata.

Saat matanya menangkap sosok Miranda dan Toni, dia menghampiri orang tersebut. "Apakah Anda keluar Nyonya Putri?" sapanya.

Miranda yang merasa terpanggil, menoleh pada dokter dengan mata sembabnya. "Ya, saya keluarganya," ucapnya dengan serak.

Dokter tersebut melihat kondisi Miranda yang sangat memprihatikan, dia ragu untuk mengatakannya. Tapi ini merupakan tugasnya dan juga amanah yang sangat tidak dia suka, saat dirinya harus mengatakan kemungkinan terburuk pada keluarga pasien.

"Pasien sekarang sedang koma setelah tiga puluh enam jam di bawa kemari. Melakukan tindakan operasi ... sangat tidak bisa dilakukan karena akan berakhir sia-sia," ucap dokter tersebut dengan hati-hati.

Mata Miranda yang sudah sembab, semakin sembab karena air matanya yang kembali keluar. "Ma–maksud, Dokter?"

Dokter tersebut menghela napasnya. Lalu kembali berujar, "Tidak ada pernapasan spontan atau reflek dari batang otak, sehingga ada masalah pada otaknya. Tapi kedua pupilnya sepenuhnya membesar. Maafkan saya, tidak dapat membantu banyak. Pasien terkena mati otak," paparnya.

Dokter itu pun berlalu meninggalkan Miranda yang terduduk lemas di lantai. Bagaimanapun juga, dulunya sebelum melahirkan, Miranda juga adalah seorang dokter umum yang berhenti bekerja karena memiliki kandungan yang lemah.

Tentu saja Miranda dapat mengerti yang dimaksudkan oleh dokter tersebut. Dia tidak menyangka bahwa dirinya akan mengalami kehilangan orang yang tersayang untuk kesekian kalinya.

Miranda yang dipapah oleh Tono menuju brankar tempat orang yang dia sayang sudah tidak lagi bisa bertahan hidup. Miranda menatap nanar ke arahnya, pada wanita yang berumur lebih tua darinya.

"Ibuuu ...." Isaknya semakin terdengar memilukan setelah dia berucap demikian. Tangisnya kembali pecah dengan bibir yang terus memanggil nama ibunya.

Pria yang ada di depannya, adalah satu keponakannya yang merawat Ibunya di Jakarta bersama Anin—adik kandung Miranda.

"Maaf, Tante. Ini ada kartu yang beliau titipkan kepada saya." Pria yang bernama Risyad itu menunjukkan dua kartu yang menandakan bahwa Ibunya sudah mendaftar diri sebagai pendonor organ.

Miranda sudah menangis meraung-raung, Tono turut mensejajarkan tubuhnya dan mendekap istrinya. Tangis Miranda terus berlanjut hingga di menit selanjutnya tangisnya terhenti.

Tono menguraikan pelukannya dan panik melihat Miranda yang pingsan. "Miranda!" Teriakannya membuat perawat yang ada di IGD segera memberikan pertolongan pertama pada Miranda.

•×•×•×•

"Jadi ada kemungkinan jika bagian mata beliau bisa didonorkan, kan, Dok?"

Dokter yang menangani mertua itu, kini bersandar pada kursinya. "Bisa saja, jika pasien punya kesamaan golongan darah dengan penerima donor."

Tono mendesah lega. Setidaknya di balik kesedihan yang menimpa keluarganya, Tono mendapatkan secercah harapan untuk kesembuhan putrinya. "Setahu saya, merasa satu golongan darah, Dok."

Dokter tersebut menganggukkan kepalanya dan kembali membaca berkas-berkas di atas meja dengan sekilas. "Silahkan bawa putri Anda kemari untuk kita cek kesamaannya."

"Baik, Dok. Terima kasih." Tono berdiri dari duduknya dan melenggang pergi.

Kakinya terhenti saat Tono sudah menutup pintu dokter, dia tersentak dengan istrinya yang menatap Tono dengan pandangan nanar.

_Perasaan macam apa ini?_ tanyanya pada hatinya.

Rasanya sesak sekali melihat Miranda yang menatapnya dengan pandangan yang membuat Tono merasa bersalah. Tono mencoba meraih lengan Miranda, namun Miranda lebih dulu memundurkan tubuhnya, menjauhi Tono.

"Kenapa kamu lakuin ini, Mas!" teriak Miranda. Sungguh, Tono merasa dirinya sangat bersalah.

"Tunggu ... biarkan saya menjelaskannya dulu," pinta Toni.

Miranda menatap Tono dengan sangsi. "APA!"

Tono mencoba untuk meraih lengan Miranda kembali, tapi dengan cepat ditepis kasar oleh Miranda. "Jangan sentuh saya! Cepat jelaskan saja!"

Tono menghembuskan napas dengan kasar. Dia mengusap tengkuknya sebelum berujar, "Ini kesempatan buat Ica, Sayang."

Miranda tetap menggeleng, merasa Tono sangat egois tidak meminta pendapatnya dulu. Dia baru saja kehilangan Ibunya. Wanita yang melahirkan dan merawatnya dan Tono ... ah, sudahlah. Miranda lebih ingin tahu mengenai penjelasan dari suaminya.

Tono kembali menjelaskan, "Kata Dokter, pasien mati otak, apalagi yang sudah terdaftar sebagai pendonor organ, salah satu organnya bisa di transplantasikan pada orang yang membutuhkan."

Mata Miranda yang masih berkaca-kaca itu, menatap Tono penuh harap. Ada sedikit harapan dibalik kalimat Tono. "Tapi Ibu baru aja, pergi. Mas," ujar Miranda dengan suara memelas.

Tono memegang bahu istrinya, matanya menatap balik mata Miranda yang sudah bengkak karena terlalu banyak menangis. "Tapi dengan cara ini, bisa buat anak kita sembuh, Sayang."

"Apa benar ... Ica bisa melihat kembali?"

*****

Note : Siapa yg nonton drakor Romantis Dokter 2, cung!

Pasti kalian akan tahu scene ini, kan?

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang