Suara langkah kaki yang berlari terdengar menggema di koridor rumah sakit, napas tiga orang itu memburu karena dilanda kepanikan yang luar biasa. Tanpa bertanya kembali, mereka menuju ruang IGD yang terletak di sayap kiri rumah sakit.
Keberuntungan memang tidak berpihak kepada mereka tadi, parkiran mobil sangat penuh di sayap kiri sehingga mereka harus memarkirkannya di sayap kanan.
Sebagai orang yang mengandung sang buah hati, Adira dilanda kepanikan luar biasa. Meskipun menurutnya Refano Samuel sudah beranjak dewasa, tapi naluri keibuan miliknya tetap merasa khawatir.
Saat sampai di depan pintu IGD, Nathan segera menemui Dokter yang sedang bertugas. "Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanyanya.
"Pasien saat ini dalam masa kritis, benturan di kepalanya cukup kuat akibat kecelakan tersebut. Selanjutnya ... bisa kita bicarakan ke ruangan saya?" Dokter yang ber-name tag Gredito Tewono itu bertanya pada Nathan.
"Baiklah."
"Mungkin Bapak bisa mengurus administrasinya terlebih dahulu agar pasien langsung bisa mendapat ruangan yang lebih nyaman," saran Dokter Dito.
Melihat itu, Hoshi segera bertindak. Ia menepuk bahu papanya pelan. "Biar aku saja yang urus administrasinya, papa sama mama bisa langsung bicara dengan Dokter," ucap Hoshi memberi saran.
Bibir Nathan tertarik ke atas, ia bersyukur anaknya yang satu ini bisa diandalkan dalam kondisi seperti ini. "Ambil ruangan VIP, berapa pun harganya tidak masalah," ujar Nathan.
Dompet yang sangat tebal itu berpindah tangan, padahal Hoshi tahu di dalam sana ada beberapa kartu kredit. Memang sedikit memberikan kesan berlebihan, tapi ia yakin papanya terlalu khawatir sehingga tidak berpikir lagi tentang itu.
Inilah yang disukai Hoshi dari papanya, Nathan tidak pernah tanggung-tanggung untuk masalah kedua anaknya. Meskipun terkesan agak cuek, tapi laki-laki paruh baya iti sangat berperan sebagai kepala keluarga yang sangat baik.
"Iya, Pa. Percayakan semuanya sama aku," balas Hoshi.
"Ayo, Ma!" Tangan Nathan merangkul bahu Adira, ia menguatkan istrinya yang masih syok dengan kejadian ini.
Setelah kepergian kedua orang tuanya, Hoshi menatap pintu putih yang di atasnya tertulis ruang IGD. "Aku bersyukur dilahirkan di keluarga ini. Thanks, God."
Kakinya melangkah menuju tempat administrasi, memberikan beberapa data atas nama kakaknya. Sesuai apa yang sudah diamanatkan, Hoshi meminta kamar VIP terbaik.
Kartu berisi limit yang entah berapa itu langsung diserahkannya, ia terlalu malas untuk menghitung lembaran uang merah di dompet tebal tersebut.
"Segera diproses ya, Dik."
"Terima kasih," ucap Hoshi.
Ketika ia kembali dari urusannya, Hoshi belum melihat tanda-tanda Adira dan Nathan di sana. Tak lama beberapa perawat keluar membawa brankar Refan, menempatkan laki-laki itu dengan fasilitas yang lebih baik.
Buru-buru Hoshi mengirim pesan kepada orang tuanya, menyebutkan ruang inap yang berhasil ia dapatkan. Di rumah sakit besar ini, wajar jika ada kamar dengan fasilitas yang lengkap.
Satu set sofa yang berada di pojok ruangan, televisi yang menghadap langsung kepada pasien, lemari pakaian yang besar, dan alat kamar mandi yang lengkap.
Hoshi menatap wajah Refan yang pucat, kepala kakaknya terlilit perban. Belum lagi tangan laki-laki itu terpasang gips, ia meringis pelan. Seingatnya tadi, Dokter tidak menyebutkan ada patahan yang dialami Refan.
Sebelah tangan Refan yang bebas dari infus digenggamnya. "Cepat sembuh, Kak," gumam Hoshi. Seketika itu pula ia kembali teringat, acara ulang tahun Ica.
***
Senyum di wajah Ica semakin mengembang, meskipun ia tidak bisa melihat di sekelilingnya tapi rasa bahagia itu sangat membuncah.
Mulutnya tidak berhenti bertanya kepada Yuka tentang binatang-binatang yang ada di sekitar mereka, ia sangat antusias sekali hari ini.
"Yuka, jerapah itu setinggi apa?" tanya Ica saat mereka singgah di kandang jerapah.
"Setinggi pohon," jawab Yuka simpel.
"Kenapa setinggi pohon?" tanya Ica lagi.
Yuka menghela napasnya sebentar. "Ica, kemarin pelajaran biologi kamu gak memperhatikan ya? Kita ada bahas masalah jerapah, loh," ujar Yuka.
"Eh, Ica lupa." Ica meringis pelan saat mendengar ucapan Yuka, ia bahkan tidak ingat apa yang dibahas guru pada hari itu.
"Intinya, jerapah itu memiliki leher yang panjang karena makanannya terletak di pucuk pohon," jelas Yuka.
"Kamu mau coba berikan makanannya gak?" tawar Yuka.
Ica menoleh ke arah datangnya sumber suara, ia menatap seakan-akan bisa melihat. "Memangnya boleh?" tanya Ica.
"Boleh dong, bentar ya!" Yuka mengambil makanan yang disediakan pihak kebun binatang, ia memberikannya kepada Ica dan membawa gadis itu mendekat.
Tangan Yuka terus mengarahkan tangan Ica yang sedikit bergetar, ternyata gadis itu sedikit takut. "Rileks, Ca! Jerapahnya gak gigit, kok," seru Yuka.
Ica dapat merasakan hembusan napas yang panas di tangannya, lalu rumput yang berada dalam genggamannya tertarik. "Yuka, dia makan yang Ica kasih," pekik gadis itu girang.
"Iya," balas Yuka.
Air mata Yuka menetes, sebenarnya hal ini adalah kecil bagi orang-orang yang bisa melihat sepertinya. Ia terharu melihat Ica bahagia dengan hal sekecil ini, di sisi lain Yuka juga bersyukur diberikan penglihatan yang berfungsi sempurna.
"Yuka," panggil Ica.
Buru-buru Yuka menghapus air mata yang sempat mengalir dengan penggung tangannya, ia mengatur napas terlebih dahulu sebelum menjawab panggilan dari Ica. "Kenapa, Ca?" tanyanya.
"Boleh minta tolong dorongin Ica ke rumah panda gak? Ica pengen ke sana," ujar Ica.
"Gak usah minta tolong gitu kali, Ca. Langsung bilang aja, gak apa-apa kok," balas Yuka.
Kepala Ica menggeleng, tangannya sibuk mengusap tangan Yuka yang berada di pegangan kursi rodanya. "Gak bisa gitu, biar bagaimana pun Yuka itu udah Ica buat repot. Ica bersyukur banget punya sahabat kayak Yuka, udah mau nerima Ica meskipun kondisi Ica kayak gini," ungkapnya.
"Aku gak merasa direpotin, malah senang Ica gak menutupi diri kayak dulu. Kalau diingat-ingat, kita dulu lucu ya?" tanya Yuka yang mulai ber-flashback.
Ica tertawa kecil, sekelibat memori timbul di kepalanya. "Iya," jawab Ica singkat.
"Nah, udah sampai di rumah pandanya!" seru Yuka.
Kursi roda yang diduduki Ica berhenti di depan pagar, kini Yuka beralih di sampingnya. "Pandanya ada dua, kayaknya yang satu laki-laki dan yang satu lagi perempuan," ucap Yuka.
"Dari mana Yuka tahu?"
"Nebak aja," jawab Yuka sambil terkekeh pelan.
Mereka berdua sama-sama terdiam, hingga Yuka kembali membuka suaranya. "Ca, mau masuk gak?" tanya gadis itu.
"Yuka jangan aneh-aneh deh, nanti kita dicakar sama pandanya gimana?" tanya Ica gelisah.
Tawa Yuka langsung meledak, ia kembali teringat dengan Fira yang menceritakan film yang ditontonnya. Ica sudah pasti termakan ucapan sahabatanya yang satu itu, benar-benar polos.
"Pandanya gak seperti yang Ica bayangkan, beda sama panda diceritanya Fira. Yang ini lucu banget, mau gak?" tawar Yuka sekali lagi.
"Boleh deh, nanti fotoin ya?"
"Siap, Bosku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...