Terkadang menjadi orang lain lebih rumit dari yang diperkirakan, jadilah diri sendiri dan jangan berubah menjadi orang lain hanya karena ingin membahagiakan dia yang kamu sayangi.
****
Mata pelajaran matematika seringkali menjadi hal yang menyeramkan bagi setiap anak di sekolah. Baik pada tingkatan berapa pun, sekalinya tidak suka, maka akan terus tidak suka. Namun hal itu juga tidak berlaku bagi sebagian orang yang sejak dulu menganggap bahwa matematika adalah suatu tantangan yang menyenangkan dan harus diselesaikan.
Refan dan Yuka merupakan teman sebangku di kelas 11 MIA 1 dan Ica bersama Mita dan Fira berada di kelas 11 MIA 2. Meskipun berbeda kelas, keakraban mereka masih terjalin. Refan juga tidak keberatan bila harus mempunyai banyak sahabat perempuan, bukan berarti dia laki-laki yang lemah gemulai, namun kecintaannya pada satu orang wanita membuat Refan menerima dunia wanita tersebut sebagai bagian dari dunianya.
Refan juga tetap memiliki sahabat laki-laki. Meskipun tidak banyak, hanya Aidan dan Kama yang memang benar-benar menjadi sahabatnya. Selebihnya, hanya kenalan yang terkadang dekat.
"Lo mau sampai kapan nyembunyiin hal ini dari Ica, Ref?" tanya Yuka saat pelajaran matematika, telah selesai.
Refan menghela nafas gusar. "Gue juga gak tahu, Ka." Refan dan Yuka memang terbiasa berbicara lo-gue jika tidak ada Ica. Karena sejak bertemu dengan gadis itu, baik Refan maupun Yuka selalu menjaganya. Terutama dalam hal pembicaraan, mereka ingin Ica nyaman saat berada di sekitar mereka.
Yuka paham dengan kegamangan Refan, tapi tak bisa dipungkiri bahwa gelegar aneh itu terus saja mengusiknya, mengacak-acak perasaannya.
Kama yang duduk di belakang Refan dan Yuka, bersama Aidan. Menginjak kaki Aidan yang masih terfokus pada game nya. "Apaan sih!" sewot Aidan yang hampir saja kalah karena gangguan kecil dari Kama.
Kama mendenggus. Dia sengaja menyenggol lengan Aidan, membuat ponsel Aidan jadi tidak seimbang dan hampir saja menyentuh lantai jika Aidan tidak sigap menangkapnya. "Lo—" protes Aidan terpotong karena Kama lebih dulu menunjukkan–dengan dagunya–sebuah objek yang sering membuat keduanya gemas.
Laki-laki yang tidak peka dengan perempuan yang memiliki gengsi selangit.
"Mereka emang belum berubah, ya? Padahal ini udah hampir tahun kedua kita sekolah," ucap Kama.
Aidan berbisik. "Bahkan gue gak terlalu percaya kalo mereka cuma sebatas sahabat."
Kama mengangguk-angguk. "Gue heran sih, kenapa Refan malah milih Clarissa dari pada Yuka. Padahal dilihat dari mana pun, Yuka lebih baik dari gadis itu. Ya ... walau gue akui gadis itu emang punya paras yang oke, tapi ...."
Aidan menyela, memotong pembicaraan Kama. Mengutarakan kalimat sanggahan atas perkataan Kama sebelumnya. "Tapi menurut gue, siapa pun orangnya, asalkan Refan bahagia, gue setuju-setuju aja sih." Aidan menjeda kalimatnya, tersenyum tipis melihat Refan yang sedang tertawa bersama Yuka. "Dia udah banyak nanggung banyak beban, dia pantas buat bahagia."
"Terserah lo aja deh." Kama menyerah jika Aidan sudah mulai dengan kata-kata bijaknya, dia kembali sibuk dengan buku catatannya. Entah perasaan apa yang dia miliki untuk gadis tuna netra yang membuat Refan lebih memilih dirinya dari pada Yuka, ada perasaan tidak suka dalam hatinya.
•×•×•×•
Seperti biasanya, saat pulang sekolah Ica akan menunggu jemputannya di depan pos satpam bersama Mita dan Fira yang menemaninya. Menunggu Pak Hasyim–supir pribadinya-, menjemputnya.
Refan yang ingin menghampiri Ica terhalang oleh Yuka yang memberikan sebuah tanda ingin berbicara empat mata dengannya. Yuka juga memberi isyarat pada Mita dan Fira yang hampir saja akan menyapa kehadiran Refan dan Yuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...