Gerutuan laki-laki yang duduk di balik kemudi menemani perjalanan mereka, Ica bahkan terkekeh melihat tingkah Refan yang seperti anak kecil. Semenjak Hoshi dan Yuka ketahuan mengintipi mereka, Refan memilih untuk memboyong Ica ke tempat lain.
"Udah, Refan. Gak boleh marah-marah terus," ucap Ica sembari mengelus lengan kiri Refan.
"Ca, karena mereka kita harus cari tempat lain lagi!" Kentara sekali suara Refan yang terdengar tidak menyukai kehadiran adik dan sahabatnya di sana.
Laki-laki itu tentu tidak bodoh, dalam diamnya ia biasa menguntit Hoshi. Refan menyadari hal ini sejak lama, bahwa mereka menyukai orang yang sama. Binar mata Hoshi ketika melihat Ica tidak bisa membohonginya, belum lagi minyak wanginya yang kadang berkurang dengan drastis.
Siapa lagi pelakunya kalau bukan Hoshi? Tidak mungkin mama dan papa mereka, keluarga itu memiliki selera wangi yang berbeda-beda. Lagi pula, tak ada alasan lain lagi untuk tidak menuduh pada Hoshi.
Bagi Refan, semuanya sudah jelas. Ia ingin egois untuk saat ini, hanya dia yang boleh memilik Ica. Tidak boleh ada laki-laki lain, bahkan adiknya sendiri.
Mulut Ica bungkam ketika mendengar suara Refan yang sedikit meninggi, ia tak tahu jika reaksi yang dikeluarkan laki-laki itu seperti itu. Mungkin jika dirinya tahu, Ica tidak akan mengatakan hal yang membuat Refan marah.
"Kita mau ke mana?" tanya Ica ketika mobil yang dikendari Refan memasuki area sepi dan jalan yang mereka lalui pun hanya bebatuan.
Meskipun tidak bisa melihat sekitar, Ica dapat menangkap keadaan di sekitarnya seperti apa. Terbiasa buta membuat gadis itu peka terhadap alam yang dipijakinya, tapi terkadang ia juga merasa ketakutan.
"Refan, ini kita mau ke mana?" tanya Ica sekali lagi.
Mobil yang dikendarai Refan bergoncang, sepertinya bebatuan tersebut masih agak kasar. Ica mulai parno sendiri, ia juga takut dengan perubahan Refan yang menurutnya mendadak.
Perlahan mobil mulai berhenti, terdengar deru napas yang memburu dari laki-laki itu. Emosinya tidak stabil ketika mengingat kelakuan Hoshi, ingin melampiaskan tapi tak mau adiknya sendiri terluka.
Refan memutar arah duduknya, menghadap pada bangku samping kemudi. Betapa terkejut laki-laki itu ketika melihat Ica menangis ketakutan, tangan gadisnya mencengkeram sabuk pengaman dengan erat.
"Ca!" panggil Refan.
Rasa bersalah mulai muncul di permukaan hatinya, melihat Ica ketakutan seperti itu rasanya ia merutuki diri yang sempat lepas kendali di depan Ica.
"Hey!" Refan membuka sabuk pengaman yang melingkari tubuh Ica, lalu menarik gadis itu masuk dalam pelukannya.
Tubuh bergetar gadisnya membuat Refan semakin mengutuk diri. Ia mengelus punggung Ica dengan tenang, sesekali juga laki-laki itu mengecup sayang puncak kepala Ica.
"Jangan nangis!" cegah Refan saat merasakan kaos yang dipakainya mulai basah.
"Ica takut, Refan. Jangan seperti itu lagi!"
Refan memang tidak melampiaskan kemarahannya pada dirinya, tapi Ica sendiri merasa takut saat Refan tiba-tiba diam. Apalagi kondisi jalan yang asing ketika mereka lewati tadi, menambah sesuatu yang muncul dalam perasaan Ica.
"Kita keluar dari mobil, ya?" ajak Refan.
"Kita di mana?"
Tak ada lagi sahutan dari laki-laki itu, suara mobil yang ditutup langsung memasuki pendengaran Ica. Tak lama kemudian pintu di sampingnya terbuka, Refan langsung menggenggam tangan Ica untuk membantu gadis itu turun.
Angin menerpa sedikit kencang ketika kaki Ica menginjak tanah, tangannya balas menggenggam tangan Refan dengan erat. Entah tempat apa yang laki-laki itu datangi, tapi Ica mulai merasa aman saat Refan memegang tangannya.
"Jangan takut lagi, ya!" ujar Refan.
Kepala Ica mengangguk antusias, membuat senyum di wajah Refan menggembang dengan sendirinya. Gadis itu memang selalu berhasil mengembalikan mood-nya yang sedang berantakan, apa yang ada pada gadisnya sangat membuat Refan kembali semangat.
"Tunggu di sini dulu, Refan mau ambil tikar." Ica berdiri menunggu Refan mengambil tikar di mobil, ia tak berpegangan pada apa pun dan tidak juga memakai kursi rodanya.
Ica sadar jika selama bersama Refan ia tak pernah menduduki kursi yang selalu membawanya ke sana ke mari, laki-laki itu dengan sabar menuntun langkahnya. Senyum di wajah Ica mengembang, apalagi ketika teringat dengan ... ah ia jadi malu.
"Itu kenapa pipinya merah?" tanya Refan yang tiba-tiba berada di dekatnya.
Tentu saja Ica terlonjak kaget, lamunan tentang mereka langsung buyar begitu saja. "Eng-enggak, gak ada apa-apa kok. Ica kepanasan aja tadi, i-iya kepanasan," jawab Ica gugup.
"Gak mungkin kepanasan, di sini dingin banget malah. Ica mikirin--" Mulut Refan langsung dibungkam Ica dengan tangannya, laki-laki itu pasti sudah mengerti alasan wajahnya yang memerah.
"Refan jangan ungkit-ungkit itu lagi, Ica malu tahu!" rengut Ica.
Tangan yang berada di mulutnya langsung dilepaskan Refan dengan lembut, tawa laki-laki itu pecah seketika. "Kalau diingat-ingat, lucu juga ya?" tanya Refan meminta persetujuan gadisnya.
"Ih, Refan. Jangan gitulah!" ancam Ica.
"Lucu tahu, Ca." Refan semakin gencar menggoda Ica, mengingatkan momen yang sangat memalukan sekaligus mendekatkan jarak mereka.
"Refan," rengek Ica sambil menggoyangkan tangan Refan yang tergantung bebas.
Laki-laki itu terkekeh pelan mendengar suara gadisnya yang sangat menggemaskan, ia merasa ingin membungkus Ica dan membawa gadis yang berstatus pacarnya itu ke hadapan orang tua mereka.
Ah, Refan. Sadar dong, lo masih anak sekolah. Udah mikir ke sana aja, anak orang mau lo kasih makan apa? batin Refan berteriak heboh.
Sesuatu yang sempat menghampiri pipinya membuat Refan terkejut kaget, ia menatap ke arah Ica dengan pandangan tak percaya. Benarkah tadi gadis itu menciumnya?
Wajah Ica yang mulai memerah membuat Refan yakin jika itu semua bukan halusinasinya saja, gadis itu memang mengecupnya tadi. Ini pertama kalinya Ica melakukan hal seberani itu, sesuatu yang menakjubkan.
"Jadi sekarang udah berani cium-cium, ya?" tanya Refan semakin gencar menggoda Ica.
Ica tersenyum malu-malu, wajahnya semakin merah hingga menjalar ke telinga. Dengan sigap Refan membawa Ica duduk di tikar yang sudah dibentangnya, kasihan juga gadis itu jika terlalu lama berdiri.
Refan melihat jam di tangannya, masih bisa dibilang sarapan jika mereka makan sekarang. Lagi pula, Refan tidak ingin gadisnya jatuh sakit gara-gara hal ini. "Mau makan gak?" tawar Refan.
"Boleh," ucap Ica.
Laki-laki itu sangat telaten menyuapi Ica, sesekali pula menyuapi dirinya sendiri. Padahal Ica bisa makan sendiri, Refan saja yang ingin membuat repot.
Tentu saja niat Refan ingin bermesraan dengan Ica, kapan lagi mereka bisa ada waktu berdua seperti ini.
Hari itu, mereka habiskan dengan bersenda gurau. Melupakan sejenak hal yang lainnya, hanya ada tentang mereka. Tawa lepas yang penuh kebahagiaan pun tak jarang keluar dari mulut keduanya, hari ini adalah hari yang istimewa untuk pasangan yang baru jadian itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire [END]
Teen FictionManusia tidak ada yang sempurna, semua pasti memiliki kemampuan yang seimbang dengan kekurangannya. Tidak ada yang berlebih, hanya saja kita yang melebih-lebihkan. Kesuksesan bukan hanya untuk orang yang terlahir sempurna, selama ada tekad dan usaha...