Part 20

70 11 3
                                    

Bahkan dalam ketidaksadaranmu, kamu menggumamkan namanya, membentangkan jarak yang sulit aku terima. —Yuka


Ica terlihat lebih bahagia setelah mereka keluar dari rumah panda. Bahkan senyumnya tak pernah pudar setelah itu. Yuka ikut bahagia melihat Ica yang bahagia seperti sekarang, ah mungkin akan lebih bahagia lagi jika ada Refan di sini.

Yuka menepuk keningnya. Bicara soal Refan, dia ingat bahwa pemuda itu sudah mengirimkan pesan puluhan menit yang lalu. Yuka baru tersadar sekarang karena terlalu asik menemani Ica. Yuka mengecek kembali gawainya. "Bentar dulu ya, Ca."

"Kenapa, Yuka?" Yuka tidak menjawab pertanyaan Ica. Dia sibuk menelepon Refan sambil menggigit kukunya karena ini sudah setengah jam dari waktu yang dijanjikan Refan, tapi tidak ada balasan lebih lanjut dari Refan membuat Yuka kesal setengah mati. Dia hampir saja mengumpat karena kaget ada sebuah panggilan masuk.

Yuka mengangkat panggilan tersebut tanpa melihat nama pemanggil. "Yuka, ih! Kenapa? Yuka lagi apa, sih, sampai diemin Ica?" protes Ica.

Yuka mengisyaratkan Ica untuk diam. Tapi dia baru ingat bahwa Ica tentu tidak bisa melihat isyaratnya. Yuka kembali mengerutuki dirinya. Bodoh sekali! "Ini Yuka lagi nelepon, Ca." Yuka menunggu suara di sebrang telepon, tapi belum ada sahutan apapun membuat kening Yuka mengerut.

"Boleh di loudspeaker, Ka? Ica juga mau denger, boleh?" pinta Ica dengan pandangan mata menatap lurus.

Karena permintaan Ica dan penasaran dengan siapa pelaku penelepon, Yuka akhirnya menuruti permintaan Ica dan membaca nama penelepon.

"Kama?"

Terdengar suara berisik yang membuat Yuka dan Ica saling pandang. "Yuka, kok ada suara kaya benda pecah gitu sih?" Yuka hanya menggeleng.

"Yuka gak tahu, tunggu bentar lagi ya, Ca."

Selang beberapa menit akhirnya suara di sebrang telepon menyapa mereka. "Ka! Lo di mana sekarang?"

"Gue di Taman Safari sama Ica, kenapa? Berisik amat perasaan."

Terdengar helaan nafas yang akhirnya Kama membuat Yuka dan Ica semakin tidak mengerti dengan maksud dari sahabat Refan itu. "Syukurlah kalo sama Ica. Bisa langsung ke Rumah Sakit, sekarang?"

Karena mendengar namanya yang disebut dan ucapan lega dari Kama, membuat Ica ikut menyahut, "Emang kenapa Ica harus ke Rumah Sakit? Kama sakit?"

"Gak, gue baik-baik aja. Gak ada yang sakit. Tapi—"

PRANK!

Suara pecahan itu semakin menjadi-jadi. Ica mengerutkan keningnya. "Halo? Kama? Kamu gak kenapa-napa, kan?" tanya Ica karena khawatir.

Suara pecahan itu sedikit memelan, bergantian dengan suara nafas tersengal-sengal. "Pokoknya sekarang lo sama Yuka ke Rumah Sakit yang gue kirimin alamatnya, ya! Gue tunggu. Nanti lebihnya gue jelasin di sana."

Bip.

"Yuka, Kama kenapa ya? Aku jadi khawatir sama dia," lirih Ica.

"Iya, gue juga sama. Perlu kita ke sana sekarang? Gak kenapa-napa?"

Ica menggeleng. "Ya gak apa-apa, Ka. Lagian kalo ada sahabat yang minta tolong harus kita bantuin, kan?" Yuka mengangguk walaupun Ica tidak melihatnya. "Bener juga."

"Sorry ya, Ca. Waktu kita jadi berkurang karena hal ini," sesal Yuka. Dia kembali mendorong kursi roda Ica menuju parkiran sambil berharap bahwa Refan ada di sana. Paling tidak, tolong beritahunya supaya tidak cemas karena menunggu kedatangannya.

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang