Part 27

49 9 0
                                    

Hari demi hari berlalu dengan cepat. Satu hari setelah segala kejadian yang terjadi di rumah sakit kemarin, kini kondisi Refan mulai membaik. Dokter juga mengatakan kalau ia membolehkan Refan pulang esok hari. Semua yang ada di ruangan itu—Hoshi, Adira dan Nathan lantas tersenyum bahagia, mengucapkan beribu-ribu syukur pada sang Pencipta.

Refan turut mengembangkan senyumnya dan berterima kasih pada sang Dokter yang telah merawat dan mengobatinya selama ia koma. Tangis haru seorang Ibu turut pecah setelah ia mengucapkan puji syukur pada yang Maha Kuasa. Nathan kemudian memeluknya erat, memberi kehangatan dan sugesti agar Adira dapat menghentikan tangisnya.

"Bang," ucap Hoshi kemudian mendekati ranjang Refan dengan senyum yang tidak dapat ia bendung. "Gue kangen! Syukur lo bisa kembali siuman." Hoshi memeluknya erat, tanpa mengurangi senyuman yang ia kembangkan.

Refan menepuk punggung Hoshi pelan, kemudian melepas pelukan itu. "Lo terlalu berlebihan, Shi. Gue gak apa-apa."

"Gak apa-apa gimana? Lo udah tiga hari lebih koma, Bang. Lo udah bikin gue, Mama, Papa, Ica, dan sahabat-sahabat lo sedih dan khawatir!" renggut Hoshi tidak terima. Refan terkekeh pelan, kemudian menyadari bahwa gadis kecil di sampingnya sudah tiada.

Nathan kemudian izin keluar membawa Adira menuju taman yang ada di rumah sakit ini, karena tangis istri tercintanya tidak kunjung reda. Hoshi dan Refan mengangguk. Refan kemudian menoleh pada Hoshi. "Dia di mana?"

Hoshi yang semula mengerutkan kening kemudian berhasil menerka siapa yang abangnya maksud. "Oh, Ica? Dia sudah pulang semalam." Refan mengangguk pelan sambil ber-oh ria.

"Lo masih ingat satu hal tentang Ica gak, Bang? Sebelum lo kecelakaan." Hoshi mengambil kursi dan duduk di atasnya.

Refan berusaha memutar ulang ingatan. Meski rasanya sedikit pening, akhirnya ia mulai merengkuh ingatan itu. "Ah, iya! Gue ingat." Hoshi mengembangkan senyumnya. "Gimana kalau kita lakukan lusa?"

Refan hanya tersenyum miris. "Lo yakin? Sekarang udah hari apa? Apa gue gak telat untuk merayakan ulang tahunnya? Apa dia gak kecewa?" tanya Refan menyesal.

"Oh ayolah. Lagi pula ini akan terjadi hanya H-4 hari semenjak hari ulang tahunnya, 'kan? Kenapa engga?" tanya Hoshi balik. Ia mengambil ponsel yang ada di saku celananya. Mengetikkan beberapa patah kata pada nomor salah satu sahabatnya. Beberapa menit kemudian ia mendapat balasan dari sang empu. Dengan segera menoleh pada abangnya yang masih terdiam lesu.

"Bang, Yuka katanya bisa!" Refan menoleh melihat raut wajah antusias Hoshi. Senyumnya mulai terpatri begitu mendapat rasa percaya diri dan semangat yang Hoshi tularkan padanya. Refan menoleh ke arah jendela rumah sakit yang hordengnya terbuka, menyuguhkan pemandangan hijau di luar. "Oke. Gue setuju."

Keesokan harinya, Refan sudah diperbolehkan pulang. Adira dan Nathan sibuk mengemas barang-barang milik keluarganya selama tinggal di ruangan ini. Setelah merasa sudah masuk ke dalam tas dan tidak ada yang tersisa, Adira segera membantu Sam mengganti pakaian. Namun, Sam menolak untuk itu, dan memilih untuk minta dituntun menuju kamar mandi agar ia dapat mengganti pakaiannya sendiri.

Adira hanya menggelengkan kepalanya pada anak kesayangannya yang cukup keras kepala itu. Padahal niatnya baik ingin membantu Sam agar bisa lebih cepat dan tidak menyusahkannya. Apalagi dengan keadaan Sam yang baru saja sembuh. Adira kemudian menyuruh Hoshi menunggu Sam  yang sedang mengganti pakaian. Adira kemudian melenggang ke luar ruangan menyusul Nathan yang sedang berada di ruang administrasi, begitu mendapat anggukan dari Hoshi.

Setelah semua urusan selesai, Hoshi kembali menuntun Sam menuju parkiran mobil dan memasukinya bersama Nathan dan Adira. Begitu siap, Nathan segera menjalankan mobil dan pulang menuju rumahnya.

* * * * *

Sesampainya di rumah, kini Hoshi mendapat pekerjaan baru, yakni sebagai penjaga Sam. Apa pun yang Sam ingin harus Hoshi bantu—seperti membuatkan segelas susu misalnya. Di siang hari menjelang sore, kediaman keluarga Refan kedatangan tamu yang ternyata teman-teman Refan dan Hoshi. Jika ditanya siapa yang mengundangnya, tentu Hoshi adalah jawabannya.

Aidan dan Kama ber-high five dengan Refan begitu keduanya bertemu. Begitu pun dengan Yuka dan Fira. Mereka kemudian membicarakan tentang rencana pesta ulang tahun Ica yang akan dilaksanakan esok malam. Fira yang paling bersemangat di sini. Setelah meminta izin pada Mama dan Papa Refan, ia segera menuju dapur bersana Aidan—untuk membuat kue ulang tahun Ica. Tentu Aidan tidak ingin membuat orang tua Refan mengira yang tidak-tidak pada dirinya dan Fira. Oleh karena itu, ia turut mengajak Kama ke dapur bersamanya.

Sepeninggal Fira, Aidan, dan Kama. Kini di kamar Refan hanya tersisa Hoshi, Yuka dan pemilik kamar. Sempat hening sejenak sampai akhirnya Hoshi membuka suara, "Oke, seperti yang sudah direncanakan, kalian mulai latihan lagi ya!"

Hoshi beranjak mengambil gitar abangnya dan memberikannya pada Refan. Yuka sibuk mengatur detak jantungnya yang sudah berdebar kencang sejak pertama kali duduk di samping Refan. Kedua telapak tangannya tergenggam menyatakan kalau ia merasa nerveous.

Hoshi mendekat pada Yuka dan terkekeh pelan. "Gak apa-apa, lo pasti bisa!" bisiknya yang mendapat tatapan sinis Yuka sebagai balasan. Refan selesai dengan kesibukannya mengingat-ingat nada lagu tersebut. Kemudian mencoba untuk menyanyikannya di hadapan Yuka.

"Oke, gue mulai, ya?" tanya Refan memastikan. Yuka hanya membalasnya dengan anggukan singkat.

*****

Lain cerita dengan kegaduhan tiga teman Refan lainnya yang tengah berkutat di dapur. Ah, bukan. Mungkin lebih cocok disebut dua orang dari pada tiga, karena Kama kini sedang menutup telinga melihat aksi konyol Fira dan Aidan.

"Aidaaaann! Fira bilang tiga tetes! Bukan tujuh tetes!" teriak Fira naik pitam. Entah harus merestok berapa banyak kesabaran lagi untuk menghadapi mahkluk seperti Aidan.

"Dih, malah jadi lebih baguslah kalo semakin banyak!" sanggah Aidan tidak mau disalahkan. Kama menoyor lengan Aidan pelan menanggapi pemikiran aneh sahabatnya. "Pala lo bagus! Yang ada Ica nanti itu kue bukan warna cokelat, malah jadi hitam, pintar!"

Aidan yang baru mengetahui hal itu mulai merasa malu. Tangannya tergerak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Deretan gigi putihnya turut tampil bersamaan dengan kedua netranya yang terpejam. "Hehe, gue gak tahu. Sorry."

Kama mengambil alih perisa cokelat itu dan menaruhnya menjauhkan benda itu dari jangkauan Aidan. Dengan lihai ia mengambil perisa vanilla dan meneteskannya sebanyak enam tetes pada adonan yang kelebihan perisa cokelat itu. Ia kemudian memberikannya pada Fira setelah mengaduk adonan kue itu hingga rata.

"Nih, tinggal lo masukin oven." Serah Kama memberi bakul berisi adonan kue. Fira mengembangkan senyumnya tulus. "Terima kasih, Kama."

Aidan mengedarkan pandangannya ke sembarang arah—selain ke depan. Kalian dapat mengatakan bahwa Aidan terlalu berlebihan jika merasa cemburu. Tetapi, siapa yang tidak sakit hati melihat orang yang disukainya dekat dengan yang lain?

Eh, tunggu. Apa barusan? Suka?

Desire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang