Part 29

48 10 0
                                    

Hal yang paling menyakitkan dari harapan adalah ketika kenyataan terburuk itu terjadi.
-Hoshi-

****

Ayam berkokok belum juga berbunyi, bahkan kegelapan malam masih menyelimuti langit malam yang anginnya bertiup pada celah jendela yang sengaja dibiarkan terbuka. Kantung matanya sudah terlihat sangat jelas, ponselnya masih berada dikepalan tangannya. Musik pengiring salah satu game online bersenjata pistol masih terdengar, dia biarkan pertanda game tersebut telah berakhir. Dia tidak pernah menyesal karena telah menghabiskan waktu tidurnya hanya untuk mencetak skor pada dunia game ini.

Senyumnya tak pernah lagi terlihat sejak malam kemarin, sejak dia tahu bahwa hari ini, hari terakhirnya untuk berharap pada Tuhan, bahwa orang yang dia kasihi tidak kembali menjadi milik orang. Walaupun dia tahu bahwa kenyataan memang selalu menyakitkan, oleh karena itu, saat dia mendengar suara pintu yang terbuka dari kamar sebelahnya-kamar kakaknya terdengar, dia tahu, bahwa kenyataan terburuknya akan segera terjadi.

Entah mempunyai keinginan seperti apa yang membuatnya menetapkan pilihan dengan menghubungi seseorang lewat ponselnya.

Satu kali panggilan dan panggilan tersebut langsung terhubung, Hoshi senang karena tidak perlu menunggu waktu lama untuk menghubungi Yuka, orang yang selalu beralaskan sibuk jika Hoshi hendak meneleponnya.

"Ngapain lo nelepon jam segini sih! Masih kepagian tahu buat recokin hidup gue!" gerutu Yuka yang tidak ada ramah-tamahnya. Hoshi yakin, jika bukan dia sebagai penelepon-paling tidak dari Refan-Yuka pasti akan berkelakuan manis, sekali pun harinya diganggu.

Karena tidak perlu basa-basi lagi, mengingat persiapan Refan yang sudah dilakukan dari sore kemarin, Hoshi langsung mengutarakan maksudnya. "Ka, satu jam lagi gue jemput. Siap-siap!" titahnya dengan nada tak terbantahkan. Dia yakin bahwa Yuka diseberang sana sedang membulatkan matanya hingga bibirnya mencebikan kesal.

"LO GILAAA? MASIH PAGI, SHIII!" Hoshi sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga, dia tetap harus menjaga aset kehidupannya dari suara teriakan Yuka.

Terdengar suara helaan napas pada telepon yang Hoshi yakini bahwa Yuka sudah bisa mengontrol emosinya. "Mau ngapain sih, lo ganggu gue, bahkan sebelum matahari bangun?" Suara serak khas orang yang baru bangun memenuhi indera pendengarannya.

"Cepet siap-siap dan gue tidak menerima penolakan!"

"Lo gila, ya, Shi?" pekik Yuka saking kesalnya.

Hoshi memutuskan panggilan tersebut sebelah pihak. Jika dipikir ulang, dia memang merasa sudah gila. Tapi rasa penasaran dan keinginan untuk dapat menjadi saksi bagi rencana Refan, kini memenuhi benaknya.

Hoshi mempersiapkan semuanya secara singkat. Bahkan saat sudah yakin bahwa Refan sudah keluar dari kediaman keluarga Samuel, Hoshi menghampiri Adira yang sibuk mengolesi beberapa lembar roti dengan selai coklat.

"Mau kemana kamu, Shi?" tanya Adira dengan mata memicing. Dia menatap anak bungsunya dengan tatapan mengintimidasi, membuat Hoshi salah tingkah. Dia mengusap tengkuknya, sebelah tangannya sudah menarik kursi dan mencomot roti yang sudah disiapkan Adira.

"Mau ke rumah Yuka," jawabnya enteng. Dia bahkan tidak mengindahkan tatapan mengintimidasi dari Adira.

Adira tak habis pikir dengan anak-anaknya yang kelewat bucin ini. Bahkan ayam berkokok pun masih belum berbunyi, tapi kedua anaknya berniat untuk mendatangi rumah dua gadis? Adira memijat pelipisnya, dia yakin ini semua karena Nathan yang sifat bucinnya menurun pada anak-anaknya. Adira harus memakluminya.

Maklum, semasa muda dulu, Adira memang jadi incaran banyak kaum adam. Seorang Nathan pun beruntung karena bisa mendapatkan Adira sebagai istrinya, kan?

"Yakin kamu mau ke rumah Yuka jam segini, Shi?" Adira duduk di depan Hoshi sambil menemani anaknya untuk sarapan dengan roti.

Hoshi menganggukkan kepalanya. "Yakin, Ma. Hoshi juga udah ijin sama Yuka."

"Emang Yuka beneran ngijinin kamu datang jam segini?" Pasalnya, Adira tahu bahwa gadis yang bernama Yuka itu adalah tipikal orang yang hidupnya tidak mau direpotkan oleh orang lain.

Dari mana Adira tahu hal itu? Adira sempat melihatnya sendiri. Saat Yuka mengomeli putra bungsunya-Adira bahkan merasa terharu saat Hoshi manut pada Yuka tempo lalu.

Setidaknya beban yang harus dia tanggung karena kenakalan Hoshi dapat berkurang, bukan?

"Ya sudahlah, terserah kamu," pasrah Adira yang membuat cengiran pada wajah Hoshi terlihat. Hoshi menyalimi Adira dan mengecup pipi kanan Mamahnya tersebut. "Doakan biar tidak ada yang terluka ya, Ma," pinta Hoshi lalu melenggang pergi, tanpa menggubris teriakan Adira atas kalimat ambigunya.

•×•×•×•

Sejak kedatangan Hoshi yang sialnya Yuka sudah siap lahir-batin untuk menceramahi Hoshi habis-habisan, harus terpaksa Yuka telan bulat-bulat amarahnya karena perkataan Hoshi yang membuat Yuka membeku di tempat.

"Refan sekarang lagi sama Ica, gue yakin itu." Tanpa pikir panjang, Yuka mengiyakan ajakan Hoshi untuk membuntuti mobil Refan yang kini sudah terparkir di salah satu pantai. Masih terlalu pagi dan angin sejuk pun membuat tubuh Yuka yang berbalut kemeja yang tangannya dia lipat hingga ke siku, menggigil kedinginan.

"Eh ...." pekik Yuka saat sebuah hoodie berwarna abu-abu yang bagian lengannya dililitkan di sekitar lehernya. Yuka menoleh pada Hoshi.

"Lain kali lo harus bawa hal sepele kaya gini," sarannya.

Yuka memakai hoodie dari Hoshi tanpa perasaan canggung sedikitpun. Dia mendelik pada Hoshi. "Suka-suka gue lah, ribet tahu."

Hoshi hanya geleng-geleng kepala, kembali menjadi seperti pemandu perjalanan yang diam-diam membuntuti Refan-memasuki sebuah gubuk yang berada di sisi pantai.

Dari jarak sedekat ini, hanya terhalang oleh pohon kelapa, Hoshi dan Yuka bisa mendengar percakapan Refan dan Ica. Jantung mereka seakan ikut bergemuruh saat mendengarkan percakapan Refan dan Ica.

Yuka dapat mendengar bahwa Refan menggumamkan kalimat. "Ca, will you be my girlfriend?" Seketika Yuka merasa dirinya lupa untuk bernapas, terlebih saat dirinya mendengar jawaban Ica.

"I-iya, Ica mau jadi pacar Refan."

Hoshi yang notabenya laki-laki dengan kadar peka yang lebih baik daripada kakaknya, dapat mengerti suasana hati Yuka, sebab dirinya pun merasakan hal yang sama. Hoshi memegang bahu Yuka, mata Yuka masih memandang lurus ke depan.

"Yuka," panggilnya.

Yuka menolehkan kepalanya pada Hoshi. Wajahnya menandakan bahwa dirinya bingung, pandangannya tetap kosong walaupun membalas menatap Hoshi. "Apa?"

Hoshi menghela napasnya, entah benar atau tidak, niatnya membawa dirinya bersama Yuka ke sini. Di satu sisi, dengan begini Hoshi maupun Yuka dapat berhenti berharap pada harapan semu yang selalu mereka rasakan. Walaupun sakit, setidaknya lebih baik merasakan sakit sekarang daripada tetap berharap, bukan? Di sisi lainnya, dia tahu, dengan begini bukan hanya hatinya saja yang merasa patah, tapi hati Yuka juga.

"Pulang, yuk?" ajak Hoshi. Yuka menggelengkan kepalanya lemah. Hoshi menatap Yuka heran. "Kenapa?" tanyanya lagi.

Yuka mematut senyuman yang dapat Hoshi simpulkan sebagai senyum getir. "Gak apa-apa, Shi. Udah di sini aja."

"Baiklah, tapi jangan nyesel nantinya ya!"

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang