Part 42

55 9 0
                                    

"Belajarlah dari pengalaman. Jangan pernah meninggalkan masalah dengan masalah."
—Abyasa

Kedatangan Yuka dan Kama di depan rumah Ica membuat mereka sama-sama terpaku di tempatnya.

"Lo ... ngapain ke sini?" tanya Yuka dengan ragu.

Melihat Kama dengan keadaan berantakan seperti ini membuat hatinya mencelos. Teringat kembali tentang berita yang dibicarakan di televisi.

Kama mengusap wajahnya dengan kasar, melirik sekilas pada Yuka. Keterkejutan meliputi mereka, tapi Kama lebih dulu melangkahkan kakinya lebar-lebar menuju rumah Ica.

Membiarkan Yuka yang memanggil namanya.

"Kama!" teriak Yuka kembali.

Karena tidak mendapatkan jawaban, Yuka mengekori Kama yang masuk ke rumah Ica setelah mendapatkan ijin dari Mbok Yuni.

Langkah pria memang tidak sebanding dengan langkah wanita. Begitu pun saat Yuka berusaha mengejar Kama yang berjalan cepat menuju kamar Ica. Yuka bahkan butuh berlari kecil agar dapat menyamakan langkahnya dengan Kama.

"Kama! Tunggu...."

Kama menghentikan langkahnya, menoleh pada Yuka dengan tatapan jengah. "Apa?"

Sungguh, bukan niat Kama membuat Yuka merasa tidak nyaman dengan hadirnya. Tapi Kama terlalu lelah untuk saat ini. Dia tidak punya waktu banyak, Kalila membutuhkannya segera.

Karena Yuka yang ragu menanyakan perihal kebenaran kecelakaan tersebut, Kama memilih meninggalkan Yuka dan masuk ke kamar Ica yang sudah ada Fira di dalamnya.

"Loh, Kama ngapain di sini?" Fira terkejut dengan datangnya Kama, karena setahunya dia hanya mengajak Yuka saja ke sini.

"Mana Ica?" tanya Kama. Matanya menyapu sekitar kamar Ica dan tidak melihat adanya gadis yang sedang dia butuhkan saat ini.

Kali ini rencananya tidak boleh gagal! batin Kama.

Dengan lugunya, Fira menunjuk ke toilet yang ada di kamar Ica—pintu toilet itu terbuka—menampilkan Ica yang baru saja keluar dari sana.

"Fira? Ica kok denger ada suara ribut-ribut sih, kenapa?" Ica berjalan mendekati Fira dengan berpegangan pada tembok di sisi-sisi kamarnya.

Kama langsung menuntun Ica. "Ca, ikut gue bentar ya?" pinta Kama dengan hati-hati.

Meskipun ragu mengatakannya, setelah melihat wajah Ica yang sayu. Pasti habis nangis, batinnya. Tapi Kalila sungguh sedang membutuhkan gadis ini sekarang.

Dahi Ica mengernyit heran, meskipun tidak terlalu dekat dengan Kama, Ica berusaha mengenali sahabatnya dengan memanfaatkan indera pendengaran dan penciumannya. Karena manusia selalu memiliki bau-nya masing-masing kan?

"Eh? Kama? Ngapain ke sini?"

Sebelah tangan Kama berada di bahu Ica—terlihat seperti merangkulnya dengan sebelah tangan lainnya menuntun Ica untuk berjalan perlahan.

"Ca, please ... Kalila butuh lo sekarang, lo ikut gue ya?" pinta Kama sekali lagi. Berharap Ica dapat membantunya.

Ruangan berukuran 3 meter × 3 meter itu kini di ramaikan oleh suara parau Ica. "Apa sih yang bisa Ica bantu? Yang ada Ica nyusahin banyak orang," kata Ica dengan tawa sumbangnya.

Merasa miris dengan keadaan dia sendiri yang tidak bisa membantu orang. Bukannya tidak mau, tapi Ica juga sadar diri bahwa dirinya hanyalah beban bagi orang lain.

Jadi, mana mungkin orang sepertinya dapat membantu kan?

Yuka dan Fira saling pandang. Dari tadi mereka hanya diam membiarkan Kama dengan keinginannya membujuk Ica.

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang