Langkah kaki Hoshi melemah ketika sudah menjauh dari rumah Ica, laki-laki itu memutuskan singgah di taman terlebih dahulu untuk menumpahkan air mata yang dikandungnya. Beruntung keadaan taman sepi, mungkin karena ini siang hari.
Hati laki-laki itu ikut teriris melihat Ica yang meraung memanggil nama Refan, apalagi tadi gadis itu sempat ingin melukai dirinya sendiri. Hoshi ingin gadis itu memanggil namanya, ia ingin gadis menjadi miliknya!
Meskipun terkesan egois, Hoshi tetap harus melakukan hal ini. Surat itu ... bukan hasil tulis tangan Refan, rangkaian kata yang berhasil tersusun adalah karya tangannya.
Entah kenapa Hoshi tiba-tiba berpikir untuk menjauhkan Ica dari Refan melalui surat itu, ia menggunakan keahliannya yang bisa mencontoh tulisan orang lain.
"Apa gue salah? Tapi gue mau buat lo bahagia, Ca! Bahagia lo hanya bisa datang dari gue. Dia nggak akan bisa, umur dia gak lama lagi di dunia ini!" ucap laki-laki itu lirih.
"Hubungan kalian akan berakhir menyakitkan jika dilanjutkan, dan gue nggak mau lo semakin terluka! Lebih baik lo terluka sekarang dari pada nanti, karena gue siap untuk mengobati luka yang timbul akibat hubungan kalian itu," sambung Hoshi.
Hoshi melangkahkan kakinya menuju danau yang tak jauh dari taman, ia terduduk lemas di tepian. Tangannya mengambil batu yang berserakan, lalu melempar sekuat tenang ke danau.
Laki-laki itu ingin melampiaskan semuanya, sudah cukup ia menderita selama ini ketika melihat Revan dan Ica bersama. Kali ini, tidak akan ia biarkan mereka bersatu lagi.
"Biarin gue egois, Kak. Udah cukup lo ambil semua yang gue pengen, sekarang waktunya lo yang ngalah. Perhatian orang tua kita selalu ke elo, itu sebabnya gue selalu cari gara-gara."
Hoshi memandang miris dirinya, pikirannya melayang pada kenakalan-kenakalan yang ia lakukan selama ini. "Gue juga mau diperhatiin sama mereka, gak selalu elo aja. Lo punya sahabat-sahabat yang tulus, sedangkan gue? Mereka cuma mau tenar aja. Sekarang, lo mau ambil Ica juga? Nggak, gue gak mau."
"Ica itu cuma punya gue, dia milik gue. Orang berpenyakitan kayak lo itu gak pantes buat Ica, lo itu bisanya ngerepotin orang aja!" ucap Hoshi seakan Refan berada di dekatnya.
°▪°▪°▪°▪°
Mungkin karena kelelahan menangis, Ica jatuh tertidur. Wajah gadis itu berantakan, matanya terlihat sembab, belum lagi dengan rambut yang sudah seperti singa.
Melihat itu, Fira meringis pelan. Gadis itu melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil es batu dan sendok. Selama menuju kamar Ica, ia merendam sendok di antara es batu yang sudah ia hancurkan tadi.
Biasanya Fira menempelkan sendok yang diremdam itu ke mata setelah selesai menangis, hasilnya pun memuaskan dan tidak ada orang yang mencurigainya.
"Gimana keadaan Ica?" tanya seorang laki-laki yang menyamai langkah kakinya dengan Fira ketika di tangga menuju kamar Ica.
"Aidan!" pekik Fira, hampir saja ia menjatuhkan wadah yang dipegangnya karena kaget.
Pelaku hanya terkekeh pelan, lalu mengambil alih wadah itu. "Ayo ke atas!" ajak Aidan.
Sesampainya di kamar Ica, Fira langsung mengerjakan tugasnya. Entahlah, padahal sendok itu dingin sekali tapi Ica seakan tidak sadar dari tidurnya.
Aidan hanya diam memperhatikan Fira dan Ica, ia meringis pelan saat menyadari hal ini terjadi karena ulah sahabatnya. Tentu saja laki-laki itu ikut merasa sedih, padahal baru saja ia turut bahagia ketika mendengar kabar dua sejoli itu menjalin hubungan lebih dari teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...