"Mau ke mana kamu?" Teriakan dari Adira menghentikan langkah Refan, lalu ia menghampiri mamanya yang tadi sedang menyiapkan sarapan ini.
"Refan mau ke rumah Ica, Ma." Tangan Refan mencomot roti yang sudah ia lapisi cokelat, menguyahnya sambil menuangkan susu ke cangkir.
"Kamu baru pulang dari rumah sakit, loh! Seharusnya itu kamu istirahat, main pergi aja. Lagian kamu aneh-aneh aja sih," omel Adira.
"Aneh kenapa?" tanya Refan heran. Ia meneliti penampilan dari atas hingga bawah, rasanya tidak ada yang salah. Pakaian yang digunakannya sama seperti biasa, masih tetap sopan.
Adira menggeleng heran, dulu kelakuannya semasa muda tidak seperti ini dan begitu pula dengan Nathan. Lalu, turunan dari siapa sifat Refan yang seperti ini? Sangat bucin.
"Masa mau ngapel anak orang pagi begini? Matahari aja belum muncul. Sadar dong, Refan. Tuh, lihat jamnya! Masih jam empat pagi, yang benar aja kamu?"
"Gak apa-apa, Ica aja gak keberatan," balas Refan.
Mata Adira memincing, ia menatap Refan dengan tajam. "Memangnya kamu sudah bilang sama Ica, kalau kamu mau ke rumah dia?" tanya Adira.
Kepala Refan menggeleng pelan. "Enggak, tapi Ica pasti gak akan marah," jawab Refan.
"Terserah kamu!" Adira sudah malas untuk meladeni Refan pagi ini, tenaganya harus tersimpan untuk adik laki-laki itu.
"Pergi dulu, Ma. Bye," pamit Refan.
"Hati-hati, Refan!" teriak Adira yang dibalas acungan jempol dari Refan, laki-laki itu terus melangkah tanpa berbalik badan.
***
Warna kalem sangat memanjakkan mata ketika masuk ke kamar milik gadis yang sedang bergelut dalam selimutnya, ia sama sekali tidak menyadari ada orang lain yang masuk.
Deringan alarm yang berada di atas nakas membuat Ica terpaksa membuka matanya, walaupun sebenarnya sama saja yang terjadi. Hanya kegelapan yang menyambut, tak pernah ada warna lain.
"Selamat pagi, Dunia," ucap Ica lirih.
"Selamat pagi juga, Tuan putri."
Menyadari ada sosok lain yang berada di kamarnya, Ica mendadak panik. "Kamu siapa?" tanya gadis itu, ia mulai menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang.
"Masa kamu gak kenal sama suara aku?" Refan mulai menggoda Ica, wajah bangun tidur khas milik gadis itu membuatnya gemas bukan main.
Gadis yang memakai baju piama itu mulai berpikir, suaranya memang agak tidak asing. "Refan? Tapi, gak mungkin. Refan 'kan masih harus istirahat setelah pulang dari rumah sakit," balas Ica.
"Apanya yang gak mungkin, Ca? Buktinya aku di sini sekarang," ucap Refan.
"Jadi benaran Refan?" tanya Ica antusias.
Refan menganggukkan kepala, meski ia sadar jika Ica tidak akan melihat aksinya itu. "Iya, Ica."
Tangan Ica merentang, tanda ingin dipeluk. Dengan senang hati Refan meladeninya, ia membalas pelukan Ica dengan erat. "Lain kali kalau nyetir harus lebih hati-hati, Refan. Jangan sampai terulang lagi, Ica khawatir banget!" nasihat Ica.
"Nanti Refan lebih hati-hati lagi, tapi jangan nangis dong!" Meski tidak melihat wajah Ica, Refan sadar jika gadis itu menangis. Baju bagian depannya perlahan mulai basah, begitu pula dengan isakan yang mulai terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...