Part 4

294 30 1
                                    

Indurasmi malam ini terlihat sangat indah nan baswara, begitu pun dengan suasana hatinya. Sayangnya, Ica tengah diberi ujian pada kedua netranya, sehingga tidak dapat melihat keindahan langit pada malam ini seutuhnya.

"Dapat menikmatinya saja Ica sudah bersyukur," ujar Ica tulus. Senyum nan manis mulai terpatri di sana.

"Kapan, ya, Ica bisa melihat lagi?"

Suara pintu yang dikentuk mengalihkan perhatiannya. Ica refleks menoleh ke sumber suara. "Masuk!"

"Non Ica, udah makan malam, belum? Makan, yuk, Non!" Mbok Yuni memasuki kamar Ica, bertanya sekaligus mengajak Ica untuk makan malam.

Sepengetahuannya, Ica belum makan malam, sedangkan Mami dan Papinya selalu menyuruh Mbok Yuni untuk memantau perkembangan makan Ica dengan teratur.

"Gak mau. Ica gak lapar."

"Tapi––"

"Sudah, Mbok. Masalah Mami dan Papi biar jadi urusan Ica. Mbok gak usah khawatir!" potong Ica. Ia malas mendengar alasan klise ala Mbok Yuni. Ica tahu kalau ia sedang mengurangi porsi makan untuk membuat berat badannya turun menjadi ideal.

"Baiklah kalau begitu maunya Non Ica," ujar Mbok Yuni pasrah. "Mbok Yuni gak bisa maksa."

"Mbok ke bawah dulu, ya. Kalau ada apa-apa, Non Ica pencet bel saja." Ica hanya memalingkan wajahnya kembali menuju jendela, kemudian mengangguk.

Sepeninggalan Mbok Yuni, Ica kembali menikmati semilir angin malam. Meresapinya perlahan. Bintang-bintang yang hadir malam ini hanya sedikit, membuat langit terlihat seperti ada yang kurang.

Setelah Ica pikir sudah terlalu larut, ia meraba-raba dinding di samping jendela, kemudian memencet tombol berwarna putih. Tidak perlu menunggu dengan lama, akhirnya Mbok Yuni datang lagi, membantu Ica untuk pindah ke ranjang tidurnya.

"Terima kasih, Mbok." Ica tersenyum, menafsirkan senyumannya sebagai tanda terima kasih.

"Sama-sama, Non Ica. Malam." Mbok Yuni membungkuk perlahan dan segera meninggalkan Ica seorang diri.

"Apa keajaiban itu benar-benar ada?" gumam Ica sebelum ia benar-benar tertidur.

* * * * *

Semburat cahaya sang bagaskara mulai menelusup masuk. Arloji menunjukkan pukul setengah enam. Di pagi yang cerah ini, Ica sudah berada di sekolah. Ia datang lebih awal, karena hari ini adalah jadwalnya piket kelas.

Ica lama-lama merasa tidak enak hati, karena tiap di hari jadwal piketnya, Refan selalu menyelesaikan tugas yang seharusnya ia kerjakan. Karena itulah, gadis itu bergegas berangkat lebih awal, mendahului kehadiran Refan.

Tugasnya pun tidak sesulit yang lain, ia hanya perlu mengelap meja kelas yang ada di barisan paling depan dan satu papan tulis besar. Tanpa menunggu waktu lebih lama, ia segera menjalankan kursi rodanya menuju meja di sampingnya, yang masih satu baris di barisan paling depan.

"Akhirnya, Ica bisa melakukan piket kelas seorang diri!" bangga Ica penuh harsa. Meski sempat merasa sulit dan roda dari kursi rodanya sempat menabrak kaki meja, namun pada akhirnya Ica berhasil menyelesaikannya.

Setelah mengelap seluruh meja yang ada di barisan paling depan, Ica teringat satu hal. "Oh iya! Ada yang tertinggal..." Ica mendengkus pelan. "...papan tulis!"

Ica belum merasa puas jika yang satu ini belum ia kerjakan. Dengan penuh semangat ia menjalankan kursi rodanya ke depan kelas dengan perlahan. Ia tidak menyadari ada kerikil berukuran sedang di sana dan––

"Argh!" ringis Ica ngilu. Ia terjatuh dari kursi roda karena rodanya mengenai kerikil berukuran sedang yang ada di depan kelas. "Aduh ... sakit!"

Kala sakit Ica rasakan, datang seseorang, berdiri terdiam di ambang pintu. "Ica!"

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang