Seperti malam-malam biasanya, Ica duduk di depan jendela kamar. Kepalanya mendongak ke atas, berandai-andai jika dirinya bisa melihat. Sayangnya itu hanya pengharapan, karena saat ini hanya kegelapan yang terasa.
Ia menyukai bulan, sangat suka. Meskipun tidak memancarkan sinarnya sendiri, tapi bulan tetap hadir untuk menemani. Di kegelapan malam, ia datang untuk menjadi satu-satunya penerang. Walau tak sekilau matahari, tapi cukup menghangatkan diri.
Tangannya mengambil cemilan yang terletak di atas pangkuannya, mengunyahnya perlahan layaknya sedang menonton bioskop. "Mbok Yuni!" teriak Ica.
Terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru, kemudian pintu kamar juga dibuka secara paksa. "Ada apa, Non?" tanya Mbok Yuni.
Raut wajah Ica terlihat merasa bersalah, dari suara Mbok Yuni saja ia sudah tahu jika wanita itu datang dengan napas yang tidak teratur. "Maaf, ya, Mbok. Ica udah buat Mbok khawatir," ujar Ica.
"Gak apa-apa, kok, Non. Mbok khawatir, kirain tadi ada apa-apa. Jadi, Mbok buru-buru ke sini." Mbok Yuni mendekat ke arah Ica, berdiri di samping nona mudanya itu. Walau Ica tidak bisa melihat, tapi ia yakin gadis itu bisa merasakan kehadirannya.
"Ada apa, ya, Non?" tanya Mbok Yuni sekali lagi.
Ica terdiam sebentar, ia masih ragu untuk mengatakannya. Hanya saja, ini adalah keinginannya dari lama. Sudah terpendam ketika ia keluar dari rumah sakit dulu, tapi selalu ada rasa takut untuk mengatakannya. "Em ... Ica mau minta beliin tongkat," pinta Ica pelan.
"Aduh, Non. Em ... gimana, ya? Saya takut tuan sama nyonya marah." Mbok Yuni merasa serba salah saat ini, ingin dituruti tapi takut dimarahi oleh majikannya. Dalam hatinya, mbok Yuni juga merasa kasihan. Ica itu gadis buta, bukan lumpuh yang harus duduk di kursi roda.
"Ica telepon mama sama papa dulu," tutur Ica.
Mbok Yuni dengan sigap mengambilkan ponsel Ica, dan mencarikan kontak majikannya. "Ini, Non," unjuknya.
Hanya bunyi operator yang terdengar, beberapa kali pun menghubungi tapi tetap sama saja hasilnya. Hingga kelima kalinya, barulah terdengar nada tersambung.
"Ma," sapa Ica.
"Ada apa, Sayang?" tanya Miranda.
Mendadak Ica merasa ragu dengan keinginannya sendiri, tapi rasa bosannya juga sudah membuncah. Ia dilema, antara ingin berbicara atau mengurungkannya saja.
"Ada apa, Ica?"
Giliran Tono yang bertanya, karena pertanyaan dari Miranda sama sekali tidak disahuti oleh Ica. "Em, Ica ... pengen pakai tongkat. Boleh gak, Pa?" tanya Ica balik.
"Please!" mohonnya dengan nada yang biasa ia keluarkan ketika meminta sesuatu.
Dua tempat yang berbeda tapi terhubung itu sama-sama mendadak senyap, tak ada satu pun yang mengeluarkan suara. "Pa?" Suara Ica tercekat, takut jika keinginannya tidak dikabulkan.
"Sebentar, ya, nanti papa telepon lagi. Papa harus bicara dulu sama mama kamu," sahut Tono.
Mendadak rasa lesu menyelinap, Ica hampir putus asa mendengar jawaban papanya. Tono termasuk suami yang selalu menuruti kata istrinya, jika sudah menyangkut tentang keselamatan Ica. Ica sangat yakin jika Miranda tidak akan mengizinkannya, harapannya dikubur dalam-dalam. Tak ingin kecewa, untuk yang sekian kalinya.
Sambungan terputus, sekarang Ica hanya bisa menunggu telepon dari Tono. Menunggu hasil pembicaraan kedua orang tuanya, ia sendiri pun semakin menguatkan diri jika permintaannya ditolak.
"Saya permisi, Non. Nanti panggil saja kalau tuan sudah menelpon lagi," pamit Mbok Yuni.
Ica mengangguk pelan, ia tersenyum kecil. "Iya, Mbok." Diarahkannya kembali mata ke luar jendela, dagunya bertumpu di tangan. "Semoga saja diizinkan," gumam Ica.
****
"Ya ampun, Hoshi!" pekik Adira nyaring.
Refan yang berada di dalam kamarnya langsung keluar ketika mendengar suara Adira, ia sudah menduga jika Hoshi kembali berulah malam ini.
Adiknya itu memang tidak bisa menjadi manusia kalem, hidupnya terlalu bar-bar. Berbading terbalik dengan dirinya yang suka ketenangan dan kesendirian.
"Kenapa, Bunda?" tanya Refan.
"Ini loh, Refan. Adik kamu, lihat tuh!" Adira menunjuk ke arah Hoshi yang kini sudah berpindah di sofa, wajah laki-laki itu terdapat memar meskipun agak samar. Jangan lupakan juga dengan sudut bibirnya yang berdarah, dan baju yang sudah tidak karuan lagi.
Kepala Refan menggeleng, kadang ia juga tak habis pikir. "Lo itu sekolah, apa ngegembel?" tanya Refan santai.
"Kampret lo, Kak." Hoshi menyembur Refan, tentu saja ia tidak terima dikatakan menggembel. Meskipun ia akui wajah Refan lebih tampan dari dirinya, tapi masih banyak juga gadis yang mau dan mengejar cintanya.
Adira langsung bergerak mendekati anak bungsunya, melakukan sesuatu yang bisa ia lakukan ketika Hoshi kambuh. "Ampun, Bunda. Muka aku udah bonyok gini, masa telinga aku juga mau dimerahin juga," keluh Hoshi saat Adira semakin menarik telinganya.
"Kalau ngomong itu yang sopan," tegur Nathan.
Melihat Nathan sudah pulang, Adira buru-buru mendekati suaminya. Mencium tangan Nathan dan dibalas kecupan sayang di keningnya, tentu saja hal itu dilakukan di depan Hoshi dan Refan.
Tapi saat menyadari satu hal, Hoshi buru-buru bangkit dan melesat ke arah kamarnya. Biarlah ia terkena amukan bundanya besok pagi, asalkan malam ini ia bisa selamat terlebih dahulu.
"Aku ke kamar dulu," pamit Refan saat ia melihat Hoshi sudah berhasil kabur.
Ucapannya tidak digubris oleh sepasang manusia yang melepas rindu itu, ayahnya memang baru kembali dari luar kota selama dua hari ini.
Saat memasuki kamar, Refan disambut dengan kegelapan. Tadi ia rasa sudah menghidupkan lampu kamarnya, tapi kini semuanya tampak gelap. Ia berjalan ke arah saklar lampu, mengotak-atiknya sebentar.
Hasilnya tetap saja, mungkin memang lampunya yang bermasalah. "Ayah, aku ke luar dulu sebentar." Refan memakai jaket ke tubuhnya, berharap jika dinginnya malam tidak menembus tulang-tulangnya.
"Mau ke mana?" tanya Nathan, Adira sedang tidak berada di sana. Sam bisa menebak jika bundanya itu sedang ke dapur dan membuatkan Nathan kopi, kebiasaan seperti biasa ketika ayahnya pulang.
"Beli bola lampu, lampu kamar aku mati." Nathan mengangguk paham, di rumahnya memang tidak menyetok bola lampu. Lagi pula ia percaya jika Refan tidak akan berbuat macam-macam di luar sana, meskipun jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
"Jangan lama-lama!" pesan Nathan.
Rwfan tersenyum sebentar, ia langsung berlalu dari sana. Ia tidak bisa mengiyakan atau membantah perkataan Nathan, takut ada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi selama ia di luar. Sejenak sesuatu melintas di pikiran Sam, senyum kecil terbit di bibirnya. "Kayaknya seru malam-malam gini," ucap Sam.
Buru-buru ia mengeluarkan mobil dan menjalankannya, ada rasa tidak sabar yang ia rasakan. Tapi sebelum itu, ia harus membeli bola lampu terlebih dahulu. Takutnya jika menunggu pulang, ia kelupaan karena terlampau senang.
"Tunggu aku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...