Part 44

46 11 0
                                    

"Seorang pembohong hanya akan mengucapkan kebohongan berikutnya. Sekalipun dia berkata jujur, tidak ada yang mempercayainya."
—Aidan


"Bukan begitu, Aidan. Tante mau bawa Ica ke rumah sakit sekarang, ada pendonor yang sepertinya cocok untuk mata Ica. Dia harus istirahat dulu di rumah sakit buat mastiin kondisinya, baru Om sama Tante izinin buat operasi."

Aidan melirik sekilas pada sahabatnya, tapi sebagai laki-laki yang selalu diajarkan oleh ibu-nya, Aidan bertekad untuk mengatakan kebenaran sepahit apapun kebenaran itu.

"Ica lagi di rumah sakit, Tante," ucapnya dengan sungkan.

Terdengar suara panik dari Miranda.

"Loh, kenapa bisa?! Ica sakit apa sampai bisa ke rumah sakit? Tadi waktu Tante tanyakan pada Mbok Yuni, beliau tidak bilang demikian."

"Ica gak sakit, Tante. Dia cu—" ucapan Aidan terputus karena Miranda lebih dulu menyelanya.

Beliau terus menanyakan alasan mengapa Ica sampai di bawa ke rumah sakit dan menjelaskan bagaimana kondisinya. Saking paniknya, Miranda bahkan tidak memberikan kesempatan bagi Aidan untuk menjelaskan.

Lewat tatapan matanya, Aidan melirik pada Yuka. Seolah meminta bantuannya secara tersirat.

Yuka yang paham dengan maksud Aidan langsung merebut ponsel Fira dari Aidan. "Biar gue aja yang bicara," kata Yuka sambil membawa ponsel Fira keluar dari ruangan transfusi darah.

Aidan dan Fira melihat ke arah Ica yang tergeletak tidak sadarkan diri. Tangis Fira semakin kencang melihat kondisi yang mengkhawatirkan dari sahabatnya.

"Ica ... hiks ... maafin Fira ... hiks ... gak bisa jaga Ica dengan baik, huaaa...."

Aidan berusaha menenangkan Fira dan mengelus bahunya. "Stttth... jangan salahin diri lo sendiri."

Lalu Aidan menatap Kama dengan berang. "PUAS LO?!" bentaknya.

Helaan napas dari Kama membuat Aidan semakin berang, tapi dia tidak bisa membiarkan Fira dan Ica di sini dan melampiaskan emosinya pada Kama.

Tubuh atletis Kama, dia sadarkan pada tembok ruang transfusi darah, memejamkan matanya. Dalam hatinya berbisik sebuah perasaan bersalah karena membuat Ica sampai harus memaksakan diri untuk memberikan darahnya pada Kalila.

Apa gue berlebihan? Hatinya meragu akan tindakannya terhadap Ica, tapi di sisi lainnya juga Kama berusaha membenarkan tindakannya ini.

Gak! Ini pasti benar. Batinnya.

Meskipun hati dan pikirannya tak sejalan, jauh dari dalam diri Kama, dia merasakan sebuah penyesalan karena tindakannya yang terkesan egois.

•×•×•×•

Setelah menyerahkan berkas-berkas yang ditangani oleh orang kepercayaannya, Nathan akhirnya bisa melepaskan Hoshi dari penjara.

Nathan langsung memeluk Hoshi erat. "Jangan lakukan hal bodoh lagi, Nak," pesannya.

Hoshi menganggukkan kepalanya. Sedikit air mata tergenang di sudut matanya. "Terimakasih, Pah. Maaf Hoshi jadi bikin beban Papah bertambah."

"Tidak apa, lebih baik kita secepatnya ke tempat Refan. Ibu-mu bilang kalau mencangkokkan hati Refan hampir selesai."

Hoshi menahan langkah Nathan, membuatnya menoleh pada sang anak. "Kenapa?"

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang