Hoshi memarkirkan motornya di wilayah parkiran khusus guru dan staf karyawan sekolah, dan melangkahkan kakinya dengan santai menyusuri lobi sekolah yang sudah terlihat ramai. Kedua ujung bibirnya tak henti-hentinya melengkungkan senyum, terlebih saat melihat arloji yang menunjukkan pukul 06.59 WIB. Tak ada yang bisa menghukumnya kali ini. Pikir Hoshi.
Tersenyum miring adalah cara Hoshi menghadapi hari ini setelah perdebatan panjang bersama Bunda pagi tadi karena terlambat bangun tidur.
Sesekali Hoshi bersiul untuk menghilangkan rasa jenuh yang begitu kentara saat menuju kelas yang terletak di lantai tiga.
"Kira-kira dia udah sampai belum?" Hoshi bermonolog dalam hati.
Tentu saja dia sudah sampai! Dia bukan tipe orang yang suka terlambat, meskipun memiliki kekurangan sekalipun. Dasar bodoh! Hoshi menggerutu.
Saat sampai di ambang pintu, Hoshi menyembulkan kepala dengan hati-hati saat melihat pintu kelas 11 MIA 2 tertutup rapat. "Untung belum ada Pak Rasyid." Guru Fisika yang terkenal dengan berbagai siksaan bagi murid-muridnya adalah guru yang paling Hoshi hindari.
Dengan langkah ringan, Hoshi masuk kelas dan duduk di jajaran meja bagian dua dari belakang. Baru saja Hoshi ingin meregangkan otot-otot, suara deheman menggema di kelas.
"Ekhem!" Bulu kuduknya langsung merinding. Hoshi mengusap tengkuk dan menoleh ke belakang dengan ragu.
Pak Rasyid dengan tatapan yang tajam serta kumis brewoknya mampu membuat banyak murid terkesiap. "Eh, Bapak. Gue ... a-aku kira belum hadir, hehe." Ucapan Hoshi mendadak jadi terbata-bata dan mulutnya langsung mingkem kala Pak Rasyid semakin memberikannya pelototan yang membuat mata belo nya terlihat seperti ingin keluar dari tempatnya.
"Lari lima putaran, sekarang!" seru Pak Rasyid tanpa ragu.
Hoshi mendesah kesal. "Ayolah, Pak. Kan cuma ketinggalan satu menit," tawar Hoshi pada Pak Rasyid yang terlihat enggan untuk diajak bernegosiasi.
Tamat sudah riwayat hidupku. Say goodbye to au de parfum, gerutu Hoshi.
Pak Rasyid berkacak pinggang dan mengeluarkan nafas dengan suara yang cukup terdengar pada ruangan yang sepertinya senyap ini. "Sepuluh keliling, cepat!"
Dengan terbirit-birit Hoshi langsung ngacir, dari pada mendapatkan hukuman yang lebih buruk. Walaupun mulutnya tidak bisa diajak kompromi, terus saja menggerutu tentang tingkah Pak Rasyid yang seenaknya. "Bisa-bisa disangka lambe turah gue, karena sering gosip bapak-bapak tua itu," lirihnya.
****
Istirahat pertama Hoshi manfaatkan untuk bermain bola voli bersama partner in crime-nya, Kama dan Aidan. Ada juga beberapa anggota voli SMA Angkasa yang ikut andil. Hoshi menghampiri mereka dan melakukan high five sebelum warming up yang dipimpin oleh Kama.
SMA Angkasa memang memberikan sebuah dispensasi jauh-jauh hari untuk tim voli yang akan mengikuti lomba tingkat nasional di Bandung. Di antara teman sekelas maupun tim voli di sini, bisa dibilang Hoshi adalah pemain sekaligus murid termuda. Haha. Memang tampangnya aja yang sangar, tapi hatinya kaya Hello Kitty, itulah sindiran yang paling Hoshi inget dari Yuka. Baik bunda, ayah bahkan sampe kakaknya sendiri, sangat bingung dengan tingkah Hoshi yang terbilang ajaib. Berprestasi tapi suka buat onar, suka main-main tapi tidak suka dipermainkan, dan yang paling tidak bisa Hoshi lakukab adalah menyakiti seorang perempuan. Bagaimana bisa Hoshi menyakiti perempuan, kalau lihat bundanya yang nangis bombai hanya karena nonton drakor aja udah buat Hoshi kalang kabut. Gak tega.
Ikut kelas akselerasi dari SD hingga SMP akhirnya membuat Hoshi bisa satu angkatan dengan Refan. Tahun ini, Hoshi memilih untuk tidak melanjutkan kelas akselerasi.
"Kamu itu gimana sih, malah ngambil keputusan hanya karena hal-hal yang gak jelas! Pokoknya kamu tetep ikut kelas aksel!" Keputusan Nathan pada waktu itu memang tidak sanggup Hoshi bantah, karena keputusannya adalah mutlak. Padahal saat itu Hoshi hanya mengutarakan kejujuran dan berpendapat bahwa Hoshi merasa capek karena baik di bidang akademis maupun non-akademis, yang selalu saja membuatnya merasa tertekan sana-sini kalau ikut aksel, semua dituntut untuk lebih cepat memahami pelajaran, lebih cepat mengerti dan hal lainnya yang membuat Hoshi muak, lelah fisik dan mental. Namun, Hoshi terharu sekaligus tidak menyangka pada waktu itu adalah bunda yang ternyata menguping berdebatannya dengan sang ayah.
Di sana Hoshi sujud syukur dan meluk bunda begitu erat, karena membantunya terbebas dari kelas yang terasa seperti neraka. Adira waktu itu mengelus punggung Hoshi dengan penuh kasih sayang. "Sudahlah, Shi. Asalkan janji sama Bunda, jangan buat macem-macem, ok?" Hoshi hanya mengangguk patuh, layaknya anak teladan lainnya. Tapi kenyataannya memang tidak sepenuhnya begitu, sebagai bentuk pelampiasan, Hoshi sedikit-melakukan pemberontakan–nakal, itu pun cuma ikut geng motor tanpa ikut ngerokok atau clubing seperti temen geng-nya yang lain.
Balik lagi ke acara latihan bola voli kali ini. Hoshi di sini berperan sebagai setter, Kama sebagai receiver, dan Aidan sebagai libero, serta teman yang lain yang memiliki posisi masing-masing yang sudah diatur oleh pelatih.
"Dan, jaga-jaga!" seru Hoshi pada Aidan karena posisinya yang ada di belakang dan bola voli yang mengarah ke belakang, Hoshi dan tim-nya mempercayakan bola yang melambung pada Aidan.
Bola itu kembali melambung ke udara dan dengan sedikit lompatan, Hoshi memberikan lemparan bola pada Indra yang bertugas sebagai spiker. Bola berhasil menuju daerah lawan dan menyentuh lantai, hingga menghasilkan tim Hoshi lebih unggul. Mereka berheboh ria.
"Nice!"
"Good job!"
"Selalu bagus."
Latihan harus berakhir bertepatan dengan bel pulang sekolah. Keringat yang masih bercucuran tidak membuat semangat Hoshi melorot, melainkan semakin menggebu. Namun, sepertinya mereka–teman satu timnya–merasakan letih. Hingga semuanya bersiap untuk pulang setelah mendapatkan arahan dari pelatih.
Hoshi memilih untuk tetap menggunakan kaos latihan tanpa repot-repot harus ganti baju. "Bareng Refan?" tanya Aidan yang sudah berada di samping.
Hoshi hanya mengangguk dan berlari kecil karena dari kejauhan Hoshi melihat satu objek yang membuatnya semakin penasaran. "Duluan!" Teriakan Hoshi yang mungkin terdengar sekoridor sekolah, tapi bukan itu yang jadi atensinya saat ini.
Hoshi berdiri di gedung samping sekolah, namun netranya masih memicingkan pada satu objek yang terlihat kesulitan menggerakkan kursi rodanya. Ada dua orang tidak jauh darinya, namun mereka tampak asik berbincang hingga melupakan orang yang terlihat–hampir–jatuh dari kursi rodanya jika saja dia tidak mampu menahannya.
Napas Hoshi tercekat melihat itu. Setelah yakin bahwa objek yang dilihatnya adalah orang yang dia kenali, Hoshi buru-buru menyebrang jalan. Tapi lutut melemas seiring dengan kursi roda yang berjalan ke tengah jalan dan banyaknya suara dari klakson kendaraan mulai bersahutan, memekakkan telinga. Dua orang yang Hoshi lihat tadi masih belum menyadari bahwa sahabatnya tengah kesulitan. Jantung Hoshi seperti sudah berdetak lebih dari yang dia kira.
Dengan langkah cepat, Hoshi berusaha menggapai kursi roda yang mulai kehilangan keseimbangan. "Ica!" Suara teriakan Hoshi bersamaan dengan datangnya sebuah truk dari arah samping.
Hoshi berguling ke samping dan mengabaikan rasa sakit pada sekujur tubuh demi melindungi seseorang yang kini sedang berada dalam dekapannya. Mata Hoshi yang awalnya terpejam, kini melihat jelas bahwa orang yang ada di depannya, sedang menatapnya dengan tatapan bingung sekaligus nanar. Mata Hoshi terbelalak, saat mengetahui orang yang dia selamatkan. "Loh, Uka!" Hoshi membantu Yuka duduk dan menenangkannya. Tubuhnya bergetar hebat dalam pelukannya. Yuka, atau biasa Hoshi panggil Uka-uka. Tidak menangis sama sekali, padahal nyawanya hampir direnggut. Hanya mematung dengan napas yang masih belum teratur.
Suara itu membuat Hoshi yang berada di sebrang jalan menoleh dan terlihat di sana banyak darah yang merembes pada aspal. Tidak bisa Hoshi pastikan dengan jelas siapa yang terluka dan tidak terluka. "Refan! Ica!" Hanya teriakan yang semakin kencang yang Hoshi lakukan, karena terlalu syok dan banyaknya kerumunan orang-orang yang mulai menghalangi pandangannya terhadap orang yang sempat Hoshi lihat tadi. Masih dengan memeluk Yuka, Hoshi mengeratkan pelukannya. Berharap apa pun yang Hoshi bayangkan tidak pernah terjadi. Walau hanya mimpi sekali pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...