Part 15

91 12 5
                                    

Ica menggenggam ponselnya dengan erat, raut wajahnya tampak kebingungan. "Ngapain mereka ke rumah Mita?" tanya Ica pada dirinya sendiri.

"Kenapa gak ngajak Ica?"

"Apa Ica susulin aja ke sana?"

Di tengah monolognya sendiri, Mbok Yuni masuk membawa nampan yang berisi makanan untuk Ica. "Non, makan dulu! Tadi nyonya ada hubungi mbok, katanya 'Jangan diet lagi!' gitu," tutur Mbok Yuni.

Kepala Ica menggeleng, ia mendorong piring yang di letakkan oleh Mbok Yuni di dekatnya. "Ica gak lapar, Mbok." Ucapan Ica membuat Mbok Yuni merasa resah sendiri, ia menatap nanar makanan yang sudah dibuatnya itu.

"Ya sudah, mbok letakkan di sini. Nanti kalau Non Ica lapar, tinggal ambil," ujar Mbok Yuni.

"Iya. Makasih, Mbok." Senyum Ica mengembang, ia menghargai Mbok Yuni yang sudah membuatkannya makanan. Sayangnya, perutnya belum minta diisi. Ia belum merasakan lapar, meskipun terakhir kali makan jam enam pagi tadi.

Kebimbangan kembali menyelusup di relung hatinya, antara pergi atau menetap di rumah. Tapi rasa penasaran Ica sudah terlampau tinggi, kenapa teman-temannya berkumpul dan tidak ada yang memberitahu dirinya?

Selama sepuluh menit merengung, akhirnya Ica memutuskan untuk menyusul mereka ke rumah Mita. Buru-buru ia mendorong kursi roda miliknya ke arah lemari, karena setahunya semua jaket sudah dicuci oleh asisten rumah tangganya yang tidak menetap.

Ica berjinjit, tangannya ingin menggapai jaket teratas. Merasa belum sampai, is nekat berdiri di atas kurai roda. Sayangnya, Ica tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya sendiri.

Tubuhnya oleng, beruntung ada tangan yang berhasil menangkapnya. "Hati-hati, Ca!" dengus laki-laki itu.

*****

Keriuhan rumah Mita tidak bisa dielakkan lagi, separuh bagian rumah itu sudah berantakan akibat ulah mereka. Apalagi di bagian dapur, Fira dan Aidan berhasil menghancurkannya.

"Aduh, Aidan. Fira udah bilang, jangan banyak-banyak cream-nya!" rengut Fira kesal.

"Tadi lo sendiri yang bilang segini!" sahut Aidan tak terima.

"Ini kebanyakan, Ica itu gak suka banyak cream!"

Aidan hanya diam saja, ia sudah pusing untuk membalas perkataan Fira. Rasanya kepalanya mau meledak jika lama-lama dekat dengan gadis itu, tidak baik untuk kesehatan darahnya. Bisa-bisa ia langsung tekanan darah tinggi, atau lebih parahnya stroke.

"Kata Fira, pencetnya tiga detik aja."

"Gue udah mencet tiga detik," ucap Aidan. Ia bahkan dengan sangat teliti melirik jam tangannya, memastikan benar-benar tiga detik.

"Ih, tapi gak sebanyak itu. Aidan merusak kuenya, nanti Fira laporin ke Refan!" ancam Fira.

"Terserah," balas Aidan malas.

Di sisi rumah bagian lain, suasana tampak tenang. Meskipun begitu, tetap saja semuanya terlihat berantakan. Refan menyelonjorkan kakinya, ia mengusap peluh yang menetes. Begitu juga dengan yang lain, mereka merasa kelelahan seperti habis lari maraton.

"Nah, sekarang giliran kalian latihan nyanyi!" perintah Hoshi.

Yuka menggeleng tegas, ia tampak mengatur napasnya terlebih dahulu. "Nanti dulu, gue masih capek," balas Yuka.

Mita bangkit dari duduknya, ia menghidupkan AC ruangan. Tak butuh waktu lama, hawa sejuk langsung menghampiri mereka.

"Kenapa gak dari tadi?" tanya Hoshi sinis.

"Gue lupa ada AC di rumah," jawab Mita sambil terkekeh.

Setelah merasa lebih baik, Refan mengambil gitar yang sudah berada di dekatnya. Ia memangku gitar tersebut sambil tersenyum kecil, otaknya sudah membayangkan kejadian besok.

"Malah nge-halu ni orang," sentak Hoshi.

Refan langsung tersadar, ia terkekeh pelan. "Gak sabar gue," ungkapnya.

"Susahnya kalau udah berhadapan sama orang yang fall in love," dengus Mita.

"Cinta semengerikan itu, sampai abang gue yang waras aja bisa jadi gila." Ucapan Hoshi membuat Refan melotot tidak terima. Maksud Hoshi tadi, ia seperti orang gila? Begitu, kan? Adik kurang ajar!

Berada di situasi seperti ini membuat Yuka merasa panas dingin, ia sangat tidak nyaman. "Lo mau nyanyi lagu apa, Ref?" tanya Yuka mengalihkan percakapan. Yuka tidak sadar, bahwa jawaban Refan juga pasti menyakiti hatinya.

"Gue mau nya--"

Perkataan Refan terpotong karena bunyi dari salah satu ponsel mereka yang dikumpulkan atas meja.

"Halo."

"Ada apa, Pak?"

"Oh, iya. Saya ke sana!"

"Sama-sama."

*****

"Gimana kalau tadi aku gak datang? Kamu bisa jatuh, Ca," omel Refan lagi.

Sedari tadi ia tidak berhenti mengomeli gadis yang tertunduk itu, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri. Tangan Ica bertautan, cari khas saat ia merasa ketakutan.

Isak tangisnya menyadarkan Refan, laki-laki itu berbalik lalu berjalan cepat menuju ranjang Ica. "Maaf, aku terlalu khawatir sama kamu. Jangan nangis!" sesal Refan.

Refan menghapus air mata Ica dengan ibu jarinya, ia menatap Ica dengan lekat. Jantungnya selalu bergemuruh setiap dekat dengan gadis itu, rasa hangat juga selalu menghampirinya kala tangan mereka bisa bertaut seperti sekarang.

Ia mengecup punggung tangan Ica, meresapinya sambil menatap lekat wajah gadis yang sangat ia cintai itu. Tangan Ica mendadak menjadi dingin, sehingga Refan terkekeh dibuatnya.

"Kamu gugup ya?" tanya Refan.

Ica menggeleng panik, ia tidak mau mengakui hal tersebut. "Eng--enggak, kata siapa a--aku gugup?" tanya Ica balik.

"Aku tahu kamu, Ca. Tangan kamu dingin kalau kamu gugup, seperti sekarang misalnya. Udah, ngaku aja!" Refan hampir tergelak melihat raut wajah Ica yang semakin panik, ia menyukai saat-saat menggoda gadis itu.

"Ih, Refan. Ica enggak gugup!" bantah Ica.

"Oh ya? Coba Ica rasa ini!" Tangan besar Refan mengamit tangan Ica, membawa ke dada bidang miliknya. "Gimana?" tanya Refan.

"Jantung Refan kok kencang banget berdetaknya, Refan sakit jantung?" tanya Ica histeris.

Kepala Refan menggeleng, tak habis pikir dengan ucapan Ica tadi. "Emangnya jantung Ica enggak kayak gini kalau dekat Refan?" tanya Refan balik.

"Iya, jantung Ica juga kayak gitu kalau dekat Refan." Ica menjawab dengan polos, ia tidak menyadari pertanyaan jebakan dari Refan untuknya.

"Kalau gitu, Ica sakit jantung dong?"

"Enggaklah, Ica begini ka ... eh?"

Tawa Refan langsung meledak saat Ica menyadari ucapannya sendiri, ia langsung memukul Refan dengan bantal yang berada di dekatnya. Demi apa pun, dia sangat malu.

Menit demi menit berlalu, Refan tetap tidak bisa menghentikan tawanya. Ia sangat menyukai ucapan Ica, rasanya ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya.

"Capek," keluh Ica.

Dengan sigap Refan mengusap keringat yang berada di wajah Ica dengan punggung tangannya, kemudian ia juga membenarkan rambut Ica yang berantakan.

Keduanya sama-sama mengunci suara mereka, hingga tangan Refan kembali menggenggam tangan Ica. Ia mendekat, bahkan Ica bisa merasakan napas Refan berada di depan wajahnya.

"Aku sayang kamu, Ca," bisik Refan tepat di telinga Ica sebelah kanan.

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang