Part 2

608 49 1
                                    

Semburat cahaya pagi mulai menerobos masuk melalui jendela kamar Ica. Siulan burung-burung mulai terdengar berirama, ikut meramaikan suasana pagi ini.

Ica mengerjapkan kedua bola mata ketika cahaya mentari pagi mulai menyapa, lantas beranjak bangun dari tidur lelapnya.

"Hoaaaamm ...."

Ica beranjak berdiri dari kasurnya dan berjalan menuju nakas, mengambil remote air conditioner, lalu mematikannya. Belum selesai sampai di situ, ia membuka jendela kamar agar dapat merasakan udara segar pegunungan.

"Selamat pagi, Dunia."

Setelah menyapa dunia dengan senang hati, Ica beranjak menuju lemari baju, menyiapkan seragam sekolah hari ini. Memang cukup sulit baginya untuk mengetahui jam berapa sekarang. Namun, berkat adanya Mbok Yuni yang setiap pagi tidak pernah absen membangunkan dan mengingatkan akan jam-jam penting, Ica jadi tidak terlalu kesulitan.

"Non Ica ... bangun, Non. Sudah jam setengah enam, ayo nanti telat sekolah!" teriak Mbok Yuni dari luar kamar berniat membangunkan Ica seperti biasanya.

"Iya, Mbok. Ica sudah bangun, kok!" seru Ica membalas panggilan Mbok Yuni.

"Oh, syukurlah. Mbok tunggu di bawah ya!" seru Mbok Yuni dari luar kamar, kemudian beranjak turun menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.

* * * * *

"Hmm, segarnya."

Setelah selesai mandi, Ica segera memakai seragam hari Senin dan merapihkan buku pelajaran yang tidak sempat ia siapkan semalam.

"Hari ini pelajarannya apa aja, ya?" pikir Ica mengingat-ingat mata pelajaran hari ini. "Ah iya! Hari ini ada Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, Sosiologi, dan Matematika."

Ica segera memasukan buku-buku yang baru saja ia sebutkan tadi ke dalam tas. Kalian pasti bertanya-tanya, mengapa Ica bisa membedakan buku yang satu dengan yang lain? Jawabannya, Ica menandai semua buku-buku agar ia dapat membedakannya, sehingga tidak salah bawa nanti.

Tingg tingg

Jam weker Ica berbunyi dengan lantang, membuatnya sedikit terkejut. Untungnya, Ica tidak mengidap penyakit jantung. Kalau iya, mungkin pagi ini ia akan merepotkan kedua orang tuanya.

"Huh, sudah jam enam pas. Ica harus segera turun ke bawah!" Ica lalu berjalan hati-hati menuju ruang makan.

"Ica!" panggil Miranda dan Tono bersamaan kala mendapati Ica yang berjalan melewati tangga seorang diri. Miranda segera bangkit dari kursinya, kemudian menghampiri Ica untuk menuntunnya ke bawah.

"Ica, kamu kok nggak bilang-bilang, sih, kalau mau turun? Kan, kalau tadi kamu pencet bel di kamar, Mami, Papi, atau Mbok Yuni bisa bantu kamu turun tangga pakai kursi roda, kamu gak perlu capek-capek jalan gini!"

"Gak perlu, Mi. Ica bisa sendiri!"

"Mami ngerti, tapi--"

"Sudah, Mi. Biarkan Ica mandiri, dia sudah tujuh belas tahun. Setidaknya yang dia lakukan tidak membahayakan dirinya," potong Tono lantang. Ica tersenyum pada Miranda, menjelaskan melalui senyuman itu bahwa ia akan baik-baik saja, sekaligus menyetujui perkataan Tono.

Miranda menghela napas berat. "Baiklah, tapi ingat perkataan Mami! Kalau nanti Mami dan Papi sedang di luar kota dan kamu mau ke mana-mana harus minta tolong Mbok Yuni, ya!" pinta Miranda penuh harap, kemudian memeluk Ica erat.

"Iya, Mi."

Setelah menyantap sarapan pagi, Ica segera dituntun Miranda menuju mobil menggunakan kursi roda. Sesampainya di depan mobil, Tono menggendong Ica dan mendudukkannya ke dalam mobil. Miranda ikut masuk ke dalam dan duduk di samping Ica. Sedangkan Tono sibuk melipat kursi roda dan memasukkannya ke dalam bagasi.

"Sudah siap semua?" tanya Tono antusias.

"Siap, Pi!" balas Ica dan Miranda bersamaan.

Tono yang mendengar segera mengendarai mobilnya, meluncur menuju sekolahan Ica.

* * * * *

Sesampainya di sekolah, Tono kembali menggendong Ica dan mendudukkannya di atas kursi roda. Lalu seperti biasa Miranda mengantarkan anak semata wayangnya menuju depan kelas. Di sana lah Ica akan dijemput seseorang.

"Biar saya yang mengantar Ica, Tante," ujar seorang lelaki dengan santun, mengambil alih kursi roda dari tangan Miranda.

"Terima kasih, ya, Refan. Tolong jaga Ica selama di sekolah," balas Miranda penuh harap. "Ica, Mami berangkat dulu ya, jumat ini nanti Mami dan Papi pulang. Sehat-sehat, ya, kamu, jangan diet lagi!" Miranda memeluk Ica untuk yang kedua kalinya, sekaligus salam perpisahan sebelum ia pergi kerja.

"Iya, Mi. Ica pasti bisa jaga diri."

Miranda melepas pelukannya dan mengecup kening Ica perlahan, kemudian melambaikan tangannya sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Ica.

Selepas peninggalan Miranda, Refan dan Ica masih berada di depan kelas, menunggu bel masuk untuk upacara hari Senin. Meski ini bukan yang pertama kalinya, perasaan keduanya tidak bisa dibohongi. Keduanya merasakan hawa canggung karena tidak ada yang memulai pembicaraan.

"Mami kamu mau ke luar kota lagi, Ca?" tanya Refan memecah keheningan.

"Iya. Huh, pulang sekolah nanti pasti akan membosankan!" gerutu Ica yang sudah lebih dulu menerawang ke depan.

"Haha, kasian kamu. Mau aku ajak ke suatu tempat, gak?" tawar Refan pada Ica.

Ica menoleh ke sumber suara, terlihat antusias. "Suatu tempat? Tempat apa?"

"Rahasia. Kamu mau, gak?" jawab Refan mengulum senyum.

Ica terlihat sedikit berfikir, menentukan jawaban. "Kalau perginya sama Refan, Ica mau."

"Beneran mau, nih?" tanya Refan memastikan.

"Iya, Refan. Ica mau!" balas Ica mulai sebal. Ica mengerucutkan bibirnya ke depan, lalu membuang muka ke arah berlawanan.

Refan terkekeh melihat tingkah dan raut wajah Ica ketika sedang kesal. Lucu, pikirnya. "Oke, oke. Aku percaya."

Ica masih membuang muka. Namun, ia segera mengingat satu hal, yang membuatnya kembali menoleh ke arah Refan.

"Yuka di mana? Kok, Ica dari tadi nggak denger suaranya?"

"Oh, iya, aku lupa kasih tahu ke kamu. Semalam Yuka izin pergi sama keluarganya, Ca. Jadi hari ini dia nggak masuk," jawab Refan jujur.

"Oh, pantes aja suara Yuka gak kedengaran. Biasanya, kan, Yuka langsung peluk sama panggil Ica kalau ketemu," jelas Ica menceritakan yang biasa terjadi. Yuka merupakan sahabat Ica sejak mereka berada di bangku SMP. Begitu pula hubungannya dengan Refan. Oleh karena itu, mereka bertiga sangat akrab, sudah seperti keluarga.

Refan kembali terkekeh. "Mita dan Fira enggak kamu tanyain juga, Ca?"

"Oh, iya! Mita sama Fira di mana? Ica juga belum dengar suaranya dari tadi!" Ica baru sadar. Selain Yuka, teman dekatnya di SMA adalah Mita dan Fira. Biasanya, Mita dan Fira langsung menyapa Ica jika bertemu. Namun, sampai saat ini, Ica belum mendengar keduanya memanggil namanya.

"Kalau mereka berdua, sih, tadi aku lihat ke kantin. Itu pun sebelum kamu dateng. Makanya gak sempet ketemu," jelas Refan panjang lebar.

Ohh, pantes aja aku gak denger suara mereka berdua. Ternyata mereka lagi di kantin, batin Ica menatap kosong ke depan.

Suara bel berbunyi di seluruh koridor sekolah, menandakan sebentar lagi upacara bendera akan segera dimulai.

"Eh, udah bel, Ca. Ke lapangan, yuk?"

"Iya, tolong bantu dorong kursi roda Ica, ya, Refan. Ica takut jatuh."

"Siap, Putri Clarissa! Perintah diterima dengan senang hati." Ica hanya menampakkan senyum manisnya mendengar perkataan Refan. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa senang bercampur deg-deg-an ketika diperlakukan layaknya seorang Puteri.

Dia Refano Samuel. Teman sekaligus pahlawan kedua bagi Ica setelah Tono. Mengenalinya merupakan sebuah anugerah terindah dari Tuhan. Menyukai sosoknya, merupakan sebuah pilihan yang telah ia pilih.

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang