Part 7

146 18 1
                                    

Kebahagiaan itu datang ketika kita dapat mensyukuri apa yang kita miliki tanpa mengeluh tentang kekurangan diri.

•×•×•×•

Refan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, sesekali dia melirik arlojinya-menunjukan pukul sepuluh lebih lima belas menit-padahal dia baru saja sepertiga jalan setelah selesai membeli lampu di supermarket yang dekat di daerah perumahannya. Refan memacu kendaraannya menuju jalan raya yang sudah dia hapal bahwa setiap jam-jam seperti ini, pada malam-malam yang sunyi ini, masih ramai oleh lalu lalang kendaraan yang melintas. Sambil menunggu lampu traffic light berubah menjadi warna hijau, Sam kembali membetulkan hoodie abu-abunya dan menutup kepalanya dengan tudung hoodie, bibirnya tak hentinya melengkungkan senyum manis.

"Pasti menyenangkan," gumam Refan sambil membayangkan reaksi seseorang yang ada di benaknya.

Usai memarkirkan mobilnya di depan ruko yang berada tidak jauh dari rumah yang Sam tuju, kepalanya celingukan ke kanan-kiri untuk memastikan keadaan. "Aman."

Dengan langkah kaki yang ringan, Sam mulai memanjat tembok setinggi dua meter itu dan mendarat dengan mulus pada tanah yang banyak ditanami rumput teki. "Ternyata gak sia-sia waktu itu gue ikutan parkour," ungkap Refan dengan kekehan pelan.

Dengan tangan yang tersimpan di samping saku celananya, Refan mendongakkan kepala, melihat lampu di lantai dua masih menyala. Padahal jika dilihat-lihat, lampu di ruangan lain sudah padam, hanya menyisakan lampu di depan rumah dan di dekat pagar. Senyum Refan makin melengkung saat melihat siluet orang yang dia cari sedang berada di dekat balkon sambil melihat ke arah langit.

Karena adanya sebuah pohon yang berhadapan langsung dengan kamar yang Refan maksud, dengan penuh gesit Refan menaiki pohon dan melompat ke arah balkon setelah memberi tolakan pada ujung kakinya. Terdengar suara degum yang nampaknya membuat atensi seseorang yang berniat untuk menjelajahi alam mimpi, urung seketika saat matanya memicing kepada objek tubuh manusia yang sangat dia kenali.

Refan beberapa kali mengetuk-ngetuk pintu kaca dengan sedikit keras karena tidak mendapatkan respon dari orang yang dia tunggu, sementara rasa dingin terus menusuk tubuhnya yang hampir saja limbung, jika orang itu tidak memekik kaget dan membuat Refan harus mati-matian menahan rasa pening di kepalanya. Laki-laki tidak boleh terlihat lemah.

"Hai!" Sapaan Refab membuat Yuka yang mengenakan piyama membeku di tempatnya. Matanya mengerjap, untuk memastikan bahwa orang yang kini ada di depannya adalah Refano Samuel.

"Lo ... kok, bisa!" Yuka mengajak Refan untuk masuk ke kamarnya-tempat terlarang untuk dimasuki oleh lawan jenis selain pihak keluarga-Refan juga merupakan pengecualian di antaranya.

Refan hanya memamerkan deretan gigi putihnya yang rapih, tudung hoodie dia biarkan terbuka sehingga memperlihatkan rambut cepaknya. Yuka sempat mematung sesaat, hatinya berdesir kala jantungnya terus berdetak kencang, melebihi detak jantung pada umumnya. Bahkan, Yuka takut jika Refan dapat mendengar irama tidak karuan dari jantungnya.

Yuka duduk di pinggiran ranjang, sedangkan Refan menarik kursi di meja rias Yuka dan duduk, tepat di hadapan Yuka. Yuka kembali dibuat syok oleh tingkah Refan yang selalu saja berhasil membuat hatinya tidak karuan. "Jadi, ada masalah apa, sampai-sampai lo harus ganggu waktu tidur gue, yang berharga?" ucap Yuka dengan sarkas, padahal hatinya sudah ambyar saat melihat Refan yang berada di kamarnya pada pukul -Yuki melirik jam dinding-setengah sebelas- mereka sedang berduaan, apalagi di malam ini, banyak sekali pasangan muda yang sedang berkeliaran untuk ... Yuki menggelengkan kepalanya, menepis segala pemikiran aneh yang tiba-tiba membuat semburat merah pada pipinya.

Refan menggaruk tengkuknya, merasa bersalah karena menganggu waktu tidur sahabatnya, tapi saat ini Refan butuh sekali solusi. Refan mematut senyum tulusnya. "Boleh bicara sebentar?"

"Itu lo udah bicara?"

Jawaban yang tak acuh dari Yuka membuat Refan menghela napas. "Lo tahu kan, bagaimana keadaan Ica sekarang?" ucap Refan to the point.

Yuka berusaha menahan hatinya agar tidak merasa sesak saat pembahasan yang lagi-lagi membuat batinnya tersiksa, bahkan hanya sekadar mendengar namanya disebut oleh Refan, membuat air mata Yuka mendesak untuk dikeluarkan. Namun, Yuka menahannya dan mengontrol ekspresinya seperti biasa. Munafik memang, jika dia tidak merasa sakit hati sekarang.

Yuka hanya berdeham sebagai jawaban dan Refan melanjutkan maksudnya merecoki Yuka malam-malam begini. "Karena itu, gue punya ide buat beliin dia hadiah, karena dua minggu lagi dia ulang tahun!" Ucapan Refan terdengar bersemangat saat membahas hal yang menyakiti Yuka secara tidak langsung.

Dalam hati, Yuka terus mengerutuki hatinya yang terus mengagumkan Refan yang sudah jelas-jelas tidak dapat dia raih. Yuka tersenyum kecut.

"Ya, terus gimana?" Padahal masih dua minggu ini, lanjut Yuki dalam hati. Tentu saja dia mengerti maksud dari ucapan Refan, hanya saja dia ingin mengulur waktu Refan untuk berada di sampingnya lebih lama, sedikit saja. Dia boleh egois, kan?

Karena gemas dengan tingkah Yuka yang terlalu cuek, membuat Refan gemas dan mencubit pipi gempal Yuka. Yuka tertegun, saat seharusnya dia hanya diam dan menikmati setiap getaran yang timbul pada hatinya, justru tangan dan mulutnya mengkhianatinya.

"Lepas ih! Sakit tahu," ujar Yuka sambil menggerutu pelan.

Refan terkekeh melihat wajah kesal sahabatnya membuat dia sedikit terhibur. "Abisnya, lo itu terlalu cuek tahu." Jujur Refan saat Yuka mendelik padanya.

"Bodo amat, ya!"

"Gimana kalo kita kasih kado spesial ke Ica?" usul Refan. Namun, laki-laki itu juga menghembuskan napas secara kasar. "Tapi, gue gak tahu harus ngasih apa. Makanya gue ke sini, mau nanya ke lo. Siapa tahu lo punya solusi dari rasa galau gue?"

"Gimana ... kalo tongkat?" usul Yuka. Meskipun merasa tidak nyaman saat Refan menanyakan perihal Ica, namun perasaan sebagai seorang sahabat Ica, tidak membuat Yuka menjadi egois dan tidak memikirkan tentang kebahagiaan sahabatnya.

Refan manggut-manggut mengerti, pikirannya mulai menebak-nebak saat membayangkan Ica dengan tongkat yang dapat membantunya lebih leluasa untuk melakukan aktivitas. "Bagus juga, boleh tuh."

Yuka tersenyum samar saat melihat Refan yang terlihat lebih bahagia dari sebelumnya. "Jadi kapan belinya?"

"Kalo besok, gimana?"

Padahal tinggal dua mingguan lagi, tapi belinya besok?

Yuka tidak habis pikir dengan jalan pikiran Refan. "Baiklah." Memang apa yang dia ucapkan dalam hati, tak akan pernah sanggup dia utarakan secara gamblang.

"Oke, kalo gitu gue pamit dulu. Jangan lupa kunciin pintu balkon dan tutup gordennya!" Yuka hanya mengangguk pelan.

"Hati-hati!" ujar Yuka saat melihat Refan dengan lincah menuruni pohon. Dari bawah, Refan mengacungkan jempolnya tanda bahwa dia baik-baik saja dan melambaikan tangan kepada Yuka yang membalas lambaian tangannya sebagai salam perpisahan malam ini.

Yuka tersenyum simpul saat melihat Refan sudah menghilang dari jarak pandangnya. "Setidaknya gue masih beruntung bisa melihat lo yang selalu tersenyum, meskipun bukan gue yang menjadi alasan lo buat tersenyum."

Yuka menarik gordennya dengan keras dan membenamkan wajahnya pada tumpukan bantal. Yuka terisak saat seharusnya dia bahagia untuk kebahagiaan sahabatnya sendiri, mengapa sangat menyesakkan perasaan yang hadir ini?

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang