Dua hari berlalu cukup cepat, kini Ica telah diperbolehkan pulang ke rumah karena sudah memenuhi standar sembuh dari dokter yang mengobatinya.
Sebenarnya, Ica sangat merasa bersalah. Gara-gara dirinya sakit dan dirawat, mami dan papinya harus izin tidak bekerja selama tiga hari. Bahkan, awalnya ingin izin seminggu. Namun karena Ica merasa tidak enak, ia menyuruh kedua orang tuanya bekerja saja. Lagi pula, Ica sudah merasa lebih baik dari sebelumnya.
"Kamu yakin gak apa-apa mami dan papi tinggal?" tanya Miranda memastikan. Wajahnya sarat akan kekhawatiran, sangat tidak tega rasanya meninggalkan putri semata wayangnya yang baru saja sembuh.
"Gak apa-apa, Mi. Kan, Ica di rumah sama Mbok Yuni." Ica tersenyum tulus, berusaha memastikan kedua orangtuanya kalau ia baik-baik saja.
Miranda menghela napas berat. "Ya sudah, kalau itu yang kamu mau. Jaga diri, ya! Jangan sekolah dulu sampe kamu bener-bener sembuh, oke?" seru Tono memberi syarat.
What? Gak boleh sekolah? Huft, bakal bosen banget, nih. batin Ica.
"Ca? Jangan melamun gitu!" tegur Tono kala melihat anaknya melamun tidak menjawab pertanyaannya.
"E-eh, iya, Pi. Ica sekolah kalau sudah benar-benar sembuh," ujar Ica menyetujui.
Tono merapikan dasi yang ia kenakan dan menjinjing tas koper berwarna hitam miliknya, seraya tersenyum ke arah Ica. "Kalau gitu Papi sama Mami berangkat dulu, ya?"
Miranda kembali setelah berkaca dan mengambil tas miliknya. Ia segera memeluk Ica cukup erat, kemudian mengecup keningnya hangat. "Janji sama Mami, jangan buat Mami dan Papi khawatir lagi, ya! Jaga diri baik-baik."
"Iya, Mi. Ica janji." Jari Ica terangkat membentuk huruf V. Setelah itu Tono mengacak rambut Ica gemas, kemudian beranjak pergi meninggalkan Ica seorang diri.
Beberapa menit sepeninggalan mami dan papinya, Ica mulai merasa bosan. "Huft, Ica sendirian lagi," ujar Ica yang kini tengah berada di posisi telentang menatap langit-langit kamar.
Karena suhu kamar yang mendukung, dan efek lelah yang Ica rasakan, perlahan ia memejamkan kedua netranya.
Kala itu, roda pada kursi yang ia gunakan tersangkut sesuatu, yang membuatnya tidak berjalan. Saat sedang berusaha menjalankannya, dari arah kiri melaju truk cukup kencang, dan mengerem serta memberi klakson begitu sudah dekat dengan posisi kursi roda Ica.
TINNN!! CIITTT...
Ica yang tidak sempat menghindar hanya berteriak dan menutup kedua matanya dengan kedua tangan.
BRUK!
Suara orang yang tertabrak begitu terdengar dan terngiang di kepalanya. Anehnya, saat suara itu terdengar, kursi roda yang ia kenakan seperti didorong maju, sehingga saat Ica memeluk dan meraba tubuhnya, ia tahu kalau dirinya baik-baik saja. Hanya saja, kini posisinya ia tengah terselungkup mencium jalanan. Rasa sakit pada kakinya turut ia rasakan.
"Aaaa!" teriak Ica begitu terbangun dari tidur singkatnya. "Mimpi itu lagi."
Ica bangun dari posisi tidurnya menjadi posisi duduk. Ia memikirkan suatu hal. Siapa yang sudah menyelamatkan Ica?
Satu hal yang hingga kini masih menjadi pertanyaan. Siapa orang itu? Ica tentu harus berterima kasih padanya, karena telah menyelamatkan hidup Ica. Ya, Ica tentu berutang budi padanya.
"Eh? Ada suara panggilan." Ica segera meraba kasurnya dan akhirnya menemukan handphone miliknya di dekat bantal tidur. Karena Ica tidak bisa melihat siapa pemanggil tersebut, Ica segera memencet bel yang kini tergantung di lengan kirinya.
Tidak lama kemudian datanglah Mbok Yuni. Ica meminta tolong angkat panggilan itu dan memberi tahu nama pemanggil yang tertera.
"Ini, Non. Sudah saya angkat, sepertinya dari teman Non Ica, namanya Yuka," jelas Mbok Yuni lalu memberikan handphone itu kembali pada Ica.
"Makasih, Mbok." Senyum Ica mengembang tulus.
"Sama-sama, Non. Ada yang harus saya bantu lagi?" tanya Mbok Yuni memastikan. "Soalnya saya harus lanjut mencuci pakaian di bawah, Non."
"Untuk saat ini nggak ada, Mbok. Mbok Yuni ke bawah aja dulu. Kalau ada apa-apa, nanti Ica pencet lagi belnya." Mbok Yuni mengangguk dan segera pamit ke bawah.
Ica segera menjawab panggilan tersebut. Di seberang sana, sang penelepon–Yuka sepertinya sudah bertanya-tanya heran.
"Halo? Ca? Ada Icanya gak Tante?"
"Iya, ini dengan Ica. Ada apa, Yuka?"
"Huft, kukira bukan kamu yang angkat. Apa kabar, Ca?"
"Hehe, ini Ica, kok. Udah mendingan."
"Yuka turut seneng. Rencananya Yuka mau jenguk Ica ke rumah sakit, nih. Bareng Fira dan Mita."
"Eh? Gak usah, Ka. Ica udah di rumah. Kalau mau, ke rumah Ica aja. Ica sendirian, nih."
"Oh, begitu. Udah rawat jalan, ya? Oke deh, kita on the way, ya!"
"Iya, hati-hati."
Ica pun mengakhiri panggilan itu. Menaruh handphone-nya pada tempat semula dan menunggu kehadiran ketiga sahabatnya datang.
Dua puluh menit berlalu cepat. Kini Ica tengah terduduk di kursi roda baru miliknya–karena yang lama sudah rusak akibat kecelakaan. Ica tengah menikmati angin segar yang terus berhembus. Meratapi nasibnya sebagai seorang tuna netra. Sangat menyedihkan.
Ica menoleh ke sumber suara. "Siapa?"
Pintu kamar Ica terbuka, menampakkan sosok Mbok Yuni dengan ketiga sahabat Icha. "Non Ica, ada temennya, nih. Mau jenguk Non katanya."
"Oh, iya. Masuk aja, Ka, Fir, Mit."
"Mbok tinggal ya, Non. Kalau ada apa-apa pencet bel aja," pamit Mbok Yuni.
"Iya, Mbok."
"Ica!" teriak salah satu sahabat Ica–Mita-langsung memeluk dirinya dengan erat.
Ica terkejut. "I–iya. Ini Mita, ya? Aduh, Ica kaget, tahu!"
"Hahaha, bener! Maaf, ya, kalau Mita terlalu berlebihan," ujar Mita lalu melepas pelukannya dengan Ica.
"Biasa, Ca. Dia bakal jadi orang gila kalau udah ketemu sama kamu!" timbrung Yuka disusul gelegar tawa Fira.
"Ih, jahat!" sebal Mita pada Yuka, seraya mengerucutkan bibirnya dan membuang muka ke arah berlawanan.
"Hahaha. Sudah, sudah. Jangan berantem!" lerai Ica diselingi gelakan tawa.
Yuka duduk dengan santai di tempat tidur milik Ica, sedangkan Fira masih membujuk Mita agar tidak ngambek lagi. Huh, seperti anak kecil saja Mita ini.
Tiba-tiba Ica teringat sesuatu. Sesuatu yang harus ia tanyakan, selagi ketiga sahabatnya ada di sini. "Oh iya, Ka. Ica teringat sesuatu!"
Yuka yang merasa terpanggil segera menoleh ke arah Ica. Begitupun dengan Mita dan Fira yang turut penasaran. "Ingat apa?"
"Sebenarnya ...." Ica menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Tiga pasang mata kini tengah menatapnya penasaran. Menanti pertanyaan yang akan keluar dari mulut Ica dengan seksama.
"Ada apa, Ca?" tanya Fira turut penasaran, terutama saat Ica menghentikan pertanyaannya.
Mita turut menimbrung dan memberikan dukungan pada Ica kala melihat raut wajah Ica berubah menjadi tidak percaya diri. "Tanyakan aja, Ca. Gak apa-apa."
"Itu ...," Ica meneguk salivanya. "sebenarnya siapa yang sudah menolong Ica saat insiden kecelakaan beberapa hari yang lalu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...