Part 23

58 10 5
                                    

"Mengikhlaskan adalah ketika kamu tidak menuntut sebuah balasan. Entah perihal perlakuanmu atau perasaanmu."
—Hoshi

Kabar baik akhirnya datang bagi orang yang senantiasa memohon pada-Nya. Tidak ada satupun doa yang tidak di dengar oleh Sang Pencipta. Maka, ketika kabar baik itu datang, Hoshi mengucapkan rasa syukur pada Sang Kholik atas kebesaran-Nya.

Hoshi memeluk singkat Adira yang matanya masih sembab walaupun sudah tidak ada jejak air mata pada kelopak matanya. Mata sayu yang terdapat lingkaran di bawah kelopak matanya menandakan bahwa wanita paruh baya itu pasti kesulitan dalam tidurnya.

"Tapi Sam belum bangun-bangun juga, Shi," lirih Adira. Matanya tak lepas dari Refan yang masih tenang dengan tidur panjangnya.

Hoshi memegang bahu Adira, matanya bertuju pada mata Adira yang sudah kuyu. "Tenang, Mah. Abang pasti kuat," ungkap Hoshi meyakinkan.

"Semoga saja. Mamah gak bisa maafin diri sendiri kalau sampai Sam kenapa-napa."

Nathan melihat keluarga yang berduka dalam diam. Hatinya sebenarnya selempangan tak tentu arah. Dia membuang napas dalam satu tarikan keras, menandakan bahwa batinnya sedang bergejolak. "Lekas sembuh, Nak," ucapnya membatin.

Setelah dinyatakan bahwa kondisi sudah membaik dan sudah melewati masa kritisnya, kini tinggal menunggu Refan siuman. Tapi masalahnya adalah keterlibatan batin Refan yang menghambat jiwanya untuk kembali dalam raganya, hingga setelah menunggu lama, Refan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan siuman. Tidak sampai kedatangan Ica bersama dua orang yang membantu Ica untuk sampai di rumah sakit.

Hoshi menengok ke arah Fira dan Aidan yang masih saja beradu mulut, padahal di sini sangat diharuskan untuk para pengunjung agar tetap tenang, supaya tidak mengganggu kenyamanan pasien.

"Kalian bisa diem gak?" geram Hoshi dan membimbing Ica agar sampai ke ranjang Refan.

"Lo sih, nyebelinnn!" omel Aidan karena kesal.

Fira hanya mengabaikan ucapan Aidan, lalu menyalami orang tua Hoshi yang memandang Fira dengan pandangan menilai. "Halo, Tante," sapa Fira yang di sambut hangat oleh Adira.

Kini gantian Fira yang menyapa Nathan–pria yang hampir berkepala empat–dengan sedikit kumis tipis dengan mata setajam elang yang menyorot kepadanya menambah kesan dingin sehingga Fira jadi kikuk sekaligus segan untuk menyapanya duluan.

"Halo, Om, Tante. Saya Aidan dan ini Fira. Kami teman Refan," ujar Aidan memperkenalkan diri. Fira mendesah lega.

Dengan sebuah anggukan, Fira membenarkan ucapan Aidan. Tante Adira tersenyum kepada mereka. "Syukurlah kalo Sam punya banyak teman," ujarnya.

Kening Fira membentuk gelombang, kurang mengerti siapa yang dimaksud oleh Tante Adira. Bukannya mereka sedang bahas Refan, kan?

"Maaf, Tante. Anak Tante ada yang kecelakaan lagi?" tanya Fira dengan polos.

Hoshi yang mendengar ucapan Fira menyanggah, "Amit-amit, Fir. Lo kalo ngomong jangan gitu dong!" tegur Hoshi.

"Lho? Emang Fira salah bicara ya? Bukannya tadi Tante Adira bilang sendiri lho anaknya yang namanya Sam," bela Fira.

Nathan yang dari tadi diam, kini ikut menyahut, "Refano Samuel, Sam. Dia anak saya," jelas Nathan dengan suara bariton yang menggema di ruangan VIP.

Fira kembali kikuk. "Ah, iya. Sori, Om."

Aidan sudah menahan diri untuk tidak tertawa saat Adira dan Nathan berpamitan akan pergi ke kafetaria di lantai dasar rumah sakit. Sebelum pergi, Nathan sempat-sempatnya membuat Fira mati kutu. "Anak saya baik-baik saja, jangan mengacau," ucapnya menasehati.

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang